1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Semua Produk Wajib Bersertifikat Halal, Wewenang MUI Dicabut

16 Oktober 2019

Semua produk makanan wajib mencantumkan sertifikat halal. Otoritas lembaga yang mengeluarkan 'hak halal' itu tidak lagi di Majelis Ulama Indonesia (MUI) tapi di bawah Kementerian Agama (Kemenag).

https://p.dw.com/p/3RMRD
Indonesien  Halal Logo
Foto: DW/P. Purba

Efektivitas pemberlakuan itu sesuai amanat UU Jaminan Produk Halal (JPH). "Kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan," demikian bunyi Pasal 67 ayat 1 UU JPH yang dikutip detikcom, Rabu (16/10/2019).

Di mana UU JPH diundangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 17 Oktober 2014.

Bagaimana bila ada yang belum mencantumkan sertifikat halal mulai hari ini?

"Sebelum kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku, jenis produk yang bersertifikat halal diatur secara bertahap," bunyi Pasal 67 ayat 2.

Selain mewajibkan sertifikasi halal, UU JPH juga membuat perubahan. Yaitu berpindahnya otoritas lembaga yang mengeluarkan sertifikasi halal dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama (Kemenag).

Baca juga: Ini Fatwa MUI yang Antar Pengeluh Volume Azan Dibui 18 Bulan

Berikut total kewenangan BPJPH:

a. merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;

b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;

c. menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk;

d. melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri;

e. melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal;

f. melakukan akreditasi terhadap LPH;

g. melakukan registrasi Auditor Halal;

h. melakukan pengawasan terhadap JPH;

i. melakukan pembinaan Auditor Halal; dan

j. melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.

Baca juga:Kunci Produk Indonesia Laku di Eropa: Penyelesaian Perundingan Indonesia-EU CEPA

Bagaimana kesiapan Kemenag?

Sebulan lalu, Ombudsman RI menyoroti kesiapan Kemenag terkait pemberlakuan UU Jaminan Produk Halal pada 17 Oktober 2019 nanti, terutama soal sertifikasi produk halal. Ombudsman menilai beberapa hal belum disiapkan sepenuhnya oleh Kemenag.

"Kami melihat bahwa dengan pendeknya waktu sampai 17 Oktober ini, ada beberapa yang harus disiapkan secara maraton, misalnya bagaimana kesiapan secara serentak di semua wilayah di Indonesia," kata komisioner Ombudsman, Ahmad Suaedy.

MUI ingin rebut kembali otoritas sertifikat halal

Di sisi lain, LPPOM MUI dari 28 daerah di Indonesia melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meminta kembali diberikan otoritas mengeluarkan sertifikat halal. Lembaga swadaya masyarakat itu tidak ingin kewenangan itu diambil pemerintah. Sidang itu masih berlangsung di MK.

"Memerintahkan pencoretan pasal 5, Pasal 6, Pasal 47 ayat 2 dan ayat 3 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan memerintahkan pengumumannya dimuat dalam lembaga berita negara Republik Indonesia," tuntut LPPOM MUI daerah.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggugat UU Jaminan Produk Halal (JPH) ke Mahkamah Konstitusi. Pasalnya, UU tersebut memberikan hak kepada Menteri Agama untuk membentuk badan negara guna mengawasi dan memberikan sertifikat halal. Padahal, selama ini wewenang tersebut dipegang oleh MUI. Pelimpahan wewenang sertifikasi halal kepada badan negara ini sudah sejak lama dilakukan di Malaysia.

Diakses dari website MK pada Rabu (14/8/2019), gugatan itu dilayangkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dari 31 Provinsi di Indonesia. Mereka mempermasalahkan Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 47 ayat 2 UU JPH. Dalam Pasal 5, secara jelas disebut Menteri Agama berwenang menyelenggarakan JPH melalui BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.

MUI menilai UU JPH itu telah mengabaikan sejarah yang ada, di mana MUI telah mengurus sertifikat halal selama 30 tahun. Selain itu, MUI menilai badan yang baru tidak punya kompetensi mengurus sertifikat halal.

"UU JPH justru membuat keresahan di tengah-tengah masyarakat dan membebankan masyarakat yang memiliki usaha kecil dan menengah, dengan beratnya biaya sertifikasi halal," jelas MUI.

Untuk diketahui, merujuk pada laman resminya, MUI merupakan organisasi nonpemerintah (ornop) alias Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). MUI diisi oleh para ulama Indonesia yang berasal dari beberapa ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Math'laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah.

Karena adanya UU JPH, MUI secara otomatis akan kehilangan otoritas terkait sertifikasi halal. Kini, yang berhak mengeluarkan sertifikat halal, tidak hanya MUI, tapi lembaga lain yang terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Bagaimana praktik di negara lain?

Malaysia sudah lebih dulu melaksanakannya di bawah pengawasan pemerintah, bukan oleh masyarakat. Di Malaysia, wewenang sertifikasi ini dipegang oleh lembaga pemerintah Malaysia yang bernama Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM).

Dikutip dari laman resminya, JAKIM punya Divisi Manajemen Halal yang secara khusus melakukan sertifikasi halal di Malaysia bersama dengan Departemen Agama Islam negara.

Sertifikasi halal dimulai sejak tahun 1965 oleh Departemen Agama Islam Selangor (JAIS). Sertifikasi halal yang diterapkan oleh JAKIM dimulai pada 1974 ketika Pusat Penelitian, Divisi Urusan Islam, JPM mengeluarkan surat sertifikasi halal untuk produk makanan dan minuman yang mematuhi hukum Islam.

Saat itu, ia bertanggung jawab atas salah satu badan yang mengatur sertifikat produk halal selain dari Departemen Agama Islam Negara (JAIN) yang juga menerapkan sertifikasi halal dengan logo masing-masing.

Baca selengkapnya di: detiknews

Mulai Hari Ini Semua Produk Wajib Bersertifikat Halal dan Wewenang MUI Dicabut

(pkp/na)