Pengadilan Khusus bagi Kejahatan terhadap Perempuan
25 Januari 2013Seorang perempuan yang hendak menyeret pemerkosanya ke pengadilan, terancam menghadapi pelecehan selanjutnya, kata Bijo Francis dari Asian Human Rights Commision, sembari mengacu pada "ketidakpekaan sistem yudisial yang memandang remeh hak-hak perempuan dan perasaannya."
Kepada Deutsche Welle dia mengatakan, si korban bahkan menghadapi risiko yang lebih besar: dihina, dileceh secara seksual atau bahkan diperkosa di kantor polisi, di tempat ia ingin mengadu kasus perkosaannya. Kepada DW pakar hukum hak asasi itu mengaku tidak berlebihan "jika saya mengatakan bahwa bagi perempuan, kantor polisi adalah tempat yang paling tidak aman di India."
Kecuali jika perempuan tersebut didampingi oleh seorang tokoh politisi atau jurnalis atau keluarganya mempunyai hubungan baik dengan kepolisian, tambahnya.
"Hanya hiasan luar politik"
Ini alasan bagi Francis untuk menyebut pengadilan pertama bagi tindak kejahatan terhadap perempuan yang diresmikan di Kolkata itu hanya sebagai "hiasan luar politik saja. Bahkan juga bila mendapatkan hakim yang sangat sensitif terhadap isu perempuan, kasus itu harus diperiksa oleh sejumlah polisi dan masih merupakan risiko tambahan bagi perempuan."
Selanjutnya ia mengatakan, penghukuman tersangka pelaku kejahatan nyaris merupakan pengecualian yang ajaib.
Pengadilan Tinggi Kolkata perkenalkan pengadilan pertama bagi perempuan
Pengadilan ini dibentuk menyusul kasus pemerkosaan dan pembunuhan seorang perempuan muda di New Delhi, Desember lalu, yang ramai disoroti media internasional. Di tengah maraknya demonstrasi dan peringatan korban di segala pelosok India, Menteri Kehakiman mengumumkan pengadilan khusus yang hanya menangani kasus kejahatan terhadap perempuan. Para hakim dan petugas-petugasnya juga semua wanita.
"Satu pengadilan saja tidak cukup," kata Anuradha Kapoor dari kelompok HAM Swayam yang berbasis di Kolkata kepada DW. "Pekerjaan akan menumpuk dan kaum perempuan masih tetap tidak akan mendapat akses ke pengadilan."
Kapoor tidak yakin bahwa hakim perempuan adalah solusi yang tepat. "Hakim-hakim perempuan kan tidak harus otomatis lebih merasakan masalahnya (kekerasan dan tindak kejahatan terhadap perempuan)." Bukannya menciptakan pengadilan khusus bagi perempuan, tetapi lebih baik membuat peka para hakim di seluruh India untuk menghadapi kejahatan terhadap perempuan, ujar direktur Swayam itu.
Hakim yang bias
Menurut laporan organisasi Swayam, hakim-hakim kerap tanpa disadari mengikuti norma dan prasangka yang mendominasi masyarakat di dalam sistem sosial, di mana kekerasan terhadap perempuan "tidak hanya meluas, tetapi juga diterima, dibiarkan dan dibenarkan."
Bijo Francis dari Asian Human Rights Commission membenarkan bahwa perempuan kerap dipandang sebagai "ternak atau harta milik yang dapat dimiliki pihak ketiga."
Banyak hakim dan jaksa yang juga berpandangan begitu. Misalnya seorang hakim yang diwawancarai Swayam mengatakan bahwa: "Kadang sikap isteri memicu suaminya untuk memukulnya."
Harapan akan perubahan besar
Untuk membuat langkah pertama agar para hakim Kolkata menjadi peka, Kepala Pengadilan Tinggi kota itu, Arun Mishra mengimbau anggota Calcutta's Bar Association (Asosiasi Pengacara) untuk menghadiri seminar mengenai "gender dan kekejaman keadilan terhadap perempuan", demikian menurut laporan media lokal.
Meskipun demikian, jika sikap masyarakat tidak berubah, sistem yudisial yang lebih baik dan hakim yang lebih peka pun tidak akan dapat banyak bertindak untuk menegakkan keadilan, tambah Francis. Sehubungan dengan stigma yang diterima korban perkosaan, terdapat "jumlah luar biasa tinggi dari perempuan" yang tidak akan pernah melaporkan kasusnya.
Namun, aktivis pengacara HAM itu menyinggung mobilisasi massa yang dikerahkan di New Delhi pada pekan-pekan terakhir dan berharap, kemarahan akan memicu perubahan politik dan dengan demikian perubahan sikap yang sudah mengakar. "Inilah harapan kami."