‘Nusantara' telah ditetapkan sebagai nama bagi ibu kota Indonesia yang baru kelak. Kalimantan diproyeksikan menjadi episentrum baru dari negara dan kebangsaan Indonesia, meninggalkan Jakarta, dan Jawa, yang sudah sesak dalam berbagai segi, termasuk politik, sosial, dan ekonomi. Melalui rencana ini, pemerintahan Joko Widodo dan pengusung utamanya, PDIP, semakin solid dalam mencitrakan dirinya sebagai ahli waris dari aspirasi-aspirasi Sukarno dahulu yang tak sempat terwujud. Terlepas dari kekhawatiran dan risikonya, rencana besar pemindahan ibu kota ini adalah kebijakan yang berani dan mendobrak.
Jakarta, dulu Batavia, adalah kota yang dibangun atas dasar kolonialisme; tempat berkumpulnya kekayaan dari segala penjuru-koloni Belanda di Asia. Sekarang, kemegahan dan keterpusatan berlebih Jakarta sebagai ibu kota Indonesia merdeka tampak sebagai kegagalan negara dalam mendistribusikan kemakmuran ke daerah lain. Ibu kota Nusantara di Kalimantan dihadirkan sebagai solusi untuk melepaskan Indonesia dari ikatan masa lalu dan citra ketimpangan tersebut. Kalimantan menjadi tempat asa kebaruan dan visi jangka panjang Indonesia modern coba dipraktekkan, dan sebagaimana sejarah memperlihatkan, dipertaruhkan kembali harkatnya.
Kalimantan dan Politik Kawasan
Pentingnya Kalimantan bagi Indonesia terlihat sejak pemilihan namanya. Dunia Barat kerap menyebutnya Borneo, nama yang kemudian tidak disukai orang-orang setempat setelah pada 1881 Carl Bock mempublikasikan buku perjalanannya yang menempelkan stigma luas orang-orang Borneo sebagai suku pemburu kepala yang kejam dan bagaimana keseluruhan pulau tersebut dianggap belum beradab. Lantas, Indonesia merdeka memutuskan untuk menggunakan nama Kalimantan yang berasal dari bahasa lokal sekaligus penegasan bahwa keseluruhan pulau tersebut masuk lingkup pengaruh (sphere of influence) politik dan sosial-budaya Indonesia.
Dalam konteks kolonialisme Belanda, Kalimantan cenderung tidak terkoneksi secara politik, ekonomi, dan intelektual, dibandingkan dengan di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Kota-kota pesisirnya memang eksis sejak dahulu sebagai kota-kota dagang yang ramai, namun pedalaman Kalimantan yang penuh hutan rimba dan segala potensi alamnya masih relatif misterius sampai paruh pertama abad ke-20. Minimnya eksplorasi kolonialisme Eropa menjadi salah satu alasan mengapa keabsahan kepemilikan atas Kalimantan diperkarakan Indonesia, Malaysia, Inggris, Brunei, orang-orang Sabah dan Sarawak ketika proses dekolonialisme berlangsung.
Tahun 1960-an menjadi momen penting bagi nasib Kalimantan. Sudah sejak 1957 ketika Palangka Raya dibangun di Kalimantan Tengah, Sukarno mendorong upaya pemindahan ibu kota Indonesia ke sana. Menurutnya, sisa-sisa kolonialisme harus ditinggalkan termasuk warisan gejala terpusatnya modal dan kekayaan Indonesia di Jawa saja yang kerap membuat daerah-daerah lain iri dan merasa tereksploitasi oleh orang-orang Jawa. Sebelumnya, ndonesia pada 1950-an adalah masa-masa rawan karena terjadi banyak pemberontakan, khususnya di luar Jawa, yang sedikit banyak terjadi akibat ketidakpuasan terhadap fenomena ketimpangan tersebut.
Alasan filosofis lain dipilihnya Kalimantan adalah Indonesia harus dibangun atas dasar kebaruan. Kalimantan dianggap pilihan adil bukan hanya karena letaknya yang di tengah Indonesia, namun juga karena Kalimantan memberikan ruang lebih besar bagi Sukarno untuk mengaplikasikan ide-ide revolusionernya. Kehidupan di Jawa, Sumatera, Sulawesi dianggap sudah terlampau terpengaruhi oleh struktur dan infrastruktur warisan kolonial. Faktor kepadatan di pulau-pulau tersebut juga membuat lapangnya Kalimantan ideal sebagai daerah tujuan program transmigrasi; ia diproyeksikan menjadi melting pot orang-orang Indonesia dari beragam etnis dan budaya.
Rencana pemusatan kekuatan politik Indonesia di Kalimantan saat itu juga diusahakan atas pertimbangan politik kawasan. Pada 1963, Indonesia, Filipina, dan Malaya berusaha membentuk suatu konfederasi nonpolitik bernama Mafilindo, tujuannya untuk mempersatukan kembali orang-orang Melayu dalam satu identitas bersama yang sebelumnya dipecah oleh kolonialisme. Kalimantan menjadi strategis karena Filipina mengklaim Sabah dan Malaya memiliki kepentingan emosional terhadap Sabah dan Serawak sebagai sesama bekas jajahan Inggris. Letak Kalimantan yang berada di tengah-tengah Mafilindo juga cocok sebagai pusatnya. Sayang, gagasan Mafilindo tidak diteruskan.
Selama konfrontasi Indonesia-Malaysia, Kalimantan menjadi tempat pertempuran ideologi dan militer. Bermodalkan kemenangan atas Belanda di Papua, Sukarno berusaha menggunakan taktik serupa ke Malaysia: infiltrasi militer dan menggalang opini politik dunia internasional. Bagi Sukarno, Malaysia, khususnya wilayahnya yang berbatasan langsung dengan Indonesia di Kalimantan, adalah ancaman politik karena rakyatnya tidak merdeka dengan usaha sendiri dan bisa menjadi bibit-bibit neokolonialisme. Itu sebabnya Sukarno mendukung kelompok A.M. Azahari dan Ahmad Zaidi yang berusaha membentuk negara Kalimantan Utara yang beraliran kiri dan anti Barat.
Sejatinya, masalah wilayah Indonesia dianggap sudah selesai dengan kemenangan di Papua. Namun, sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dengan tendensi politik internasional yang besar, Indonesia memiliki dorongan untuk memastikan negara-negara tetangganya tetap berada dalam pengaruhnya dan tidak menjadi ancaman politik dan militer. Serupa dengan misalnya hubungan Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur, Amerika Serikat dengan Kanada dan Karibia, atau Vietnam dengan Laos dan Kamboja. Sukarno tidak berniat mencaplok Malaysia, sebagaimana ia tidak berniat menyerang Timor-Portugis akibat perbedaan sejarah kolonialismenya.
Setelah Sukarno tumbang akibat Peristiwa 1965, Kalimantan kehilangan pamor sebagai tempat visi masa depan Indonesia. Sukarno memang yang pada akhirnya memutuskan Jakarta tetap sebagai ibu kota Indonesia akibat tidak tersedianya dana, ditambah Suharto yang berupaya menghapus jejak-jejak politik Sukarno. Program transmigrasi Orde Baru ke Kalimantan juga menimbulkan banyak gesekan dengan penduduk lokal karena dicurigai sebagai upaya Jawanisasi Kalimantan, seiring pula dengan kian banyaknya pembukaan perkebunan sawit dan pertambangan batu bara yang gegabah dan merugikan penduduk setempat, khususnya orang-orang Dayak.
Kesempatan Baru Untuk Indonesia
Harus diakui, cepat atau lambat Jakarta memang harus ditinggalkan sebagai pusat pemerintahan. Ilmuwan sudah memprediksi perubahan iklim akan berdampak besar pada banyak kota-kota pesisir di dunia, termasuk Jakarta. Kenaikan air laut menjadi ancaman jangka panjang. Ditambah, Jakarta sudah terlalu sesak sebagai pusat dari segala aspek-aspek kehidupan di Indonesia, khususnya politik. Bagi banyak orang di daerah-daerah lain, Jakarta kerap terlihat sebagai simbol arogansi akibat tradisi keterpusatan tersebut. Indonesia dan rakyatnya membutuhkan kota baru yang layak sebagai simbol persatuan dan keadilan.
Mengapa Kalimantan kembali dipilih sebagai lokasi ibu kota? Sukarno dan Jokowi adalah dua tokoh dengan gaya kepemimpinan dan visi berbeda yang menghadapi permasalahan zaman yang berbeda pula. Kalimantan kini tidak lagi menjadi zona panas sebagaimana di masa Sukarno, sehingga bisa dilihat bahwa nuansa politik kawasan dalam keputusan ini tidak kentara. Dapat disimpulkan, keputusan tersebut kini lebih kuat didasarkan atas kepentingan eksplorasi ekonomi: mendekatkan pusat pemerintahan Indonesia dengan kekayaan alam Kalimantan. Wajar jika kritik mencurigai rencana ini hanya akan menguntungkan kelompok oligarki.
Nusantara dan Kalimantan sebagai episentrum Indonesia adalah kesempatan baru bagi negara ini untuk mewujudkan cita-cita kemakmurannya yang menyeluruh. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah melaksanakan proses pemindahan dan pengelolaannya dengan metode yang tidak merugikan kepentingan masyarakat luas, seperti permasalahan anggaran negara atau mengganggu penanganan Covid-19. Perhatian penuh juga harus diberikan terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan yang akan dihadapi kelak. Jangan sampai justru keputusan untuk meninggalkan Jakarta pada akhirnya malah mewujudkan Jakarta yang baru, berikut masalah-masalahnya, di Kalimantan.
@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis