Prajurit di Jabatan Sipil: Akankah Dwifungsi TNI Kembali?
4 Februari 2019Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto memilih momentum yang pelik buat mengentaskan masalah di tubuh TNI. Kurang dari tiga bulan menjelang Pemilu Legislatif dan Kepresidenan, dia kembali mendesak istana negara agar mengizinkan perwira tinggi dan menengah menduduki jabatan sipil tanpa perlu mengundurkan diri dari dinas kemiliteran.
Manuver tersebut dilancarkan di Mabes TNI, Jakarta Timur, Kamis (31/1) silam. Saat itu dia menyatakan ingin amandemen UU 34/2004 tentang TNI turut membantu mengentaskan masalah surplus perwira dan ketiadaan jabatan buat perwira tinggi dan menengah yang kian mendesak. Nantinya perwira TNI bisa ditempatkan di jabatan setingkat eselon 1 dan 2 di kementerian.
Baca juga: HUT 72 TNI: Ketika Tentara Mencari Tahta
Bisa dipastikan, tekanan di tubuh TNI terhadap jajaran petinggi tengah memuncak. Dalam kesempatan yang sama Hadi mengumumkan pembentukan satuan baru bernama Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) yang bisa menyerap hingga 60 perwira tinggi.
Menurutnya pembentukan jabatan baru serupa Kogabwilhan akan membuka ruang bagi kenaikan pangkat sejumlah perwira. Pangkat sekitar 21 Komandan Resor Militer (Danrem) yang secara tradisi diisi oleh perwira berpangkat kolonel kini secara otomatis naik menjadi jendral bintang satu. Begitu pula dengan jabatan asisen Kostrad dan Inspektorat Kostrad yang bakal naik pangkat dari brigadir jendral menjadi mayor jendral.
Namun jumlah itu tidak cukup.
Saat ini karir sekitar 300 perwira menengah berpangkat kolonel dan lebih dari 60 perwira berbintang mengalami stagnasi lantaran ketiadaan jabatan sepadan di tubuh TNI. Menurut pengamat militer Aris Santoso, masalah berawal ketika TNI tidak mengubah pola perekrutan dari era Orde Baru yang tergolong ambisius. Setiap tahun mabes di Cilangkap menerima sekitar 200 taruna calon perwira.
"Jumlah penerimaan taruna tidak berkurang, seperti Orde Baru juga," kata dia kepada Deutsche Welle. "Jadi mereka tidak berhitung soal itu," imbuhnya. Aris menilai adalah hal yang "janggal" jika sebuah organisasi militer seperti TNI memiliki 60 perwira tinggi (pati) yang tidak memiliki jabatan. "Berarti kan organisasi ini ada masalah, dia tidak sehat."
Saat ini, menurut Aris, jabatan perwira tinggi dan menengah "diputar kayak obat nyamuk. Pangkatnya tidak naik-naik." Sebab itu dia menilai masalah surplus pewira di TNI "sudah kritis."
Baca juga:Kenapa TNI Berkepentingan Mengawetkan Hantu Komunisme?
Istana Negara diyakini akan mengabulkan desakan Cilangkap agar menyediakan jabatan sipil buat perwira tinggi. Rencana ini dipupuk dua tahun lalu oleh Presiden Joko Widodo saat menerbitkan Peraturan Presiden 62/2016 yang merestrukturisasi jabatan di TNI. Amandemen UU 34/2004 adalah langkah akhir yang bakal meresmikan kembalinya TNI ke ranah sipil.
Undang-undang nomer 34/2004 adalah salah satu instrumen hukum yang secara resmi mengubur peran dwifungsi ABRI dan memutus pengaruh militer pada lembaga sipil negara. Peraturan yang dibuat di era Megawati itu antara lain menjauhkan TNI dari tugas kepolisian dan mewajibkan perwira aktif mengundurkan diri sebelum melamar jabatan publik.
Tidak heran jika upaya mengembalikan fungsi sipil TNI tersebut dinilai mengkhianati cita-cita reformasi. "Jika rencana ini lolos, dan mengingat betapa perwira TNI sangat aktif secara politis, maka tidak ada pagar lagi", yang menghalangi kembalinya dwifungsi, kata Bivitri Susanti, pakar tata negara dan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, kepada DW.
Dia mengatakan "jika perlawanannya tidak diperbesar, pasal ini akan lolos. Dan kalau ini masuk ke Undang-undang, maka sangat berbahaya," buat demokrasi di Indonesia.
Baca juga: Jadi Kepala BNPB, Apa Kiprah Doni Monardo di TNI?
Hal ini perlahan menjadi kenyataan ketika Jokowi menandatangani Perpres No. 1/2019 untuk meloloskan Doni Monardo sebagai kepala baru Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Pasal 63 Perpres ini menyebutkan, "Kepala dapat dijabat oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS), prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), atau profesional".
Padahal UU 34/2004 membatasi jabatan sipil yang bisa dipimpin perwira militer pada lembaga yang secara langsung berurusan dengan keamanan negara, seperti Badan Intelijen Negara (BIN).
Menurut Aris Santoso, masalah surplus perwira tinggi dan menengah sudah muncul sejak lama. Namun jika di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mabes TNI bergeming, pada pemerintahan Joko Widodo "dua kepentingan itu bertemu," ujarnya. Dia meyakini istana negara akan "memotong kompas" dengan membuat Perpres baru, karena proses amandemen UU34/2004 akan memakan waktu lama.
Namun Aris juga memprediksi upaya pemerintah mengembalikan prajurit ke ranah sipil tidak menyelesaikan masalah, selama pola perekrutan TNI masih mengandalkan cara-cara lama. "berapapun dikasih, tidak akan mencukupi buat mengurai kelebihan perwira di TNI," kata dia.