Radikalisasi Tertutup Anak-anak Keluarga Teror Surabaya
15 Mei 2018Orangtua pelaku serangan bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo dikabarkan menempatkan anak-anaknya dalam isolasi dan hanya hidup di dalam lingkup kelompok radikal Islam. Demikian klaim kepolisian. Seperti dilaporkan sebelumnya, tiga keluarga bertanggungjawab atas serangan teror paling mematikan sejak satu dekade terakhir di Indonesia.
"Dari kehidupan sehari-hari semua anak-anak pelaku tidak ada yang sekolah dan mereka didoktrin serta dikungkung dalam rumah," kata Kapolda Jawa Timur Machfud Arifin.
Serangan terhadap tiga gereja di Surabaya yang dilancarkan keluarga Dita Supriyanto menewaskan sedikitnya 13 orang, termasuk pelaku. Sang ayah meledakkan diri di Gereja Pusat Pantekosta Surabaya, sementara isterinya, Puji Kuswati, membawa kedua putrinya untuk menyerang GKI Diponegoro. Adapun dua anak laki-laki Dita yang berusia belasan, YF dan FH, bergerak terpisah mengincar sasaran teror lain.
Keluarga teroris beraksi
Pada hari yang sama polisi menyantroni sebuah rusun di Wonocolo, Sidoarjo, setelah masyarakat melaporkan adanya ledakan. Di lokasi kejadian polisi menemukan tiga orang tewas, yakni seorang kepala keluarga bernama Anton, isteri dan seorang anaknya. Kapolri Tito Karnavian mengklaim ledakan tersebut disebabkan kecelakaan saat pelaku hendak merakit bom.
Baca: Mencegah Arus Balik Ideologi Impor
Keesokan harinya sebuah keluarga militan lain mengendarai dua sepeda motor meledakkan diri di pos penjaga Mapolrestabes Surabaya. Empat pelaku mati seketika, sementara seorang bocah perempuan berusia 8 tahun berhasil selamat dan saat ini dirawat di rumah sakit. "Dia sudah siuman," kata Arifin, "dan ditemani oleh keluarga dan petugas sosial ketika ditanyai polisi."
Beruntung tiga anak pelaku ledakan di Sidoarjo berhasil selamat dan dirawat di rumah sakit. Saat ditanyai kepolisian, mereka mengaku hanya berinteraksi dengan rekan-rekan orangtuanya yang berideologi serupa. Setiap hari minggu mereka menggelar pengajian yang juga dihadiri oleh dua keluarga pelaku teror di Surabaya.
Polisi memastikan ketiga keluarga yang terlibat serangan teror saling mengenal satu sama lain dan hidup di kompleks perumahan kelas menengah di Surabaya dan Sidoarjo. "Saya kira pandangan orangtua dan isolasi dari dunia luar mempermudah kepala keluarga mempengaruhi anggota keluarga yang lain," kata Alexander Arifianto, peneliti di Nanyang Technological University di Singapura.
Menolak NKRI dan Pancasila
Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, juga mengatakan salah seorang putra pelaku menolak menghadiri upacara bendera atau menghadiri pelajaran Pancasila. Sebab itu pula Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta masyarakat menjadi "mata dan telinga" pemerintah untuk mendeteksi calon pelaku teror secara dini.
Dalam sebuah editorial untuk Lowy Institute, Pakar terorisme Indonesia, Sidney Jones, mendesak aparat keamanan mempelajari jaringan keluarga penebar teror di Surabaya. "Jika tiga keluarga bisa terlibat dalam serangan teror dua hari di Surbaya, pastinya ada lebih banyak lagi yang siap beraksi," tulisnya.
rzn/as (rtr,ap)