Asia Tenggara: Bagaimana Perangi Krisis Perdagangan Manusia?
27 April 2023Krisis kemanusiaan yang sangat besar telah berkembang di wilayah Mekong, Asia Tenggara, dipicu oleh pesatnya pertumbuhan perusahaan penipuan online dan kasino ilegal. Terlepas dari upaya untuk menindak gerombolan kriminal, modus perdagangan manusia dan penipuan ilegal yang terus berubah menjadi kekuatan yang semakin merusak.
Penggerebekan baru-baru ini di beberapa kasino di pusat perdagangan manusia Myanmar, Shwe Kokko, menyebabkan pertempuran sengit dan mematikan antara kelompok pemberontak etnis dan militer Myanmar. Ribuan orang melarikan diri ke negara tetangga, Thailand.
Sementara itu, kurangnya penegakan hukum di zona konflik seperti Myanmar telah memungkinkan para penjahat untuk pindah dan dengan cepat membangun "kompleks budak" baru, di mana korban perdagangan manusia ditahan, dianiaya, disiksa, dan bahkan dibunuh.
Ketika skala krisis menjadi lebih jelas dan para pedagang menargetkan warga negara di luar Asia Tenggara, kelompok masyarakat sipil dan penyelamat menyerukan tindakan segera untuk mengidentifikasi dan memerangi kejahatan ini.
Sering berpindah dan memperluas operasi
Dalam beberapa tahun terakhir, Kamboja menjadi negara tujuan utama perdagangan manusia di Asia Tenggara. Para pedagang, banyak yang terhubung dengan geng kriminal terorganisir, menemukan penipuan online sebagai model bisnis yang menguntungkan dan menargetkan warga negara asing melalui berbagai aplikasi media sosial dengan tawaran pekerjaan bergaji tinggi dan akomodasi.
Orang-orang yang tertipu oleh iklan palsu tersebut kemudian menemukan diri mereka terjebak dalam perbudakan modern.
Menanggapi tekanan internasional, pihak berwenang Kamboja telah berusaha untuk menekan sindikat tersebut dengan merazia kompleks dan membebaskan para korban. Namun, para ahli dan sumber di lapangan mengatakan krisis tidak akan hilang meski tindakan keras diberlakukan.
"Respons internasional jauh di belakang laju aktivitas terlarang ini yang meluas,” kata Jason Tower, Direktur Program Burma dari Institut Perdamaian Amerika Serikat (USIP), kepada DW.
Menurut Tower, situasinya lebih serius di negara-negara seperti Myanmar dan Laos, di mana banyak daerah benar-benar di luar jangkauan penegakan hukum.
Dengan memanfaatkan kurangnya supremasi hukum, para penjahat menjalankan perjudian online, skema Ponzi, dan semakin terlibat dalam perdagangan satwa liar.
"Mereka memiliki semua yang mereka inginkan, jadi mereka mulai terlibat dalam perdagangan satwa liar dan membeli hewan eksotis," kata kata Mina Chiang, Direktur Humanity Research Consultancy kepada DW.
Menargetkan warga di luar Asia
Para korban yang berasal lebih dari 20 negara telah dijebak dalam operasi ini dengan janji mendapatkan pekerjaan bagus. Di bawah todongan senjata, mereka dipaksa berpartisipasi dalam skema kejahatan ganda dengan menipu korban lainnya. Jika menolak, mereka akan menghadapi siksaan fisik dan psikologis.
"Sangat tidak mungkin untuk melarikan diri dari kompleks tersebut. Setiap kali Anda memasuki sebuah kompleks, mereka membeli Anda sebagai budak - jadi mereka memastikan Anda akan tinggal dan bekerja untuk mereka," kata MD Abdus Salam, korban perdagangan manusia, kepada DW.
Salam dibujuk dari Bangladesh ke Kamboja dan dipaksa melakukan penipuan selama lima bulan, di mana dia harus menghujani calon korban dengan janji romansa dan kekayaan sebelum membiarkan para penipu mengambil semua uang mereka.
Banyak dari korban penipuannya berasal dari luar Asia, termasuk orang Jerman, yang harus dia targetkan di berbagai platform media sosial atau aplikasi kencan seperti Tinder. Ia menggunakan profil palsu untuk membangun berbagai hubungan mulai dari hubungan cinta atau pertemanan, hingga mendapatkan kepercayaan dari korban penipuan.
Bagaimana cara mengetahui bahwa Anda telah ditipu?
"Jika Anda mengetahui bahwa penipu itu serakah, itu seharusnya menjadi sinyal," kata Stacy, yang meminta untuk tidak mengungkapkan nama aslinya demi alasan keamanan, kepada DW.
Stacy adalah salah satu dari sedikit orang yang bisa mendapatkan kembali uangnya, sementara banyak korban penipuan lainnya kehilangan semua asetnya.
"Jika seseorang memperkenalkan diri kepada Anda secara online dan sangat ingin berteman dengan Anda dan menunjukkan kepada Anda kehidupan mewah mereka — dan setelah beberapa hari, mereka menunjukkan kepada Anda bahwa mereka menghasilkan uang dengan mata uang kripto dan menawarkan Anda untuk menginvestasikan uang dalam mata uang kripto, saat itulah Anda harus berbalik 180 derajat dan berpaling dengan segera, karena dia pasti scammer," kata Salam.
Setelah beberapa bulan ditahan, dia berhasil melarikan diri dari kompleks tersebut. Saat ini Salam mencoba membantu pihak berwenang dan organisasi masyarakat sipil untuk menyelamatkan korban lain yang masih terperangkap di dalam kompleks.
Kewarganegaraan korban menyiratkan kewarganegaraan pedagang
Seperti yang ditunjukkan oleh laporan terbaru oleh Humanity Research Consultancy, semakin banyak korban perbudakan seperti Salam yang dibujuk dari Eropa, Afrika, atau Amerika.
Menurut Mina Chiang, hampir tidak mungkin penjahat lokal di Kamboja dan Myanmar merekrut korban tanpa bergabung dengan jaringan kriminal di negara sumber korban.
Beberapa minggu lalu, Taiwan menghukum sekelompok penyelundup yang mengirim 88 korban ke kamp penipuan Kamboja. Kelompok tersebut tidak terlibat dalam operasi penipuan di Kamboja, tetapi secara aktif memikat dan mengirim korban dari Taiwan ke Kamboja.
"Negara-negara yang telah menemukan warganya di antara para korban dalam kompleks penipuan harus membasmi pelaku domestik yang bertanggung jawab atas perdagangan mereka di sana," tambah Chiang.
Bagi Chiang dan timnya, sorotan seharusnya tertuju pada para penjahat daripada calon korban. Dengan sebagian besar aset mereka tersebar di seluruh dunia, dia mendesak otoritas internasional untuk memberikan sanksi kepada penjahat dengan membekukan aset mereka atau melabeli mereka sebagai teroris untuk memperingatkan bank.
"Orang diperdagangkan bukan karena mereka rentan, tapi karena ada pedagang manusia," kata Chiang.
(ha/yf)