Pemberontak Tigray Mulai Serahkan Senjata
11 Januari 2023Setelah dua setengah tahun berperang melawan pemerintah pusat Etiopia, Pasukan Pertahanan Tigray (TDF) akhirnya mengawali proses demobilisasi yang diwajibkan dalam perjanjian damai pada 2 November silam.
Penyerahan senjata dilakukan di kota Aguale, sekitar 30km dari ibu kota Tigray, Mekelle. Prosesnya diawasi sebuah tim pemantau asing yang digalang Otoritas Antarpemerintah untuk Pembangunan (IGAD), sebuah badan perdagangan bentukan negara-negara di timur Afrika.
Dalam sermoni tersebut, TDF yang merupakan gabungan kelompok pemberontak Tigray, menegaskan perlucutan senjata merupakan langkah besar memulihkan damai, kata juru bicaranya, Mulugeta Gebrechristos.
"Kami semua bertindak dengan keyakinan bahwa jika kita menginkan damai, semua hal yang bisa mengarah kepada provokasi harus ditiadakan. Damai adalah penting bagi kita semua,” kata dia.
Ucapannya itu diamini pasukan pemerintah. "Kita semua bagian dari Etiopia. Kami dan TDF telah bergeser dari perspektif pertahanan menuju perdamaian, saling pemahaman dan cinta,” kata juru bicara militer, Aleme Tadesse.
Kini untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir, kepolisian federal kembali ditempatkan di Mekelle. Dalam sebuah unggahan di Facebook, mereka mengatakan tugas pertama adalah mengamankan infrastruktur vital seperti bandar udara dan pembangkit listrik.
"Kami berharap dan meyakini bahwa demobilisasi akan mempercepat implementasi menyeluruh perjanjian damai," tulis juru bicara Fron Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), Getachew Reda.
Bencana kemanusiaan
Implementasi perjanjian damai di Etiopia meluapkan harapan pulihnya pasokan bantuan kemanusiaan bagi warga Tigray. Tapi dengan akses yang terbatas, mustahil untuk memverifikasi situasi di lapangan, kata seorang pekerja kemanusiaan di kota Shire, Tigray, kepada AFP.
Tidak ada yang tahu secara pasti, berapa jumlah korban jiwa dalam perang brutal antara Tigray dan Etiopia. Organisasi HAM, Amnesty International dan lembaga wadah pemikir AS, International Crisis Group, menyebut perang Tigray sebagai "salah satu konflik paling mematikan di dunia.”
Sejauh ini, perang telah memaksa lebih dari dua juta warga mengungsi dan menempatkan ratusan ribu orang dalam ancaman kelaparan.
Menurut PBB, sebanyak 13,6 juta penduduk di utara Etiopia bergantung sepenuhnya dari bantuan internasional. Meski aliran bantuan kembali mengalir, jumlah bahan pangan dan obat-obatan yang tersedia masih sangat terbatas.
Sejak 2 November silam, pemberontak dan pemerintah sepakat menarik mundur 65 persen pasukannya dari medan perang. Namun begitu, warga sipil Tigray tetap menguggat "kekejian” yang dilakukan pasukan Eritrea.
Otoritas Tigray, warga dan pekerja kemanusiaan, menuduh intervensi militer oleh Eritrea untuk mendukung Etiopia membuahkan "penjarahan, pemerkosaan, eksekusi mati dan penculikan terhadap warga sipil.”
rzn/hp (afp,ap)