Kenapa Peringkat Kebebasan Pers di Jepang Sangat Rendah?
10 Mei 2023Jepang mungkin unggul di bidang manga dan teknologi. Namun di bidang kebebasan pers, peringkat negara ini tergolong rendah. Dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2023, Jepang berada di urutan ke-68 dari 180 negara dan wilayah yang disurvei untuk studi tahunan Reporters Without Borders.
Ini berarti, negara dengan peringkat ekonomi terbesar ketiga di dunia ini berada di bagian bawah negara-negara G7 dalam hal kebebasan pers, dan berada di antara Lesotho dan Panama.
"Jepang, negara demokrasi parlementer, menjunjung tinggi prinsip media dan pluralisme," kata studi yang diterbitkan pada 3 Mei itu. "Namun, beratnya tradisi, kepentingan ekonomi, tekanan politik, dan ketidaksetaraan gender menghalangi jurnalis untuk sepenuhnya menjalankan peran mereka dalam menuntut transparansi dari pemerintah."
Norwegia menduduki puncak indeks Reporters Without Borders yang berbasis di Paris selama tujuh tahun berturut-turut, dengan Irlandia di tempat kedua. Jerman berada di posisi ke-21, turun dari posisi ke-16 pada studi sebelumnya. Korea Utara menduduki peringkat terakhir dari 180 negara. Sementara Cina di posisi 179, turun empat peringkat dari laporan 2022, dan Vietnam berada di peringkat ke-178.
Kuatnya pengaruh klub pers yang didukung pemerintah
Rendahnya kebebasan pers di Jepang salah satunya dinilai karena adanya sistem klub pers yang disetujui pemerintah bagi tiap-tiap kementeriannya. Selain itu, ada pula kecenderungan media untuk melakukan sensor sendiri saat ada tekanan sekecil apa pun dari pemerintah atau mitra bisnis yang berpengaruh, menurut akademisi dan jurnalis. Itulah yang membuat Jepang sangat tertinggal di belakang negara-negara seperti Liberia, Bosnia-Herzegovina, dan Burkina Faso.
"Kebebasan berbicara dijamin di Jepang berdasarkan Pasal 21 Konstitusi, tetapi ada masalah - seperti sistem klub pers - itulah sebabnya Jepang mendapat peringkat sangat rendah dalam indeks," kata Renge Jibu, profesor di Tokyo Institute of Technology dan anggota dari Japan Association of Media, Journalism and Communication Studies.
Keberadaan Klub Wartawan atau yang disebut "Kisha kurabu" dapat ditelusuri kembali hingga ke tahun 1890 dan larangan akses wartawan yang diberlakukan oleh kekaisaran saat itu. Sebagai tanggapannya, para pun jurnalis bersatu, dengan dukungan perusahaan surat kabar, dan membentuk klub pers pertama dan melobi untuk mendapatkan akses.
Klub-klub ini umumnya hanya terdiri dari jurnalis yang bekerja di outlet media besar Jepang. Para anggotanya memiliki akses eksklusif ke sumber-sumber resmi, dan untuk mempertahankan akses tersebut mereka harus mematuhi garis haluan dari pemerintah.
Terlepas dari tekanan dari media asing saat ini, sistem klub kisha tetap efektif sejak saat itu. Sistem ini memberikan politisi dan birokrat kekuatan untuk menakut-nakuti jurnalis dan perusahaan media jika mereka melaporkan berita negatif atau tidak menyenangkan, ujar profesor Renge Jibu.
"Kementerian akan mengatakan mereka ada keterbatasan ruang untuk wartawan dan ada kebutuhan untuk melakukan pemeriksaan latar belakang, tetapi di sisi lain klub kisha sudah menjadi kelaziman yang sekarang sulit untuk disangkal," katanya kepada DW.
Bukan hanya politisi dan kementerian yang mampu membuat media tunduk pada ancaman pengucilan, kata Koichi Ishiyama yang juga adalah mantan jurnalis Associated Press dan The Times of London, sebelum akhirnya menjadi profesor ilmu studi media di Toin University of Yokohama.
Tekanan korporasi
"Perusahaan bisa sama buruknya," kata Ishiyama. "Saya pernah melakukan wawancara dengan perusahaan besar Jepang, dan eksekutif mereka menerangkan dengan sangat jelas bahwa mereka tidak akan bekerja sama dengan permintaan informasi atau komentar apa pun karena saya telah menulis sesuatu tentang perusahaan yang menurut mereka negatif."
Perusahaan besar juga dapat memberikan jenis tekanan lain kepada media, kata Ishiyama, seperti yang ditunjukkan oleh skandal yang sudah berlangsung lama tetapi sebagian besar diabaikan seputar mogul dunia hiburan Johnny Kitagawa.
Majalah berita mingguan Shukan Bunshun pertama kali melaporkan pada tahun 1999 bahwa Kitagawa, pendiri agensi pencari bakat Johnny & Associates, melakukan pelecehan seksual terhadap calon bintang pop laki-laki.
Takut kehilangan ketenaran dan kekayaan, tidak ada pemuda yang mau mengajukan pengaduan resmi ke polisi. Akibatnya, Kitagawa tetap bebas untuk melecehkan lebih banyak anak laki-laki sampai saat kematiannya pada Juli 2019.
Meskipun aktivitas Kitagawa menjadi rahasia umum di dunia bisnis hiburan Jepang, media arus utama menutup-nutupi masalah tersebut. Perusahaan media mengatakan mereka tidak melihat adanya bukti kesalahan, dan kritikus mengatakan perusahaan ini tidak pernah mencari dengan cermat.
Wartawan dan media takut masuk daftar hitam
"Media di sini membutuhkan bintang pop dan orang-orang 'berbakat' untuk tampil di program musik dan acara obrolan mereka, jadi mereka tidak pernah melaporkan tentang Kitagawa karena takut masuk daftar hitam," kata Ishiyama.
"Dunia bisnis di sini sangat saling terhubung sehingga laporan tentang Kitagawa bisa berarti mereka kehilangan iklan, sponsor, dan akses ke bintang, jadi mereka diam saja."
Seorang jurnalis Amerika yang telah bekerja untuk surat kabar Jepang selama 30 tahun mencatat bahwa budaya penyensoran diri media Jepang sifatnya jauh lebih dalam lagi.
"Ini bukan jenis penyensoran resmi (seperti) yang kita lihat di Cina, Korea Utara, atau negara-negara lain yang berada di urutan paling bawah," kata jurnalis yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena takut kehilangan pekerjaan.
"Dan itu bukan hanya penyensoran diri, yang berarti wartawan tidak mengajukan pertanyaan sulit … Tidak ada suasana yang mendorong pembahasan isu-isu penting karena wartawan tahu bahwa jika mereka mengajukan pertanyaan sulit mereka dapat dihukum," katanya.
Alhasil, media hanya melaporkan dengan tepat apa yang diinginkan oleh pemerintah dan korporasi besar berdasarkan pengarahan resmi. "Dan itu, bagi saya, berarti media di sini sangat merugikan masyarakat."
ae/hp