Diplomasi Sawit Abaikan Petani Kecil?
19 Januari 2018"Apartheid pertanian!" seru Menteri Perdagangan Malaysia Mah Siew Keong soal keputusan Parlemen Eropa mendukung larangan penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar ramah lingkungan mulai 2021. "Anda mendiskriminasi minyak sawit!" tukasnya lagi.
Suara bernada lantang juga muncul dari Indonesia. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menggunakan istilah "kampanye hitam" di Eropa terhadap produk sawit asal tanah air.
Padahal keputusan Parlemen Eropa mencabut minyak sawit dari daftar energi terbarukan tidak "membatasi atau melarang impor dan konsumsi minyak sawit di Uni Eropa," kata Duta Besar UE di Malaysia, Maria Castillo Fernandez, kepada media, Kamis (18/1). Keputusan itu "cuma satu langkah kecil dalam prosedur legislatif yang panjang dan rumit."
Menyusutnya popularitas minyak sawit di kalangan konsumen Eropa antara lain karena maraknya alih fungsi hutan menjadi perkebunan yang merusak ekosistem alami. Ambisi pemerintah menggandakan produksi sawit juga dikhawatirkan bakal mempercepat laju deforestasi.
Jauh Panggang dari Api
Kegusaran Jakarta dan Kuala Lumpur pada gerakan anti minyak sawit di Uni Eropa semakin memuncak dalam beberapa tahun terakhir. Kedua negara berdalih, bisnis sawit yang didaulat termasuk industri strategis menghidupi jutaan tenaga kerja.
Saat ini Indonesia mengklaim sebanyak 41 persen lahan sawit digarap oleh petani kecil. Dan keputusan parlemen Eropa mengancam sumber kemakmuran mereka. Namun dalih tersebut tidak memberikan gambaran utuh.
Geliat industri sawit nasional saat ini bergantung dari sederet perusahaan besar milik taipan berkocek tebal. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mencatat tingkat produktivitas petani kecil masih sangat rendah. Sehingga rencana pemerintah meningkatkan produksi sawit nasional menjadi 40 juta ton pada 2020 akan lebih banyak mengandalkan perusahaan besar.
Secara umum perusahaan besar lebih mudah mengakses pinjaman bank dan merambah pasar internasional.
Nasib Muram Petani Kecil
Industri sawit nasional saat ini dikuasai oleh sejumlah perusahaan, terutama Grup Wilmar, Sinar Mas, Grup Salim, Bakrie dan Musim Mas yang dimiliki pengusaha kaya Bachtiar Karim. Lantaran penguasaan teknologi dan infrastruktur produksi, mereka pula yang paling menikmati subsidi pemerintah.
Hingga September 2017 Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengucurkan subsidi sebesar Rp7,5 triliun kepada lima perusahaan terbesar sebagai timbal balik atas penjualan minyak kelapa sawit untuk campuran solar alias biodiesel.
SPKS mengklaim, sebanyak 90% dari penerimaan pungutan ekspor sawit sebesar Rp11,7 triliun di tahun 2016 jatuh untuk subsidi biodiesel. Hanya 10% yang dialokasikan untuk memberdayakan petani. Sebab itu pula asosiasi payung petani kecil itu menuntut agar subsidi biodiesel dihapuskan.
Kepada situs berita lingkungan Mongabay, Hifdzil Alim, Guru Besar Hukum di Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan PP Nomor 24/2015 yang melandasi subsidi sawit rawan penyalahgunaan. "Dana terkumpul langsung disalurkan lagi ke korporasi sawit. Padahal duit dari mereka juga. Ini mirip transfer pricing. Ini perlu dilawan karena petani akan jadi korban. Dana sawit tak tersalur ke mereka.”
rzn/yf (kompas, channelnewsasia, n24, detik, mongabay, cnnindonesia)