Terbesar Sejak 1951, Jepang-AS Tingkatkan Aliansi Militer
12 April 2024Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Perdana Menteri (PM) Jepang Fumio Kishida telah menyepakati beberapa hal pada awal kunjungan pemimpin Jepang tersebut ke AS selama seminggu. Kesepakatan itu mencakup pentingnya dukungan bagi Ukraina, pengembangan bersama teknologi baru, dan rencana kerja sama badan antariksa kedua negara untuk mengirim astronot Jepang ke bulan.
Namun, bagi Kishida, tidak ada yang lebih penting daripada mengamankan komitmen baru Biden terhadap keamanan dan stabilitas Asia timur laut, pada saat Cina terus memperluas kemampuan militernya dan menghadapi tetangganya dalam sengketa wilayah. Sementara, pada saat yang sama Korea Utara mengembangkan rudal balistik yang lebih canggih dan memperkuat hubungannya dengan Rusia.
Biden menyambut kedatangan rekannya dari Jepang di Gedung Putih pada Rabu (10/4) dengan menekankan hubungan "yang tak tergoyahkan” dan aliansi "global” yang menyatukan kedua negara. Biden juga memuji komitmen Jepang untuk meningkatkan belanja pertahanan dan memperkuat aliansi tersebut.
Janji 'kemitraan global' AS dan Jepang
"Aliansi antara Jepang dan AS merupakan landasan perdamaian, keamanan, kemakmuran di Indo-Pasifik dan di seluruh dunia,” kata Biden. "Kemitraan kami benar-benar merupakan kemitraan global. Untuk itu, Perdana Menteri Kishida, saya berterima kasih."
Pembicaraan kedua pemimpin menghasilkan tidak kurang dari 70 "hasil”, atau kesepakatan. Namun, janji untuk membangun hubungan militer yang lebih kuat bisa dibilang merupakan janji yang paling signifikan. Hal ini diperkirakan akan menyebabkan perombakan terbesar dalam aliansi militer Jepang dengan Washington sejak penandatanganan perjanjian keamanan AS-Jepang di San Francisco pada September 1951.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Banyak hal yang terjadi di dunia saat ini, semuanya saling terkait, dan kejadian di satu kawasan bisa dengan mudah menyebar dan mengguncang seluruh dunia,” kata Stephen Nagy, profesor hubungan internasional di Universitas Kristen Internasional Tokyo.
Selain konflik yang sedang berlangsung di Ukraina dan senjata pemusnah massal Korea Utara, masalah keamanan utama mencakup ketegangan di Selat Taiwan antara Beijing dan Taipei. Selain itu, yang juga sedang dibahas adalah bantuan bagi Filipina untuk melawan upaya Cina merebut lebih banyak pulau di Laut Cina Selatan, serta operasi militer yang sedang berlangsung di Gaza dan bagaimana hal itu dapat mengganggu stabilitas perdagangan global dan tatanan berbasis aturan internasional.
"Jepang berada dalam posisi yang sulit karena sangat bergantung pada perdagangan laut, yang berarti bahwa Tokyo harus berada di garis depan dalam upaya mempengaruhi geopolitik dan mencegah keadaan darurat. Dan cara terbaik untuk melakukan hal tersebut adalah dengan menjalin kemitraan keamanan yang kuat dengan negara-negara yang berpikiran sama,” kata Nagy kepada DW.
Jepang mencari aliansi baru
Hal ini terlihat dari keinginan Tokyo untuk menjadi pihak dalam berbagai pakta keamanan dan perdagangan, seperti Dialog Keamanan Segiempat (QSD) yang mempertemukan India, Australia, AS, dan Jepang. Serta semakin kuatnya perjanjian trilateral antara Jepang, AS, dan Korea Selatan, dengan menandatangani perjanjian di Camp David pada Agustus 2023. Jepang juga akan menghadiri pertemuan tahunan NATO mendatang di Washington pada Juli.
Meskipun aliansi keamanan dengan AS merupakan hal yang paling penting bagi Jepang, aliansi tersebut perlu diperbarui lebih dari 70 tahun setelah pertama kali ditandatangani.
Kedua belah pihak memandang kunjungan Kishida ke Washington sebagai peluang bersejarah untuk memodernisasi aliansi dan menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh para pesaing di kawasan Asia-Pasifik.
Jepang telah mengambil langkah-langkah ke arah tersebut dengan mengumumkan peningkatan dramatis dalam belanja pertahanan selama lima tahun mendatang yang akan meningkatkan total pengeluaran menjadi 2% dari PDB pada 2027. Pangkalan baru sedang dibangun di pulau-pulau paling selatan Jepang, beberapa hanya berjarak sekian ratus kilometer dari potensi titik nyala Taiwan.
Restrukturisasi komando militer AS
Kishida dan Biden juga mengumumkan pembentukan sebuah badan untuk membahas pengembangan bersama, produksi dan pemeliharaan peralatan pertahanan, dan akan memulai pembicaraan tentang cara-cara merestrukturisasi komando militer AS di Jepang guna meningkatkan perencanaan operasional dan latihan bersama antara pasukan kedua negara.
Elemen utama dari hubungan yang lebih erat ini diharapkan adalah penempatan perwira militer AS yang lebih senior di Jepang dengan wewenang untuk mengambil keputusan cepat dibandingkan harus merujuk pada Komando Indo-Pasifik AS di Hawaii. Washington juga sedang mempertimbangkan pembentukan satuan tugas gabungan AS baru yang akan bergabung dengan Armada Pasifik AS dan pada akhirnya akan berbasis di Jepang.
"Saya tidak mengharapkan banyak perubahan dalam strategi, karena ini lebih merupakan tentang komunikasi yang lebih baik antara AS dan Jepang, karena semuanya bergantung pada kemampuan komando dan kendali,” kata Ryo Hinata-Yamaguchi, asisten profesor hubungan internasional. di Universitas Tokyo.
"Jepang sedang berupaya membentuk Komando Operasi Gabungan dan rencana satuan tugas gabungan AS akan memerlukan penataan kembali kekuatan,” katanya kepada DW. "Bisa dibilang masalah yang lebih besar bagi Jepang adalah akibat dari dokumen postur pertahanan dan keamanan baru yang dirilis tahun lalu yang membuat semua perjanjian dan pedoman antara Jepang dan AS sudah ketinggalan zaman dan perlu diperbarui.”
Lebih fokus pada Indo-Pasifik
Hinata-Yamaguchi memperkirakan posisi strategi masa depan yang dikeluarkan bersama oleh Jepang dan AS akan membuat "penyebutan Indo-Pasifik secara lebih eksplisit" sebagai wilayah utama kerja sama keamanan, sebuah langkah yang disengaja oleh Tokyo untuk melampaui batas-batas masalah keamanannya.
Menyelesaikan rincian perjanjian yang dihasilkan Washington akan memakan waktu, begitu pula koordinasi dan implementasinya, paparnya.
"Saya kira apa pun yang disepakati tidak akan menyebabkan lebih banyak konfrontasi dengan negara-negara lain di kawasan, karena sudah cukup banyak hal yang terjadi,” katanya. "Jepang, AS, dan Korea Selatan telah menyatakan dengan jelas melalui tindakan mereka bahwa mereka yakin konsekuensi dari tidak adanya tindakan akan jauh lebih besar dibandingkan jika mereka mengambil tindakan.”
"Cina, Korea Utara, dan Rusia tentu saja akan mengajukan keluhan, tetapi mereka dapat diandalkan untuk menyampaikan keluhan, terlepas dari apa yang dilakukan Jepang atau AS,” tambahnya. "Kuncinya adalah membuat negara-negara lain di Asia Tenggara, negara-negara kepulauan di Pasifik dan negara-negara lain, yang mungkin enggan memusuhi Cina, untuk mengambil sikap keamanan yang lebih terbuka.”
(rs/pkp)