Sawit Baik? Ada!
21 April 2018Parlemen Uni Eropa menggodok sebuah keputusan untuk meniadakan sama sekali minyak sawit sebagai bahan bakar nabati pada 2021, berdasarkan alasan-alasan sosial dan lingkungan utamanya kerusakan hutan. Keputusan ini tentu saja langsung dikritik keras oleh pejabat negara di Indonesia, sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia. Bahkan, ancaman pembalasan telah dilontarkan kepada Eropa dan Amerika Serikat.
Sangkaan perusakan lingkungan akibat perluasan sawit adalah isu klasik. Menurut perhitungan sekelompok ahli biologi yang dipimpin oleh Maria Voigt, yang dilaporkan pada Current Biology baru-baru ini, lebih dari seratus ribu ekor orang utan mati dalam kurun waktu antara 1999 dan 2015 karena kehilangan habitatnya akibat pembalakan dan perebutan lahan hutan oleh pertanian dan pertambangan. Angka ini didapat melalui sebuah metoda ilmiah, walaupun beberapa ilmuwan mempertanyakannya. Sementara itu, sebuah tanda tulisan "SOS” dibuat oleh seorang artis asal Lithuania, Ernest Zacharevic, menggunakan pepohonan di sebuah lahan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara, untuk menarik perhatian dunia atas urgensi permasalahan ini. Foto udara tulisan "SOS” itu tersebar secara viral di mana-mana. Serangan terhadap industri sawit Indonesia memang sedang marak.
Keputusan Uni Eropa ini tidak datang tiba-tiba. Sudah sejak lama tekanan terhadap impor minyak sawit mendapat tekanan besar, utamanya dengan alasan-alasan lingkungan. Berdasarkan studi pada 2016 yang mereka danai, ditemukan bahwa bahan bakar nabati yang berasal dari minyak sawit menyebabkan pencemaran tiga kali lipat lebih tinggi dari minyak disel biasa. Keputusan ini mendapat banyak dukungan politik, baik dari kelompok politik apalagi dari kelompok lingkungan hidup. Di seluruh dunia, kekuatiran atas dampak negatif produksi minyak sawit sudah sejak lama digemakan. Laporan oleh United Nations Environment Program (UNEP) pada 2007 menyebutkan bahwa ekspansi kebun kelapa sawit adalah penyebab utama deforestasi di Indonesia dan Malaysia.
Sang importir besar
Tekanan besar juga datang dari kelompok petani di Eropa sendiri, yang merasa bahwa minyak sawit impor menekan pangsa pasar minyak nabati produksi sendiri. Selain alasan lingkungan, salah satu alasan mereka untuk menggunakan etanol sebagai bahan bakar nabati adalah karena hampir seluruhnya diproduksi di Eropa, sementara lebih dari setengah minyak sawit harus diimpor, utamanya dari Indonesia dan Malaysia yang secara bersama-sama menguasai 85 persen pasar minyak sawit dunia. Menggunakan bahan bakar nabati bukan sawit, walaupun membutuhkan lahan perkebunan jauh lebih banyak daripada sawit, meningkatkan pangsa minyak nabati domestik mereka. Perkebunan sawit memproduksi minyak sepuluh kali lebih banyak per hektar dibandingkan tanaman minyak lainnya. Pada 2012, perkebunan sawit mengambil 5,5 persen lahan untuk memproduksi 32 persen produk minyak dan lemak.
Walaupun masih menjadi perusak hutan terbesar dunia, deforestasi di Indonesia sebetulnya makin lama makin terkendali. Dari sekitar 1,1 juta ha (laporan Second Communication Indonesia kepada United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) antara 2000 – 2005, Indonesia telah berhasil mengurangi laju kerusakan hutannya menjadi 0,4 juta ha saja (berdasarkan laporan Kementerian Kehutanan) pertahun antara 2009 – 2011. Berbeda dengan kebakaran hutan hebat pada tahun 1997-1998, pada 2014-2015 — dianggap sebagai salah satu kebakaran hutan dan lahan terhebat sepanjang sejarah dengan kerugian ditaksir sebesar lebih dari Rp 200 triliun — sawit tidak lagi menjadi penyebab utama kebakaran hutan. Hanya sekitar 10 – 20 persen hotspots yang dipindai berada dalam konsesi kebun sawit.
Upaya untuk menjamin keberlanjutan produksi minyak sawit telah lama dilakukan. Narasi dunia — kecuali sedikit sekali — tidak lagi "anti sawit” secara mutlak. Kelompok-kelompok pejuang lingkungan telah mulai membedakan "sawit baik” dari "sawit buruk.” WWF Indonesia misalnya, telah mulai melancarkan kampanye "beli yang baik” untuk mendorong konsumen untuk hanya membeli barang dengan kandungan minyak sawit yang baik. Untuk bahan-bahan selain bahan bakar nabati, Eropa dan Amerikapun memperhatikan perbedaan ini, dan membatasi impor hanya untuk sawit yang baik. Perbedaan sawit baik dan buruk ini dimungkinkan oleh adanya sertifikasi keberlanjutan. Bila produsen sawit mengikuti syarat-syarat keberlanjutan, maka dia akan diberikan sertifikasi sebagai sawit berkelanjutan, atau sawit baik.
Sejak 2002, sebuah standar keberlanjutan yang dikembangkan bersama-sama oleh para pemangku kepentingan mulai digunakan dalam sektor sawit. Standar itu dikenal dengan Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO) standard sesuai dengan nama kelompok pengembangnya. Saat ini, standar RSPO telah digunakan secara meluas dan telah menjadi standar keberlanjutan de facto dari industri sawit dunia. Dengan lebih dari 3.600 anggota di 91 negara, lebih dari 12 ton minyak sawit, saat ini sekitar 2,6 juta hektar perkebunan sawit memproduksi sekitar 19 persen dari sawit yang diperdagangkan dunia telah bersertifikasi RSPO. Pada 2014, standar RSPO khusus untuk bahan bakar nabati diluncurkan dan diakui serta diterima oleh pasar Eropa. Untuk bahan bakar nabati, sistem sertifikasi keberlanjutan dari International Sustainability and Carbon Certification (ISCC) lebih banyak digunakan.
Di Indonesia, sebagiannya atas respons terhadap sistem sertifikasi "asing” semacam RSPO, sebuah sistem sertifikasi telah dikembangkan di dalam negeri, yaitu standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Sejak 2009, ISPO telah dijalankan sebagai sebuah kewajiban. Semua petani dan pengusaha sawit harus mendapatkan sertifikasi ISPO. Sayang, hanya sedikit petani dan pengusaha sawit yang telah mendapatkan sertifikasi ISPO. Padahal, ISPO hanya mengkompilasi ketaatan petani dan pengusaha sawit kepada peraturan-peraturan yang ada.
Saat ini, di bawah kepemimpinan Kementerian Koordinasi Perekonomian, sebuah upaya sedang dilakukan untuk membuat ISPO lebih banyak digunakan dan mendapatkan pengakuan internasional. Upaya ini menapaktilas apa yang terjadi dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang dikembangkan di dalam negeri tapi mendapat pengakuan internasional. SVLK dikembangkan saat perdagangan kayu curian (illegal) marak terjadi. Saat ini Uni Eropa, misalnya, telah mengakui kesaktian SVLK, dan telah menganggap kayu impor dari Indonesia sebagai kayu yang legal. Diharapkan, ISPO bisa mendapatkan pengakuan yang serupa.
Dengan adanya sertifikasi keberlanjutan yang diakui dunia, pembedaan sawit baik dari sawit yang buruk dapat dilakukan dengan mudah. Konsumen dan pembeli minyak sawit di seluruh dunia juga dapat menentukan kebijakannya untuk hanya membeli minyak sawit yang baik. Tropical Forest Alliance 2020 (TFA2020), kelompok pembeli produk minyak sawit dunia dengan jumlah belanja total $3 triliun per tahun, telah mensyaratkan bahwa produk minyak sawit yang mereka beli harus berasal dari proses produksi yang etis dan berkelanjutan. Pepsi, Unilever, adalah sebagian dari pengguna yang mensyaratkan standar keberlanjutan produksi minyak sawit yang dibelinya. Tanpa bukti sertifikasi keberlanjutan, produsen minyak sawit manapun tidak akan bisa menjual ke mereka. Paul Polman, Chief Executive Officer Unilever, adalah ketua TFA2020. Unilever menggunakan sekitar satu setengah juta ton minyak sawit setahun, sekitar tiga persen produksi minyak dunia.
Baca juga:
Bisnis Kelapa Sawit Picu Kerusakan Iklim Global
Kepedulian Lingkungan Produsen Kelapa Sawit Sangat Rendah
Bisakah Indonesia patahkan tuduhan?
Dengan metodologi pemisahan sawit baik dan buruk ini, tren dunia yang semakin memberikan tempat eksklusif untuk sawit baik dan menghindar dari sawit buruk dan keberhasilan Indonesia untuk terus-menerus mengurangi laju kerusakan hutan dan menjamin keberlanjutan produksi minyak sawitnya, sesungguhnya pemerintah tidak harus bereaksi negatif. Cukup dengan meneruskan dan memperlihatkan praktik yang sudah baik, serta mengikuti hukum dan aturan yang telah ada, Indonesia dapat dengan mudah mematahkan tuduhan.
Pertama, produksi sawit baik atau yang berkelanjutan akan membawa manfaat pula untuk Indonesia. Apalagi, produksi sawit yang tidak berkelanjutan nyata telah menghasilkan kerugian yang tidak sedikit kepada negara maupun, akhirnya, kepada perusahaan sawit itu sendiri. Baru-baru ini, dibantu oleh Landscape Indonesia (bersama Profundo, Center for International Forestry Research, dan World Agroforestry Center), RSPO menerbitkan sebuah publikasi, Managing Palm Oil Risks: A Brief for Financiers, yang memperlihatkan bahwa resiko sawit yang tidak berkelanjutan akan menular menjadi resiko finansial kepada pendananya. Itulah sebabnya, sektor keuangan mesti berhati-hati dalam mengelola portofolio pendanaannya dalam sektor sawit ini. Di Indonesia, misalnya, sebuah perusahaan sawit diwajibkan oleh pengadilan untuk membayar lebih dari Rp 300 miliar atas kerugian kebakaran hutan gambut di konsesinya di Aceh. Bayangkan kerugian finansial yang harus ditanggung oleh pendananya. Indonesia bisa memperlihatkan tindakan-tindakan hukum yang telah dijatuhkan kepada pengusaha sawit "nakal” ini.
Kedua, kepada pengusaha baik dan kepada pekebun rakyat berskala gurem (smallholders), fasilitas untuk membuat mereka menjadi lebih berkelanjutan telah banyak disediakan. Pasar akan menyambut lebih positif kepada produsen minyak sawit berkelanjutan. Dalam beberapa kasus, malah dengan harga yang lebih baik. Selain itu, melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, tersedia pendanaan sebesar sekitar Rp 10 – 13 triliun per tahun untuk meningkatkan produksi bahan bakar nabati yang berkelanjutan serta meningkatkan produktivitas petani gurem.
Ketiga, beberapa aturan baru telah memberikan kesempatan lebih banyak kepada produksi sawit berkelanjutan dan membatasi produksi sawit yang tidak berkelanjutan. Peraturan Otorita Jasa Keuangan (OJK) No. 51/2017, misalnya, tidak saja akan membawa perusahaan sawit yang merusak lingkungan ke depan pengadilan, tetapi menularkan kesalahan tersebut kepada pendananya. Peraturan tersebut melarang sektor keuangan di Indonesia untuk mendanai perusahaan-perusahaan perusak lingkungan. Sebelumnya, secara agresif aturan-aturan yang menghukum perusahaan perusak lingkungan telah mulai ditegakkan. Selain denda Rp 300 miliar di Aceh, denda Rp 1 triliun telah dijatuhkan kepada sebuah perusahaan perkebunan (bukan sawit) satu tahun sesudahnya.
Pemerintah Indonesia tinggal memperlihatkan semua hal yang telah dilakukan dengan baik, hasil-hasil nyata yang positif yang telah dicapai, aturan-aturan yang telah ditegakkan dengan tegas dan agresif, dan komitmen nyata untuk meneruskan prestasi ini. Manfaat dari sawit berkelanjutan tidak hanya menjadi tuntutan Eropa dan negara pengimpor lainnya. Dia justru lebih bermanfaat kepada Indonesia.
Penulis:
Agus P. Sari adalah Chief Executive Officer dari Landscape Indonesia, sebuah perusahaan yang menjembatani pengelolaan bentang alam yang berkelanjutan dengan fasilitas pendanaan.
@agussari
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.