Santoso & Konflik Poso
12 April 2016Pemerintah Amerika Serikat baru-baru ini memasukkan nama Santoso alias Abu Wardah dan kelompoknya sebagai salah satu kelompok teroris yang paling diburu di dunia.
Bagaimana menjelaskan anak transmigran dari Jogjakarta yang awalnya hanya aktor konflik lokal ini, telah naik kasta menjadi salah satu aktor teror global? Apakah karena ia telah menyatakan bergabung dengan Islamic State IS pimpinan Al Baghdadi? Lalu bagaimana ia dan kelompoknya mampu menebar teror dari hutan sejak tahun 2011?
Menurut hemat penulis, paling tidak ada 4 hal yang terus menopang kelanggengan kelompok teror ini di Poso.
Pertama, terdapat sekitar 30 hingga 40-an orang yang saat ini diduga bergerilya di atas Gunung Biru bersama Santoso. Mayoritas dari mereka merupakan orang lokal dan pendatang yang pernah tinggal lama di Poso. Dengan kondisi demikian, secara geografis mereka lebih menguasai medan dibandingkan dengan aparat dari pusat.
Hal ini jelas memberikan kelonggaran bagi mereka untuk bisa berbaur dengan masyarakat Poso. Merekapun mudah untuk mengumpulkan dana dan logistik. Pola gerak seperti ini jelas menguji kejelian aparat untuk membedakan antara warga sipil biasa dengan militan pendukung Santoso. Tak jarang, situasi ini menjadikan aparat sering salah tangkap.
Kampanye lewat medsos
Kedua, Poso sebagai teater konflik horisontal tahun 2000an, kemudian berangsur-angsur menjadi konflik vertikal antara kelompok Santoso dan negara inipun disulap oleh kampanye sosial media pendukung Santoso sebagai teater konflik global. Terutama ketika Al Baghdadi mendeklarasikan lahirnya IS, Islamic State di Suriah. Dengan cerdas, Santoso dan kelompoknya menyatakan berbaiat kepada Al Baghdadi di laman YouTube.
Sebagai bekas daerah pasca konflik, Poso menyisakan timbunan senjata dalam jumlah besar yang saat ini justru dimanfaatkan oleh kelompok Santoso. Kasus penembakan polisi di depan Bank BCA Palu pada 2011 oleh Santoso dan kelompoknya itu menggunakan senjata sisa konflik.
Ketiga, proses rehabilitasi sosial yang dilakukan oleh pemerintah dianggap oleh pemerintah pusat sudah berhasil. Namun bagi sebagian kalangan masyarakat lokal, ada yang merasa program -program itu justru kurang mengena.
Masyarakat Muslim yang menganggap diri mereka sebagai korban, justru menjadikan mereka layaknya sebagai pelaku. Sikap yang tidak proposional ini perlahan timbul menjadi kebencian masyarakat terhadap aparatur negara, terlebih terjadi banyak kekerasaan aparat dalam penindakan tersangka pelaku kekerasan.
Oleh karena itu, kehadiran kelompok Santoso, dipandang oleh sebagian masyarakat Muslim Poso sebagai bentuk perlawanan terhadap pusat. Inilah yang menjadikan daya tarik bagi aktifis jihad di luar Poso bergabung dengan Santoso dan melakukan pelatihan militer mulai dari Makasar, Medan, Solo, Lamongan, Bima dan Jakarta.
Keempat, kurang adanya sinergi yang rapi antara aparat lokal dengan pihak keamanan yang didatangkan dari Jakarta. Hal ini tentu bisa dilihat dari banyaknya jumlah polisi lokal yang menjadi korban dari kelompok Santoso atas reaksi penangkapan Densus 88 terhadap anggotanya. Adanya kesenjangan ini justru dimanfaatkan kelompok Santoso dengan menebar teror yang ditargetkan pada mereka.
Lalu apa yang perlu dilakukan oleh negara?
Pendekatan keamanan oleh negara menjadi faktor kunci untuk memutus mata rantai konflik. Namun pendekatan tersebut juga harus diimbangi dengan pemberdayaan sumber daya masyarakat lokal. Jika kita merunut pada berbagai kasus yang terjadi di Poso sejak 2000 hingga saat ini, faktor pemicu secara dominan adalah rendahnya nilai produktifitas sumber daya masyarakat lokal serta minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia disana. Akibatnya, masyarakat, khususnya kalangan muda gampang terjerumus masuk ke dalam lingkaran kekerasan.
Oleh karena itu, hendaknya negara harus mampu melibatkan masyarakat sipil untuk mengatasi konflik yang terjadi di Poso. Hal tersebut perlu segara dilakukan sebagai upaya menepis tudingan bahwa operasi keamanan di Poso itu hanyalah upaya akal-akalan aparat keamanan untuk terus menganggarkan dana besar dalam upaya pemberantasan teroris di Poso dan seolah menjadikannya sebagai lahan proyek.
Penulis::
Noor Huda Ismail adalah pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian dan PhD Candidate Politics and International Relations di Monash University, Melbourne Australia.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.