1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikCina

Cina Menuju Status Adidaya Maritim di Samudera Pasifik

12 Maret 2024

Cina memodernisasi angkatan lautnya dengan membangun kapal induk baru demi memperluas daya jelajah. Diyakini, ambisi maritim Beijing tidak terbatas pada Selat Taiwan atau Laut Cina Selatan, tapi seluruh Samudera Pasifik.

https://p.dw.com/p/4dQR9
Kapal induk Liaoning
Kapal induk Liaoning di perairang Qingdao, April 2019Foto: Zhang Lei/HPIC/dpa/picture alliance

Ancaman perang terus meningkat di Selat Taiwan. Cina telah bertekad merebut kembali pulau yang memerdekakan diri sejak 1949 itu, termasuk dengan cara-cara militer. Di hadapan Kongres Rakyat Nasional, Perdana Menteri Li Qiang kembali menegaskan niat Beijing untuk "secara tegas memajukan upaya reunifikasi Taiwan dengan Cina," sebagai bagian dari dari "haluan dasar” pemerintah, tegasnya.

Meski bukan hal yang baru, pidato Li menghilangkan kata "damai” sebelum "reunifikasi," seperti yang lazimnya digunakan dalam pidato kenegaraan terkait isu Taiwan. Bagi pemerintah di Beijing, sumber ancaman keamanan terbesar terletak pada kenyataan bahwa Republik Cina, sebutan resmi Taiwan, telah menerima jaminan keamanan dari Amerika Serikat.

Menurut laporan media AS, pemerintah di Washington saat ini menempatkan lima kapal induk di kawasan Pasifik.

Politisi Cina belakangan ini gencar melontarkan propaganda: "perdamaian dan keamanan di kedua pesisir,” sebuah ungkapan yang diyakini banyak ahli tidak lagi hanya merujuk pada Selat Taiwan, namun mengacu pada Samudra Pasifik secara keseluruhan.

Demi memenuhi ambisi tersebut, Cina menggandakan daya jangkau kekuatan tempurnya, antara lain dengan membangun tiga kapal induk baru. Titik terjauh di Laut Cina Selatan, misalnya, terpaut jarak sekitar 2.000 kilometer dari daratan Cina.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Program dua ditambah dua

Angkatan Laut Cina saat ini masih berlatih mengoperasikan dua kapal induk, sejak pelayaran perdana Liaoning pada 2012 yang dibeli dalam kondisi bekas dari Ukraina tahun 1998. Proses pembelian kapal buatan Uni Sovyet itu pun dipenuhi muslihat, lantaran Ukraina menolak menjualnya kepada Cina untuk keperluan militer. Pemerintah di Beijing akhirnya mengutus seorang pengusaha Makau membeli kapal tersebut seharga USD 20 juta untuk dijadikan hotel dan kasino terapung.

Kapal induk kedua, Shandong, adalah hasil salinan Liaoning yang diproduksi di dalam negeri. Kapal ini mulai beroperasi pada tahun 2019 dan sejak itu aktif berpatroli di Laut Cina Selatan.

Kedua kapal induk tidak menggunakan penggerak tenaga nuklir, melainkan digerakkan oleh generator diesel. Liaoning dan Shandong juga tidak memiliki sistem ketapel pelontar jet, dan sebaliknya mengandalkan dek penerbangan bergaya lompat ski untuk menerbangan jet tempur.

Adapun kapal induk ketiga, Fujian, masih menjalani tes dan pengujian di galangan kapal di Shanghai, meski sudah resmi diluncurkan sejak 2022 silam. Seperti dua kapal induk lainnya, Fujian juga digerakkan secara konvensional. Kapal induk ini dijadwalkan mulai beroperasi penuh pada tahun 2025.

Cina diisukan sedang membangun kapal induk keempat, setelah Laksamana Yuan Huazhi, komisaris politik angkatan laut Cina, mengindikasikannya di sela-sela Kongres Rakyat Nasional tahun ini. "Saya tidak mengetahui adanya kesulitan teknis terkait kapal induk keempat,” katanya saat menjawab pertanyaan wartawan.

Ketika ditanya apakah kapal induk terbaru Cina akan bertenaga nuklir, Yuan mengelak dan mengatakan semuanya "akan segera diumumkan.”

Kapal Induk Jepang Buka Pintu buat Warga Jakarta

Dua kapal baru bertenaga nuklir?

Sebelum dimulainya Kongres Rakyat Nasional di Beijing, media Hong Kong dan Taiwan melaporkan betapa Cina juga sedang giat membangun dua kapal induk bertenaga nuklir. Masing-masing kapal nantinya akan digerakkan oleh dua reaktor garam cair-thorium yang menghasilkan energi melalui fisi nuklir.

"Cina ingin menunjukkan ambisinya yang kuat untuk mempertahankan klaim teritorial dengan angkatan laut modern,” kata Wang Feng, editor surat kabar berbahasa Mandarin, China Times, di ibu kota Taiwan, Taipei.

Besarnya kekuatan tempur Cina mencerminkan ambisi militer Partai Komunis di Samudera Pasifik. Belanja pertahanan Cina meningkat menjadi USD 232  miliar tahun ini, atau meningkat sebesar 7,2% dibandingkan tahun lalu. Namun dalam anggaran belanja negara, Tentara Pembebasan Rakyat hanya mengambil porsi sebesar 1,2 persen.

Menurut Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI), Cina menempati peringkat kedua di dunia dalam belanja militer, meski masih terpaut jauh di bawah Amerika Serikat.

Cina Luncurkan Kapal Induk Buatan Sendiri

Damai kepentingan bersama

Namun begitu, perdamaian tetap diramalkan Hanna Gers dari lembaga pemikir Dewan Hubungan Luar Negeri, Jerman. "Pada prinsipnya, baik Cina maupun AS tidak tertarik pada konflik militer,” kata dia. "Secara pribadi, saya pikir blokade ekonomi lebih mungkin terjadi. Tapi saya juga tahu bahwa semua kemungkinan akan ikut dibahas.”

Menanggapi isu ekspansi armada laut Cina, Laksamana Yuan Huazhi merespons dengan diplomatis, semua itu sesuai haluan resmi partai. "Kami sedang membangun kapal induk, bukan untuk menyaingi, apalagi berperang dengan AS. Kami ingin menggunakannya untuk mempertahankan kedaulatan dan integritas wilayah kami.”

Dia mengisyaratkan, di masa depan kemungkinan adanya penempatan angkatan laut Cina di samudera yang jauh dari kawasan kedulatan Beijing. "Kapal induk dibangun untuk tujuan ini.” Timur Tengah bisa menjadi tujuan pertama misi laut PLA, di mana pemberontak Houthi menebar ancaman di Laut Merah.

"Rute perdagangan melalui Laut Merah memiliki kepentingan strategis bagi pasokan energi  Cina” kata Wang. "Namun, militer Cina belum dalam posisi untuk melakukan operasi keamanan maritim," di tempat yang jauh.

rzn/as