Ini adalah masa-masa yang bergejolak di Sri Lanka, karena negara itu jatuh ke dalam kekacauan ekonomi dan politik. Terlepas dari situasi yang dramatis, kelas politik belum bangkit untuk menghadapi tantangan tersebut. Tampaknya tidak ada politisi yang berada dalam posisi untuk memberikan solusi konkret dan mengakhiri krisis parah.
Sejak hari Rabu lalu muncul berita bahwa Presiden Gotabaya Rajapaksa akan mengundurkan diri sebagai akibat dari aksi protes luas terhadap pemerintahannya, muncul perlombaan untuk memutuskan siapa presiden berikutnya.
Partai politik yang didominasi etnis Sinhala di negara itu sampai sekarang masih belum sepakat tentang siapa yang akan menjadi perdana menteri baru.
Partai politik Sri Lanka berebut kursi kekuasaan
Kakak laki-laki presiden, Mahinda Rajapaksa, bulan Mei lalu mengundurkan diri menyusul rangkaian aksi protes kekerasan dan kerusuhan. Ranil Wickremesinghe, pemimpin Partai Persatuan Nasional, kemudian mengambil alih kursi perdana menteri dan berusaha mengatasi krisis ekonomi parah yang mengguncang Sri Lanka.
Dia pernah menjabat sebagai perdana menteri beberapa kali sebelumnya dan memiliki pengalaman politik serta jaringan yang diperlukan secara internasional untuk mengamankan bantuan keuangan dari lembaga internasional.
Menurut konstitusi Sri Lanka, jika presiden mengundurkan diri, perdana menteri akan menjadi penjabat presiden, sampai parlemen bersidang dan memilih presiden baru. Tetapi partai oposisi terbesar, Samagi Jana Balawegaya, menuntut agar pemimpinnya Sajith Premadasa yang naik ke kursi presiden. Namun Partai Podujana Peramuna yang memiliki kursi terbanyak di parlemen dan didominasi oleh keluarga Rajapaksa menuntut agar presiden berikutnya berasal dari jajarannya. Sedang partai oposisi lainnya, Janatha Vimukthi Peramuna, mengincar kursi perdana menteri.
Sementara partai-partai politik berebut jabatan tertinggi, masyarakat umum yang terpukul keras oleh melonjaknya inflasi dan kekurangan barang-barang pokok, termasuk makanan, bahan bakar dan obat-obatan, marah dan kecewa dengan retorika dan tindakan mementingkan diri sendiri para politisi.
Perlu perombakan total sistem politik
Ketegangan etnis selama ini telah menghalangi Sri Lanka mengembangkan wilayah utara dan timurnya yang berpenduduk etnis Tamil. Padahal Kawasan ini kaya akan sumber daya laut. Pengembangan wilayah tersebut dapat meningkatkan perekonomian, khususnya ekspor hasil laut.
Juga pelabuhan Kankesanthurai di provinsi Jaffna di utara Sri Lanka tetap terbelakang, sementara pelabuhan Trincomalee di pantai timur hanya digunakan oleh angkatan laut untuk tujuan militer. Ini membebani perekonomian, karena kapal yang membawa barang dari India harus berlayar sampai ke pelabuhan Kolombo di pantai selatan, dan ini menimbulkan biaya besar.
Polarisasi etnis, diskriminasi dan kurangnya pembagian kekuasaan dengan komunitas minoritas Tamil dan Muslim adalah akar penyebab gejolak politik dan ekonomi saat ini. Untuk mencegah krisis seperti itu di masa depan, harus ada upaya untuk meredakan ketegangan etnis serta pemberantasan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Itu berarti, struktur kekuasaan di Sri Lanka harus dirombak total. Tetapi partai-partai politik yang didominasi orang Sinhala belum siap untuk perubahan seperti itu.
Sekarang ada langkah-langkah untuk mengamandemen konstitusi negara dengan tujuan lebih memberdayakan parlemen dan membatasi kekuasaan presiden. Namun tanpa transformasi menyeluruh sistem politik di Sri Lanka, penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi yang telah menjerumuskan negara ini ke dalam krisis akan sulit dibasmi.
(hp/pkp)