Salah Persepsi 'Wisata Halal'
8 November 2019Dua pekan lalu, Festival Babi Danau Toba telah digelar di Muara, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Festival yang dimeriahkan dengan lomba swafoto dengan babi, lomba memanggil babi, lomba lari babi sampai lomba kuliner babi ini sontak menarik perhatian di tengah maraknya isu ‘wisata halal’ di Indonesia.
Togu Simorangkir, inisiator festival ini, mengungkapkan bahwa acara tersebut digelar secara spontan sebagai bentuk perlawanan terhadap wacana label ‘wisata halal’ di Danau Toba yang sempat dihembuskan Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi.
Wacana tersebut menjadi polemik lantaran Danau Toba dinilai sebagai salah satu destinasi wisata prioritas dengan penduduk mayoritas nonmuslim di Indonesia.
Togu yang juga merupakan aktivis lingkungan ini menolak labelisasi ‘wisata halal’ di Danau Toba karena tempat wisata tersebut ia nilai sudah ramah terhadap wisatawan muslim.
“Ga usah pakai label-label lah. Semua hotel di Danau Toba itu ada kok arah kiblatnya. Namanya jalan-jalan kan musafir kata orang, tidak dilarang sholat, azan di masjid Parapat yang megah itu juga tidak pernah kok diprotes orang Batak,” ujarnya saat dihubung DW Indonesia, Kamis (07/11)
Togu juga menyatakan bahwa daerah-daerah populer di sekitar Danau Toba seperti Parapat, Tuk-Tuk dan Tomok sudah dipenuhi oleh rumah makan Islam dengan menu nasional yang bisa dinikmati oleh wisatawan Muslim.
“Kalau dibilang halal kan jadi kotak-kotak jadinya, jadi ada halal ada haram gitu. Orang batak juga banyak yang ga makan babi, mamakku ga makan babi, jadi ini bukan tentang agama,” ujar Togu.
“Toleransi orang Batak itu keren, jangan diragukan lagi,” tambahnya.
Wisata bukan soal agama, melainkan soal kegembiraan
Lebih jauh, Togu menilai wisata halal tidak memiliki korelasi dengan peningkatan wisatawan ke Danau Toba. “Wisata 'kan bukan tentang agama, wisata itu tentang kegembiraan,” jawabnya.
Sebagai aktivis lingkungan, ia justru meminta pemerintah agar menutup perusahaan-perusahaan perusak lingkungan dan fokus pada pengembangan 95 persen masyarakat lokal di daerah sekitar Danau Toba yang ia sebut menggantungkan hidup dari bertani.
“Kalau mengenai menaikkan pariwisata di Danau Toba, tutup perusahaan-perusahaan perusak lingkungannya, jangan sentuh ranah-ranah agama, ga elegan itu namanya," ujar Togu kepada DW Indonesia
Melihat wacana wisata halal di Danau Toba menjadi perdebatan, Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi sebelumnya telah memberikan klarifikasi. Ia menyatakan bahwa ada yang mendramatisasi pernyataannya sehingga informasi yang menyebar menjadi salah.
Menurut Edy, orang-orang yang datang ke tempat wisata tidak dipandang perihal agamanya, tetapi khusus orang Islam, ada kebutuhan terhadap makanan halal. Edy mengklarifikasi bahwa bukan berarti semua rumah makan yang ada di Danau Toba harus menjadi rumah makan yang halal. Persepsi ini menurutnya keliru.
“Ini orang yang suka yang mendramatisir. Menyalah-nyalahkan. Ini yang menjadi salah," kata Edy seperti dilansir dari Detik. “Ini kebetulan yang ngomong orang muslim, jadi itu yang dipersoalkan. Ini yang tak boleh. Bukan berarti mengecilkan arti agama lain. Oh, tidak,” tambahnya.
Wisata halal bukan islamisasi
Taufan Rahmadi, pegiat pariwisata asal Nusa Tenggara Barat (NTB), memiliki pandangan berbeda terkait wisata halal di Indonesia, khususnya destinasi wisata prioritas di daerah dengan penduduk mayoritas nonmuslim seperti Bali dan Danau Toba. Menurut Taufan, wisata halal sama sekali tidak memiliki kaitan dengan agama, tetapi hanya menjadi layanan tambahan bagi para wisatawan yang berlibur ke tempat wisata.
Ia mencontohkan bahwa seringkali wisatawan yang berlibur, baik muslim maupun nonmuslim, justru menghendaki sebuah pelayanan halal seperti makanan dan restoran halal, hotel dengan sajadah dan arah kiblat, sampai toilet yang ramah muslim dengan fasilitas penyemprot air.
Hal ini menurutnya tidak perlu dikhawatirkan karena justru memberikan pilihan tambahan bagi para wisatawan muslim yang mengalami pertumbuhan, baik dari domestik maupun luar negeri.
“Tidak ada sama sekali bicara wisata halal itu bicara islamisasi, yang mengatakan seperti itu dia mengalami islamofobia. Ini adalah extended services (layanan tambahan), optional services (layanan pilihan),” ujar Taufan saat dihubungi DW Indonesia.
Taufan juga menjelaskan bahwa label wisata halal diperlukan untuk menjawab kekhawatiran wisatawan muslim ketika berlibur di salah satu destinasi wisata, seperti Danau Toba, agar stigma bahwa di Danau Toba tidak ada makanan halal menjadi pupus.
“Declaration of halal services (Deklarasi layanan halal) itu ditujukan kepada wisatawan agar wisatawan memahami dan mengetahui ketika datang ke Danau Toba dia tidak perlu khawatir, oh di Danau Toba itu tidak hanya melulu babi. Bapak ibu bisa datang ke Danau Toba. Sambil menikmati keindahan danau, ketika lapar juga bisa menikmati restoran halal di sana,” jelas Taufan.
Genjot sosialisasi wisata halal
Lebih jauh, Taufan menyebutkan ada 4 tantangan yang harus dilakukan oleh Kementerian Pariwisata yang saat ini dipimpin oleh Wishnutama dalam kaitannya dengan wisata halal.
Pertama, pemahaman terkait wisata halal menurut Taufan harus tersosialisasi dengan benar terutama di destinasi wisata prioritas Indonesia. Kedua, sertifikasi halal juga harus dilakukan untuk memberikan kenyamanan bagi wisatawan muslim yang sedang berlibur.
Ketiga, perlu ada pengembangan sumber daya manusia (SDM). Taufan menilai bahwa saat ini ada keterbatasan pemandu wisata yang mampu berbahasa Arab untuk menggaet wisatawan muslim dari Timur Tengah. Keempat, birokrasi di Kementerian Pariwisata juga ia nilai harus menunjukkan keseriusan baik dari segi kebijakan dan anggaran dalam hal wisata halal.
Ia pun menyayangkan bahwa di Kementerian Pariwisata belum ada badan yang secara khusus mengurusi wisata halal seperti di Malaysia.
“Malaysia itu punya namanya Islamic Tourism Board ya, tapi kita belum punya dirjen atau deputi yang mengurus khusus wisata halal di Indonesia,” tambahnya.
Seperti dilansir dari laman kominfo.go.id, pengembangan pariwisata halal Indonesia adalah salah satu program prioritas Kementerian Pariwisata yang sudah dikerjakan sejak lima tahun yang lalu.
Data Global Muslim Travel Index (GMTI) 2019 menunjukkan bahwa hingga tahun 2030, jumlah wisatawan muslim diproyeksikan akan menembus angka 230 juta di seluruh dunia. Selain itu, pertumbuhan pasar pariwisata halal Indonesia pada tahun 2018 mencapai 18 persen, dengan jumlah wisatawan muslim mancanegara yang berkunjung ke destinasi wisata halal prioritas Indonesia mencapai 2,8 juta dengan devisa mencapai lebih dari Rp 40 triliun.
gtp/ae (dari berbagai sumber)