Pendidikan Yatim Piatu Afghan
17 Oktober 2013Pada hari kelahiran Andeisha Farid, serangan udara Uni Soviet menghancurkan rumah keluarganya. Itu tahun 1983, dan serangan tersebut memaksa warga desa untuk mengungsi. Keluarga Farid memilih Iran, dan ia menghabiskan masa kecilnya di kamp pengungsi yang tidak memiliki sekolah, fasilitas medis, atau bahkan air minum.
"Saya melihat banyak anak meninggal dunia karena diare, demam atau penyakit lainnya," tutur Farid kepada DW. "Pengungsi harus jalan jauh untuk mengambil air."
"Tentu hidup dengan kondisi seperti itu, tanpa fasilitas, tanpa akses terhadap kebutuhan mendasar atau hak asasi seperti sekolah atau fasilitas medis, sangat sulit," ia mengingat. "Namun pada saat yang bersamaan membawa perubahan besar bagi hidup saya."
Mengganti Kesempatan Yang Hilang
Untungnya saat Farid berusia 6 tahun, orangtuanya mengirimnya ke Pakistan untuk mendapatkan pendidikan. Ia tinggal di hostel dan mengikuti kelas di sebuah sekolah dalam kamp pengungsi. Saat menempuh studinya ia bertekad untuk membantu orang lain mendapatkan kesempatan yang sama.
Farid mewujudkan tekadnya, dan pada tahun 2007, pada usia 24 tahun, ia kembali ke Kabul dan mendirikan Organisasi Perawatan dan Pendidikan Anak-anak Afghanistan (AFCECO). Misinya adalah menyediakan sekolah yang berkualitas bagi sebagian kecil dari 1,6 juta yatim piatu di Afghanistan.
Panti asuhan AFCECO memiliki klinik medis sendiri dan menawarkan kursus khusus seperti bahasa Inggris, kesenian dan komputer. Banyak anak yang tinggal di panti asuhan Kabul sudah menempuh studi di sekolah umum Afghanistan, jelas Farid.
"Kami memberi mereka bekal tambahan untuk menempuh studi. Kami menyediakan kelas-kelas sains, seperti matematika, biologi, fisika, kimia, sejarah dan geografi," tambahnya.
Pendidikan Yang Unik
Kini AFCECO melayani hampir 600 anak-anak, dan telah membuka 11 panti asuhan - sembilan di Afghanistan dan dua di Pakistan.
Upaya Farid menarik simpati dari seluruh dunia, termasuk dari Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang menyebut nama Farid dalam sebuah pidato mengenai kewirausahaan sosial pada tahun 2010. Farid juga pernah diganjar penghargaan Global Women Leaders Mentoring Award oleh Goldman Sachs dan majalah Fortune Magazine serta Vital Voices Global Leadership Award.
Namun menjalankan seluruh panti asuhan bukanlah pekerjaan mudah. Farid mengaku organisasinya telah menghadapi banyak tantangan, terutama dalam memberi pendidikan bagi anak-anak perempuan.
"Dalam pemerintah Afghanistan terdapat sejumlah elemen yang tidak menghargai hak perempuan atau mendukung pendidikan bagi perempuan," ungkapnya. "Ini adalah tantangan besar karena kami kesulitan dalam 2 tahun terakhir untuk mengedukasi anak-anak perempuan, sekedar untuk memberikan kesempatan yang setara dengan anak lelaki."
Berjuang bagi Pendidikan Anak Perempuan
Sekolah yang menawarkan pendidikan bagi anak-anak perempuan selalu menjadi target pemberontak yang menentang pendidikan bagi perempuan. Menurut PBB, anak perempuan merupakan mayoritas dari 38 persen atau 4,2 juta anak usia sekolah yang tidak mendapatkan akses terhadap pendidikan di Afghanistan.
Namun Farid tetap bertekad untuk memperkaya hidup anak-anak yatim piatu dan memberi mereka alat yang dibutuhkan untuk membangun negara yang lebih baik.
"Saya ingin melihat insinyur-insinyur membangun masa depan Afghanistan, para dokter merawat warga Afghan, guru-guru yang sangat dibutuhkan warga Afghan, para bidan karena Afghanistan masih memiliki angka kematian tertinggi di dunia," pungkas Farid.