Proyek Musik Arab dengan Beethoven
6 Juli 2021Hal pertama yang jelas terasa pada sebuah konser di gereja Trinitatis di kota Bonn, Jerman pada hari Minggu (04/07) adalah suasananya yang santai. Bassem Hawar, konduktor orkestra konser tersebut memimpin para musisinya sembari memainkan joza, sebuah alat musik mirip biola. Para penyanyi menampilkan gerak isyarat tangan dan menari sesekali.
Hawar adalah pemenang lomba Jazz kategori "kultur musikal” tahun 2020 yang diselenggarakan oleh WDR, penyiar publik Jerman. Bersama dengan kelompok musisinya dari Irak, Iran, dan Kurdistan, mereka menampilkan pertunjukan terakhirnya sebagai ensambel untuk proyek "1001 Ketukan antara Bonn dan Babilonia”. Itu adalah proyek transkultural yang mencakup serangkaian lokakarya dan acara yang memberikan penghormatan kepada semangat humanisme komponis Ludwig van Beethoven.
Karya musik pertama malam itu adalah sebuah maqam lami, sebuah mode melodik dalam musik Arab klasik yang diyakini berasal dari 5.000 tahun lalu dan dipromosikan oleh para khalifah dinasti Abbasiyah. Para Abbasiyah memimpin dunia Arab dari abad ke-8 hingga 13 dan dianggap sebagai pendukung seni dan budaya.
"Itu adalah periode emas,” kata Hawar dalam pertujukkan tersebut saat menjelaskan arti dan konteks dari melodinya dan membandingkannya dengan Jerman masa kini. Baginya, fakta bahwa musisi dari berbagai belahan dunia datang untuk tampil di kota asal Beethoven dapat dilihat sebagai "sebuah periode emas untuk Jerman.”
"Selalu tentang patah hati”
Seraya orkestra tersebut memainkan repertoarnya untuk malam itu, alunan suling dipadukan dengan musik Badui untuk menciptakan suasana suara para nomad yang bergerak melintasi area luas. Lagu "Malam Barkir” yang dinyanyikan oleh penyanyi Kurdi Mehmet Akbash, menceritakan tentang suku Badui di pegunungan.
Bagaimanapun "ini selalu tentang patah hati,” kata Saman Haddad, penyelenggara proyek "1001 Ketukan”, kepada DW tentang pemilihan karya oleh ansambel dan sifat lagi-lagu Arab pada umumnya. "Contohnya lagu ‘Dokter Shirazi' adalah tentang seorang perempuan dari kota Shiraz di Iran yang terkenal akan para perempuannya yang cantik,” tambah Haddad.
Contoh lainnya adalah lagu "Lalish,” yang dibawakan oleh seorang penyanyi Kurdi. Lagu itu berkisah tentang para Yazidi, minoritas Kristen di Irak yang dipersekusi dan juga merupakan korban genosida oleh kelompok teroris "Islamic State” pada tahun 2014. "Lalish” awalnya ditulis oleh seorang muslim dan merujuk kepada sebuah lembah gunung di Irak, di mana tempat ibadah komunitas Kristen tersebut berlokasi.
Mengombinasikan Beethoven dengan musik Badui
Untuk proyek "1001 Ketukan” ini, banyak dari melodi tersebut telah digabungkan dengan bagian-bagian dari musik klasik Barat – seperti "Symphony No. 4” karya Beethoven.
Penjajaran tradisi musikal yang berbeda adalah sebuah tantangan, kata Haddad: "Itu sangatlah rumit. Kita punya lagu-lagu dari tradisi Arab, Kurdi, Turki, dan Persia, dan saya mengatakan pada ahli kami untuk mengusulkan delapan lagu dari bahasa-bahasa tersebut yang bisa dimainkan pada alat-alat musik Barat dan yang dapat dimainkan musisi Barat – yang tidak terlalu banyak not satu ketuk.”
Haddad mengirimkan usulan tersebut pada Hans-Joachim Büsching, pemain klarinet di orkestra Beethoven di Bonn, yang lalu memilih dari beberapa lagu tersebut dan menambahkan fragmen musik klasik Barat.
Pemilihan musisi untuk ansambel tersebut dilakukan oleh anggota asosiasi Pendidikan nirlaba Migrapolis, yang mengorganisir proyek tersebut, bersama BTHVN2020, kelompok yang mengorganisir rangkaian acara peringatan 250 tahun Beethoven. Mereka mengundang aplikasi dari penyanyi dan pemain instrumen dari seantero Jerman.
Seleksi terakhir mencakup musisi-musisi keturunan Kurdi, Persia, Arab, dan Turki yang memainkan berbagai alat musik, antara joza Irak (juga dikenal sebagai rebab), sebuah alat musik dawai yang dimainkan dengan sebuah busur, dan sesekali dipetik. Selain itu ada daf Persia, gendang berbingkai yang digenggam; oud, sebuah alat musik mirip kecapi. Juga alat musik Barat klasik seperti bass, biola, terompet, klarinet dan seruling.
Waktu untuk perayaan
"Kami telah melakukannya, hasilnya ada di sini,” tutur Haddad yang bersukacita atas keberhasilan ansambel "1001 Ketukan” menggabungkan berbagai tradisi music berbeda. "Kami ingin menunjukkan seberapa penting orang-orang bersatu lewat musik, karena [musik] adalah bahasa global yang dimengerti semua orang,” tambahnya.
Memang, proyek "1001 Ketukan” pada akhirnya bertujuan untuk mempromosikan inklusi sosial dan integrasi antara imigran dan penduduk lokal di Jerman.
"Ini bukanlah sebuah jalan satu arah,” kata Philip Gondecke-Safari, merujuk kepada fakta bahwa inklusi di Jerman seringkali dipahami menjadi tanggung jawab para imigran, yang harus berupaya untuk mengintegrasikan diri ke dalam masyarakat di sini.
Gondecki-Safari adalah direktur proyek di Migrapolis, bagian dari Institut Penelitian Migrasi di Bonn, yang berbagai aktivitasnya mempromosikan inklusi di tengah masyarakat Jerman.
"Ini seperti bagaimana yang terjadi di kehidupan nyata. Integrasi sebagai proses, dalam arti orang-orang berkumpul, telah terjadi selama berabad-abad,” tambah Gondecki-Safari, ia uga mengatakan bahwa migrasi bukanlah hal yang dimulai tiga atau empat tahun lalu.
"Para Roman datang ke Rhein. Di Rheinland, dan di seluruh sejarah Jerman atau dunia, manusia selau bergerak dari satu tempat ke yang lain.”