Perempuan Arab Saudi dan Hak Pendidikan
7 Agustus 2015Arab Saudi beberapa tahun lalu terpilih sebagai anggota dewan eksekutif organisasi PBB untuk perempuan, UN-Women. Ketika itu, keputusan tersebut diragukan banyak aktivis HAM di Barat, tetapi di negara asal Islam tersebut, keputusan itu dinilai sebagai pengakuan bagi upaya reformasi dalam kebijakan mengenai perempuan.
Di Riad memang banyak terjadi pergerakan. Salah satu contohnya adalah buku yang ditulis mantan menteri pendidikan Muhammad Ahmad al Rashid, yang judulnya “Perempuan Muslim antara Perlakuan yang Adil lewat Agama Islam dan Interpretasi Mereka Yang Melebih-Lebihkan“.
Memang al Rashid, yang mulai memodernisasi sistem pendidikan kaku Arab Saudi antara tahun 1996 dan 2005, tidak mempublikasikan tulisannya di tanah airnya. Tetapi publikasinya di Beirut yang lebih liberal telah menyebabkan buku itu dibicarakan orang di seluruh dunia Arab. Yang menarik, dua media menyebabkan buku itu terkenal, yaitu koran internasional Arab Saudi “Al-Sharq Al-Awsat“ dan koran pemerintah “Al-Watan“. Kedua koran itu menulis resensi panjang tentang buku dengan pemikiran provokatif tersebut sebagai sarana bagus untuk memulai debat. Memang al Rashid tidak ragu-ragu menyatakan dukungannya bagi persamaan status perempuan.
Pendapat ulama yang melebih-lebihkan disebutnya sebagai “kelompok minoritas“. Mereka menetapkan bahwa perempuan harus memakai tutup kepala, bahkan penutup muka. Karena yang disebutnya kelompok minoritas itu adalah ulama yang berhubungan erat dengan sistem agama di Arab Saudi, pernyataannya menyebabkan provokasi.
Hak pendidikan bagi perempuan muslim
Mantan menteri pendidikan itu menuntut tidak adanya pemisahan dalam pendidikan di sekolah dan universitas. Ia juga mendorong agar makna tradisi mulai dipikirkan, yang menetapkan bahwa perempuan harus duduk di bagian belakang dan bagian pinggir ruangan mesjid. Dari sudut pandangnya, persamaan status bukan seperti itu. Jika al Rashid jengan jelas menekankan hak perempuan muslim untuk mendapat pendidikan, itu adalah bagian dari politik modernisasi, yang ia giatkan di bawah tekanan internasional sejak terjadinya serangan 11 September 2001. Itu juga terus berkembang di Arab Saudi.
Yang mendukung adalah mendiang Raja Arab Saudi sendiri, yang menilai reformasi kebijakan menyangkut perempuan adalah urusan negara. Oleh sebab itu ia mengangkat pakar pendidikan Nura al Faiz sebagai wakil menteri perempuan pertama, awal tahun 2009. Di departemen pendidikan, Nura al Faiz bertanggungjawab mengurus pendidikan bagi anak perempuan. Al Faiz yang dengan giat memperjuangkan kepentingan perempuan sekarang berhasil menempatkan perempuan di posisi pimpinan yang selama ini diduduki pria.
Di samping itu, ketika mengunjungi pusat pelatihan bagi murid perempuan yang mempersiapkan diri untuk berbagai turnamen olimpiade remaja, Nura al Faiz juga menyatakan, ia sudah dapat membayangkan salah satu dari anak perempuan itu di masa depan akan jadi menteri. Perkataannya itu mendapat perhatian besar di media-media Arab Saudi dan negara Arab lainnya.
Joseph Croitoru/ml (Qantara)