Bagi banyak orang di Indonesia, Poso dipandang sebagai kawasan yang menakutkan: penuh konflik, kekerasan, kerusuhan, atau terorisme. Persepsi buruk ini terutama terjadi sejak kawasan di Sulawesi Tengah ini dilanda kerusuhan komunal antara sekelompok umat Kristen dan muslim pada Desember, 1998, hingga beberapa tahun kemudian.
Dalam sebuah diskusi daring (webinar) yang diadakan oleh Nusantara Institute, Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu, sebuah lembaga yang bergerak di bidang perdamaian di Poso, mengatakan kalau kerusuhan sektarian kristiani-muslim waktu itu sebetulnya dipicu oleh provokasi dan agitasi sekelompok politisi dan fanatikus partai politik tertentu dengan menggunakan sentimen-sentimen keagamaan yang disebarkan melalui pamflet (selebaran), spanduk, atau orasi di forum-forum publik. Bentuk provokasi itu, misalnya, jika kaum A yang berkuasa maka umat B akan dimusnahkan atau hidup mereka dibuat sengsara. Mereka juga menghembuskan dan menyebarluaskan narasi kebencian antar kelompok agama seperti yang terjadi di Pilgub 2017 di Jakarta atau Pilgub 2018 di Sumatra Utara.
Perjanjian Damai Malino I memang sudah diteken oleh pihak Kristen maupun muslim dengan difasilitasi atau dibrokeri oleh pemerintah pusat pada bulan Desember, 2001. Tetapi, dengan ditandatanganinya Perjanjian Damai tersebut, kerusuhan kolektif tidak serta merta atau secara otomatis berhenti. Kekerasan sporadik masih berlanjut apalagi dengan masuknya atau intervensi "pihak luar” (seperti kelompok milisi) sehingga membuat situasi Poso dan daerah sekitar bertambah buruk dan tidak kondusif. Situasi Poso semakin bertambah mencekam ketika komplotan teroris dan jihadis melancarkan aksi terorisme dan sadisme.
Gambaran sisi kekerasan Poso itu kemudian dinarasikan dan disebarluaskan disertai "bumbu-bumbu” tertentu melalui rumor (cerita dari mulut ke mulut) sehingga berkembang di masyarakat, baik di Poso maupun daerah-daerah lain di Indonesia, atau lewat berita-berita di media massa–tv, media cetak, media sosial atau online–yang sering sibuk dan hiruk-pikuk memberitakan, menggambarkan, dan menarasikan tentang wajah Poso yang "menyeramkan”.
Meskipun tidak semuanya, media massa memang sering kali lebih menyukai untuk memberitakan hal-hal negatif ketimbang sesuatu yang positif. Media juga lebih gemar menayangkan konflik-kekerasan daripada harmoni-perdamaian yang mereka anggap tidak laku di pasaran dan sepi peminat atau pembaca. Padahal, sering kali apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat tidak sepenuhnya seperti apa yang diceritakan dalam rumor atau digambarkan oleh media massa. Meskipun tentu saja banyak hal negatif juga terjadi di masyarakat seperti perilaku intoleran, kekerasan, prejudice, rasisme, antipluralisme, dlsb.
Sisi lain Poso yang inspiratif
Masyarakat di manapun, termasuk di Poso, selalu menunjukkan aneka wajah atau sisi. Ada "sisi gelap” tetapi juga ada "sisi terang” dan "abu-abu”. Masyarakat Poso juga menunjukkan wajah yang beraneka ragam, tidak melulu wajah kekerasan, kekejaman, dan terorisme seperti diasumsikan banyak orang. Benar bahwa Laskar Jundullah dan MIT (Mujahidin Indonesia Timur) atau sekelompok "Kristen garis keras” beroperasi di Poso.
Tetapi itu hanya "sisi lain” dari Poso. Masih ada "sisi lain” lagi dari Poso yang bukan berwajah marah tetapi berwajah ramah, bukan "berwajah gelap” tetapi "berwajah terang”. Hanya saja sangat disayangkan, seperti biasa, "sisi terang” Poso ini tidak banyak dipublikasikan dan disuarakan secara masif-intensif sehingga tidak banyak publik yang mengetahuinya.
Selama kurang lebih dua jam, Lian Gogali, inisiator sekolah perdamaian di 80 desa di Poso, bercerita tentang "sisi terang” di balik peristiwa, kisah, isu, dan rumor tentang Poso yang penuh kegelapan. Bahkan sejak detik pertama kerusuhan komunal tahun 1998 pun, kisah-kisah inspiratif yang diwarnai spirit toleransi, harmoni, perdamaian, dan saling bantu-membantu antarkelompok agama sudah muncul, termasuk yang dilakukan oleh kaum ibu-ibu.
Misalnya, kisah-kisah tentang bagaimana warga Kristen setempat menyembunyikan dan menyelamatkan warga muslim di rumah mereka atau sebaliknya (warga muslim melindungi warga Kristen) selama kerusuhan berlangsung. Pula, kisah-kisah tentang bagaimana tempat ibadah, selama kerusuhan komunal meletus, dijadikan sebagai semacam "bunker” atau "shelter” para pengungsi baik dari kalangan Kristen, muslim, maupun Hindu. Ada pula kisah tentang warga Kristen maupun muslim yang sama-sama mengungsi di kebun yang sama selama kekerasan massa berkecamuk di kota.
Semangat saling membantu dan menolong itu karena, masih menurut Lian Gogali, warga setempat, dari waktu ke waktu, sudah terbiasa hidup dalam bingkai persaudaraan apapun latar belakang agama mereka. Masyarakat Poso sudah terbiasa hidup dalam keharmonisan sosial dan saling menghormati tanpa memedulikan latar belakang agama. "Satu keluarga besar dengan beragam agama merupakan pemandangan biasa di Poso. Anggota keluarga kami juga ada yang muslim,” kata Gogali.
Suasana harmoni dan toleran itu, misalnya, ditunjukkan dengan berbagai aktivitas kebudayaan dan keagamaan yang dilakukan secara bersama-sama. Sebagai contoh, jika umat Islam sedang merayakan Idul Fitri, peringatan Maulid Nabi, atau acara-acara bernuansa keagamaan lain di masyarakat setempat maka umat nonmuslim turut membantu memeriahkannya (misalnya membantu masak-memasak atau aktivitas lainnya). Begitu pula ketika umat Kristen yang sedang mempunyai "hajatan” seperti merayakan Paskah, Natal dan lainnya, umat Islam juga turut memeriahkannya. Aneka festival keagamaan-kebudayaan lokal juga sering diadakan secara bersamaan.
Tidak seperti di Ambon atau Maluku secara umum dimana umat Kristen dan muslim hidup dalam "segregasi geografi” (umat Islam tinggal di "kampung Salam” sedangkan umat Kristen tinggal di "kampung Sarani”) sebagai produk atau warisan sejarah zaman pemerintah kolonial Belanda, di Poso warga hidup membaur dalam satu daerah. Tidak ada segregasi wilayah. Oleh karena itu, dalam sejarahnya mereka sudah terbiasa hidup dalam bingkai toleransi, keharmonisan, dan perdamaian sampai malapetaka terjadi di ujung tahun 1998 akibat ulah dari elit politik yang rakus kekuasaan.
Lian Gogali sendiri mengorganisir sekolah perdamaian di 80 desa dengan menjadikan ibu-ibu sebagai "lokomotif” atau penggerak utamanya (driving force), baik dari kalangan muslim, Kristen, maupun Hindu, baik para korban, penyintas, dan lainnya. Sekolah perdamaian ini berfungsi sebagai forum diskusi, tukar-pikiran dan pengalaman dengan semangat respek terhadap keunikan masing-masing agama tanpa saling merendahkan satu sama lainnya.
Pula, di forum ini, mereka bisa saling mempertanyakan berbagai ganjalan menyangkut doktrin, ajaran, teks, tradisi, dan wacana keagamaan masing-masing umat agama yang kerap kali menimbulkan salah paham dan memicu perseteruan. Muaranya tentu saja agar tidak lagi terjadi kesalahpahaman serta terciptanya kesalingpemahaman dan kesalingpengertian antarumat agama sehingga ke depan mereka tidak mudah untuk diprovokasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Selain itu, Gogali juga menginisiasi sekolah perdamaian untuk anak-anak korban kekerasan. Anak-anak dibekali berbagai buku yang menekankan pentingnya respek dan toleransi serta diajari sejak dini ajaran-ajaran toleran-pluralis dan pentingnya keharmonisan dan perdamaian.
Para tokoh agama juga tidak lepas dari amatan Gogali
Merasa tokoh agama juga memiliki peran yang sangat penting, mereka juga disediakan forum untuk saling berbagi wawasan dan pengalaman dalam bingkai toleransi dan persaudaraan.
Apa yang dilakukan oleh Lian Gogali dan warga lain di Poso hanyalah sekedar sekelumit contoh tentang bagaimana upaya masyarakat lokal (grassroots society) dalam merintis dan mewujudkan perdamaiandan rekonsiliasi melalui forum-forum informal dan budaya lokal yang kerap kali peran sentral dan kontribusi penting mereka diabaikan oleh para pengamat, sarjana, pejabat, policymakers, dan/atau media. Sudah seharusnya apa yang masyarakat lokal di Poso lakukan untuk proses perdamaian serta mewujudkan iklim harmoni-toleran itu harus diapresiasi dan "dikloning” di daerah-daerah lain di Indonesia, khususnya "kawasan merah” yang penuh kebencian serta miskin respek dan toleransi antarumat agama.
Sumanto Al Qurtuby adalah Direktur Nusantara Institute; dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi; Visiting Senior Scholar di National University of Singapore, dan kontributor di Middle East Institute, Washington, D.C. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University. Selama menekuni karir akademis, ia telah menerima fellowship dari berbagai institusi riset dan pendidikan seperti National Science Foundation; Earhart Foundation; the Institute on Culture, Religion and World Affairs; the Institute for the Study of Muslim Societies and Civilization; Oxford Center for Islamic Studies, Kyoto University’s Center for Southeast Asian Studies, University of Notre Dame’s Kroc Institute for International Peace Studies; Mennonite Central Committee; National University of Singapore’s Middle East Institute, dlsb. Sumanto telah menulis lebih dari 25 buku, puluhan artikel ilmiah, dan ratusan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Di antara jurnal ilmiah yang menerbitkan artikel-artikelnya, antara lain, Asian Journal of Social Science, International Journal of Asian Studies, Asian Perspective, Islam and Christian-Muslim Relations, Southeast Asian Studies, dlsb. Di antara buku-bukunya, antara lain, Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London: Routledge, 2016) dan Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam (London & New York: I.B. Tauris & Bloomsbury).
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Tulis komentar Anda di kolom di bawah ini.