Modus Perkawinan di Perdagangan Orang Kerap Terabaikan
26 Juni 2019Seolah terus berulang, kasus perdagangan orang kembali terjadi. Belakangan ini korbannya adalah 29 orang perempuan yang dijanjikan kawin dengan orang dari Cina. Meski mayoritas korban berasal dari kalangan menegah ke bawah, bukan menutup kemungkinan korban juga bisa berasal dari golongan yang berkecukupan. Hal ini mengingat modus yang mereka gunakan untuk menjaring korban begitu kompleks, mulai dari pernikahan hingga menjadi duta kesenian.
Bagaimana mengenali modus ini dan tren negara tujuan perdagangan orang? Pada Rabu (26/06) Deutsche Welle berbincang dengan Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Thaufiek Zulbahary, sebagai berikut:
Deutsche Welle: Terjadi lagi perdagangan orang dengan korban 29 orang yang dijual ke Cina. Mengapa kasus ini selalu berulang dan korbannya kebanyakan perempuan?
Thaufiek Zulbahary: Dibanding modus lain, kasus perdagangan orang dan keterkaitan dengan perkawinan (paksa) cenderung luput dari perhatian. Upaya-upaya sosialisasi belum banyak mengangkat modus ini, sehingga praktik-praktik dan potensi resikonya relatif tidak/sulit dikenali di masyarakat dan akhirnya calon korban mudah terjerat menjadi korban. Modus pengantin pesanan memang menargetkan perempuan dan atau anak perempuan. Ini melibatkan jaringan perekrut dan perantara atau comblang di berbagai level, seperti di Kalimantan Baran dan Jakarta hingga internasional untuk mencari dan pemperkenalkan kepada laki-laki asal Cina untuk dinikahi dan kemudian dibawa ke Cina. Cara penipuan yang digunakan yaitu dengan memperkenalkan calon suami sebagai orang kaya dan membujuk korban untuk menikah dengan iming-iming akan dijamin seluruh kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Keluarga korban pun diberi sejumlah uang. Soal masifnya perekrutan dengan jaringan terorganisir dan luas ini (banyaknya mak comblang yang cari korban ke desa-desa) juga jadi salah satu faktor penyebab kasus ini marak, khususnya di Kalimantan Barat. Parahnya, ini jadi penyebab berikutnya, persamaan persepsi ttg modus perkawinan ini sebagai tindak pidana perdagangan orang (TPPO) belum merata di kalangan aparat penegak hukum dan pihak terkait lainnya, sehingga upaya pencegahan dan penegakan hukum belum optimal dan berujung pada penegakan hukum yang lemah, tidak menimbulkan efek jera pada para pelaku.
Dari kelas sosial mana kebanyakan korban berasal? Apakah hanya dari kalangan menengah ke bawah atau tidak mengenal kelas
Menurut pendamping korban dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), para pelaku TPPO di Kalbar memang menyasar perempuan dari kalangan menengah ke bawah. Di Jawa Barat juga demikian. Pada dasarnya, kerentanan bisa bersifat sangat pribadi bergantung pada individu dan konteks khusus. Memang akan sulit untuk mengidentifikasi faktor risiko secara generik untuk TPPO misal hanya karena masalah ekonomi atau pendidikan rendah. Faktor-faktor ini berhubungan dengan cara yang cukup rumit dalam kaitannya dengan berbagai bentuk eksploitasi. Untuk konteks tren saat ini, korban bisa sangat lintas kelas. Tergantung kerentanannya. Posisi rentan inilah yg dimanfaatkan pelaku untuk menjerat korban.
Selain iming-iming dinikahkan, modus apa yang dipakai untuk menjerat korban?
Saat ini terus berkembang diantaranya modus penculikan bayi, anak, dan gadis remaja. Selain itu ada juga modus duta budaya dan seni tari, adopsi bayi atau anak, pengantin pesanan, kawin paksa, kawin kontrak, anak buah kapal, pekerja rumah tangga, penjualan organ, hingga eksploitasi seksual untuk dijadikan pekerja seks atau Pedila (perempuan yang dilacurkan). Modus paling marak sepanjang 2018, menurut data Bareskrim, adalah eksploitasi seksual, dan kemudian disusul dengan modus sebagai pekerja migran termasuk PRT dan ABK. Pada 2017 misalnya, data pengaduan langsung TPPO ke Komnas Perempuan didominasi kasus PRT/PRT migran yang menjadi korban TPPO, disertai kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kriminalisasi.
Tindakan pencegahan yang efektif seperti apa? Baik dari individu, keluarga maupun lingkungan?
Koordinasi yg baik perlu terus diperkuat untuk mencegah terjadinya kasus-kasus seperti ini, terutama dengan pihak imigrasi, pihak otoritas terkait perkawinan, juga pemerintah desa hingga RT dan RW. Modus perkawinan harus menjadi perhatian bagi gugus sub tugas Pencegahan Gugus PPTPPO, baik pusat maupun level daerah (Kalbar dan Jabar). Upaya sosialisasi, diseminasi informasi, termasuk media KIE yang spesifik pencegahan TPPO modus perkawinan.
Peran serta masyarakat untuk mencegah?
Dalam rangka pencegahan, perlu upaya mengenali dan mengenalkan ke publik luas tentang indikasi-indikasi modus perdagangan orang dilihat dari proses, cara, dan tujuan eksploitasinya. Misal, ada proses mengajak/rekrut, ada cara-cara penipuan, iming-iming bujuk rayu dari mak comblang atau perantara kepada korban. Dijanjikan dibilang bahwa calon suami berkecukupan, bisa mencukupi kebutuhan hidup, hingga jebakan utang dengan memanfaatkan posisi rentan mereka yang akhirnya membuat mereka mau menuruti dan dinikahkan dan kemudian dpaat berujung eksploitasi. Setelah memahami indikasi-indikasi tersebut, diharapkan masyarakat bisa berpartisipasi aktif untuk bersama menjadi radar pendeteksi dan kemudian mencegahnya. Lebih jauh lagi, masyarakat bisa melapor kepada kepolisian terdekat agar bisa dilakukan penyelidikan dan penyidikan dll.
Kalau sudah menjadi korban, atau tahu orang yang menjadi korban, apa yang harus dilakukan?
Jika seseorang sudah menyadari bahwa ia adalah korban, yang harus dilakukan adalah melaporkan ke kepolisian atau Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) setempat. Namun untuk menuju seseorang menyadari bahwa ia korban perdagangan orang bukan hal yg sederhana. Di sinilah letak pentingnya sosialisasi tindak pidana perdagangan orang yang menjangkau ke seluruh lapisan masyarakat. Setelah ia menyadari bahwa ia korban pun, butuh kesadaran khusus dan keberanian tersendiri untuk melapor. Misalnya: Takut terhadap ancaman balik dari para pelaku. Atau bahkan pelaku melibatkan kerabat keluarga atau tetangga, korban bergantung hidupnya kepada pelaku, termasuk adanya hubungan pribadi.
Seperti apa tren perdagangan orang selama beberapa tahun terakhir? Ke negara mana yang paling banyak? Apakah ada pergantian trend negara tujuan dan mengapa terjadi?
Jika mengacu pada laporan korban TPPO yang ditangani oleh International Organization for Migration (IOM) sepanjang 2018, Negara tujuan terbanyak adalah Cina, Irak, Malaysia, Vietnam, Hong Kong dan Turki. Korban juga ditemukan di Somalia, Australia, Amerika Serikat, Gabon, Peru, Selandia Baru, dan Singapura. Untuk korban yang diperdagangkan di wilayah Indonesia, mayoritas ke Sumatera Utara, Jakarta, dan Jawa Barat. Bareskrim PolriI menemukan pergesaran modus operandi TPPO. Negara ASEAN bukan lagi sebagai negara tujuan, tetapi adalah negara transit selama 2018. Modus pengantin pesanan meluas ke provinsi di luar Kalimantan Barat, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten.
Wawancara oleh Arti Ekawati dan telah diedit sesuai konteks.