Tiga Tantangan Berat bagi Perekonomian Cina di 2023
25 Januari 2023Pertumbuhan ekonomi di Cina tahun 2022 hanya sekitar tiga persen, jauh di bawah target maupun angka pertumbuhan sepuluh tahun terakhir yang selalu mengesankan. Untuk ketiga kalinya sejak tahun 2000, pertumbuhan ekonomi tidak melampaui angka tiga persen, jauh di belakang ambisi para pemimpin politik yang biasanya optimistik.
Terutama sejak penyebaran varian omicron, otoritas Cina memberlakukan penguncian ketat dengan kebijakan "nol-Covid" untuk memutus rantai infeksi. Tapi langkah itu seringkali tidak berhasil, bahkan berdampak buruk bagi ekonomi. Angka konsumsi maupun produksi turun drastis, rantai pasokan terhenti. Penguncian di kota metropolitan Shanghai pada April dan Mei 2022 misalnya langsung berdampak pada tingkat pertumbuhan pada kuartal kedua 2022 yang hanya 0,9 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Di bawah tekanan ekonomi dan sosial yang sangat besar, Beijing pada Desember lalu mendadak berbalik seratus delapan puluh derajat dan mencabut hampir semua pembatasan Covid-19. Langkah itu disebut bertujuan untuk mendongkrak ekonomi, namun para ahli dan pengamat pesimistik. Dana Moneter Internasional IMF misalnya, malah menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi untuk Cina, dengan alasan bahwa kebijakan yang baru bisa memicu angka infeksi yang kemudian akan berdampak negatif pada perekonomian Cina dalam tiga sampai enam bulan ke depan.
Pemenang jangka pendek dari pandemi
Untuk jangka panjang, perekonomian Cina diperkirakan akan bangkit lagi, tapi tidak pada tingkat sebelum pandemi. "Pemulihan ekonomi yang telah lama ditunggu kemungkinan akan terjadi tahun ini. Fakta bahwa gelombang infeksi mungkin akan mencapai puncaknya dalam beberapa minggu atau bulan ke depan membuka prospek yang lebih baik untuk sisa tahun 2023," kata Jürgen Matthes, pakar Cina dari lembaga ekonomi Jerman IW di Köln kepada DW.
Setelah gelombang infeksi corona pertama pada tahun 2020, perekonomian Cina memang pulih dengan cepat. Sementara negara-negara maju masih mengalami lockdown, pabrik-pabrik di Cina sudah meningkatkan produksi secara penuh. Pada 2021, surplus ekspor mencatat rekor baru dan Cina mampu mencapai pertumbuhan lebih dari delapan persen. Namun karena di negara-negara tujuan ekspor perekonomian melambat atau terhenti, Cina lalu melakukan investasi di dalam negeri dengan proyek-proyek pembangunan raksasa.
"Dalam jangka menengah, Cina telah mengupayakan pembangunan domestik dan berorientasi jasa, karena tidak lagi bisa bergantung pada pasar ekspor," kata pakar Cina Rolf Langhammer. Tapi strategi itu bisa jadi bumerang.
Selain Covid masih ada masalah-masalah lain
Pemulihan pada 2023 akan lebih sulit daripada 2020 dan 2021, kata Rolf Langhammer, karena negara-negara lain juga telah memulai produksinya lagi. "Cina telah menjalankan kebijakan stop-and-go, yang menciptakan ketidakpastian di satu sisi. Di sisi lain lain ada masalah ekonomi jangka menengah seperti distribusi pendapatan dan kekayaan yang tidak merata."
Perubahan demografis dan krisis real estat juga memperlambat pertumbuhan di masa depan. Secara keseluruhan, Rolf Langhammer berpendapat bahwa masalah struktural internal saat ini lebih menentukan bagi ekonomi Cina daripada faktor eksternal seperti pandemi. Dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun 2023 bisa mencapai 4,5 persen.
Jürgen Matthes berpandangan serupa. Dia mengatakan, pandemi corona bahkan bukan faktor eksternal terpenting bagi perekonomian Cina. Geopolitik memainkan peran yang jauh lebih besar. "Cara Cina menangani kebijakan corona telah mengejutkan banyak orang. Sekarang ada pertimbangan di Eropa dan AS untuk mengurangi ketergantungan mereka pada Cina."
Jürgen Matthes memperkirakan, perekonomian Cina akan bergeliat lagi akhir tahun ini, namun pemulihan ekonomi akan menghadapi tiga tekanan berat: meningkatnya angka infeksi Covid-19, gesekan geostrategis, dan masalah struktural internal. (hp/yf)