Riset Siluman Ular Jadi Disertasi Terbaik di Jerman
28 Februari 2024Disertasi Geger Riyanto bertajuk Being Strangers in Eastern Indonesia: Misunderstanding and Suspicion of Mythical Incorporation among the Butonese of North Seram memperoleh penghargaan disertasi antropologi terbaik di negara-negara berbahasa Jerman dari Frobenius Institute, sebuah lembaga antropologi tertua di Jerman. Dosen antropologi Universitas Indonesia ini bahkan menjadi orang di luar Eropa pertama yang meraih penghargaan tersebut.
Geger menyusun disertasi di Institut Etnologi Universitas Heidelberg, Jerman. Penelitiannya mulai dari warisan budaya hingga mitos asal-usul masyarakat Buton yang bermukim di Seram Utara, Pulau Seram, Kabupaten Maluku Tengah, yang salah satunya tentang keberadaan manusia setengah ular. Mitos tersebut adalah produk dari interaksi komunitas adat Seram dengan orang Buton. Penasaran dengan hasil riset Geger? Ikuti wawancaranya bersama DW.
Dalam penelitan kamu ada mitos soal manusia setengah ular yang juga jadi bagian sejarah keberadaan orang Buton di Pulau Seram. Bisa diceritakan dulu legendanya seperti apa dan kaitannya dengan orang Buton yang dianggap sebagai pendatang di Seram?
Kisahnya bermula dari sosok siluman yang badannya seperti ular, La Ode Wuna. Setengah badan ke atas manusia, setengah ke bawah itu ular. Karena kekurangannya ini, keluarganya menyembunyikan dia, karena dianggap sebagai aib. Ayahnya adalah Raja Muna yang berada di dekat Pulau Buton, Kesultanan Buton. Setelah dewasa anak ini dianggap melakukan tindakan yang dianggap kurang baik, menurut standar raja. Oleh sebab itu akhirnya ia pergi ke pulau pertama yang ia kunjungi, tapi masih bisa melihat asap dari Pulau Muna, sementara ia tak mau lagi melihatnya karena membangkitkan perasaan kelam atas masa lalunya. Kemudian ia menuju sebuah pulau lagi, dan lebih jauh lagi yakni ke Pulau Seram di Gunung Manusela, sehingga tak bisa lagi melihat asap dari Pulau Muna dan akhirnya memilih tinggal di Seram dan membangun kerajaan di sana. Kisah mengenainya beragam, tapi selalu ke plot itu. Ia diusir ke Muna dan bermigrasi ke Seram. Lalu karena berasal dari Sulawesi Tenggara, ia diidentifikasikan sebagai orang Buton pertama yang migrasi ke sana dan buat orang-orang Buton keberadaan makhluk siluman dari masa lalu itu juga dimasukkan ke dalam berbagai sejarah Pulau Seram. Orang Seram menganggap cerita ini menarik dan fantastis, bahwa ia punya kekuatan super dan masuk dalam cerita mistis di kisah orang-orang Seram.
Lalu apa efeknya ketika mitos itu kemudian diyakini oleh orang Buton dan penduduk Seram?
Ketika ini menjadi cerita menarik dan didengar orang-orang Buton dari abad ke-19, di mana mereka masih bermigrasi ke Pulau Seram, maka mendengar cerita ini, mereka berpikir jangan-jangan ini leluhur saya. Mereka yang sudah empat generasi di Seram, menganggap hal ini sebagai fakta menarik, karena selama ini selalu dianggap sebagai pendatang, yang dianggap tak punya hak atas tanah, bisa dibilang sebagai tamu atau menumpang di pulau atau 'rumah‘ orang.
Hak atas tanah selalu jadi perdebatan dari zaman dahulu hingga kini ya, termasuk di Seram? Keberadaan tokoh siluman ular ini ternyata punya pengaruh sangat besar atas masalah itu juga?
Cerita La Ode Wuna ini jadi menarik sebagai ilustrasi bahwa mereka sudah lama di Seram, jadi juga berhak atas tanah di sana karena sudah ada sejak dari dulu. Cerita ini sudah ada sejak sejarah awal mula Pulau Seram. Bahkan ia menentukan sejarah Seram berdasarkan cerita yang dikembangkan dan ditangkap orang-orang Buton. Jadi ada dua tafsir dalam cerita La Ode Wuna ini. Ini cerita mistis yang membuat orang penasaran dengan wujud badan ajaib La Ode Wuna, dan dipakai orang Buton, untuk menjelaskan dari mana asal orang Buton di Seram, bahwa mereka sudah ada di Seram sejak dulu dan juga punya leluhur di Seram serta punya hak atas tanah. Ini cerita drama sosial politik di Seram khususnya dan di Maluku umumnya, dan itulah sebabnya cerita ini jadi subjek yang saya analisa dalam disertasi saya.
Selain soal mitos itu, juga ada penelitian soal warisan budaya. Sebenarnya kalau kita lihat selama ini kan warisan-warisan budaya itu banyak disimpan di museum, dilestarikan, harus dijaga supaya tidak hilang dan orang bisa berkaca dari masa lalu, tapi ternyata tidak demikian dalam penelitian kamu. Bagaimana hasil kesimpulan risetnya?
Objek sejarah itu juga punya artinya sendiri dan itu bisa jadi berguna, bukan justru dengan dimuseumkan atau ditaruh di tempat terpisah yang di kotak-kotakkan begitu, tapi justru dengan menjadi bukti sejarah yang dipakai oleh masyarakat, misalkan untuk menunjukkan "Oh saya sebagai bagian dari masyarakat sudah ada lebih dahulu dari komunitas lain, dan ini barang buktinya” atau misalkan untuk bilang ke orang dari kelompok masyarakat lain kalau "nenek moyang kamu sudah ada di masyarakat kami dari zaman dahulu, ini bukti barang sejarahnya.”
Jadi itulah yang banyak terjadi dalam kasus di Maluku. Artinya kita bicara tentang barang-barang bersejarah ini justru punya arti, bukan ketika dia ada di museum, tapi justru ketika benda-benda tersebut bersirkulasi dan dipergunakan oleh masyarakat.
Berarti itu dimanfaatkan langsung untuk menyambut pendatang-pendatang yang ingin bermukim di situ dan komunikasi di antara mereka?
Jadi kalau kita bicara kondisi masyarakat di banyak belahan Timur Indonesia, termasuk Maluku, memang dari dahulu sekali itu ada kecenderungan di antara masyarakat yang berbeda-beda itu selalu membangun kerja sama dan aliansi, karena dengan cara begitu mereka bisa bertahan sebagai sebuah masyarakat. Dan biasanya memang benda-benda ini yang banyak dipakai untuk membuat mereka kemudian bisa menjalin kerja sama, entah kemudian bentuknya gong, contohnya, dan berbagai hal lain.
Bahwa yang namanya benda-benda bersejarah ini juga bisa dipakai oleh masyarakat untuk memberi klaim dari kelompok masyarakatnya atau bahkan individu atau klan, misalnya di Maluku,untuk menjelaskan bahwa mereka yang menguasai satu bidang lahan desa. Di satu sisi memang begitulah kecenderungan dari masyarakat, yakni untuk selalu bekerja sama. Namun di sisi lain ada juga kecenderungan di antara masyarakat untuk mereka berusaha berpihak atau berkiblat kepada kelompoknya sendiri.
Apakah itu juga salah satu faktor yang menyebabkan atau memicu konflik yang pernah terjadi pada tahun 1999 sampai 2004 di Maluku?
Itu bisa dibilang salah satu aspeknya. Karena kalau kita ingat-ingat konflik pada saat itu, salah satu aspeknya adalah konflik antara pendatang dan orang setempat. Itu mencerminkan juga sebenarnya yang terjadi di banyak belahan wilayah di Indonesia.
Pada saat itu kita bicara tentang klaim-klaim yang muncul adalah "kami itu misalkan dari satu kelompok yang berusaha untuk melawan yang lain, kami orang asli di sini, kami sudah ada di sini dari zaman dahulu." Bbahkan mereka menarik sampai ke sejarah bahwa mereka dahulunya orang Israel, misalnya, yang kemudian berjalan hingga sampai ada di Indonesia. Mereka keturunan Israel, mereka sekarang ada di Indonesia, dan mereka punya sejarah yang jauh itu ke belakang.
Itu bisa jadi salah satu kecenderungan masyarakat untuk berorientasi pada kelompoknya sendiri. Kecenderungan itu ada dan sangat memungkinkan untuk menjadi benih konflik. Meskipun kita juga selalu mesti menyadari, bahwa sebuah konflik bisa juga ditentukan oleh faktor lain. Karena kalau kita bicara (tahun) 1999, ada faktor jatuhnya Orde Baru dan banyak hal lain.
Kalau begitu, itu juga bisa ditarik sebagai pelajaran untuk ke wilayah-wilayah lain untuk mengantisipasi konflik?
Di berbagai belahan di Indonesia selalu ada dua kecenderungan. Kecenderungan itu bisa kita katakan sebagai, satu, kecenderungan partikularisme atau lokalisme, dan satu lagi, kecenderungan untuk universalisme, kecenderungan untuk selalu merangkul yang lain.
Kita bicara tentang orang-orang yang berusaha untuk mengklaim bahwa mereka itu misalkan yang paling pertama eksis, untuk menentukan bahwa ini adalah wilayah mereka, ini adalah hak mereka, tapi klaim itu akan selalu ada di mana-mana. Namun untuk bertahan hidup, masyarakat-masyarakat ini akan perlu merangkul yang lain dan kecenderungannya bukan lagi ke dalam, tapi keluar. Jadi, ini mungkin semacam antisipasi kalau seandainya kita mau melakukan sesuatu terkait soal hubungan antarmasyarakat. (ap/hp)