AI: Pemasok Apple, Sony, Samsung Gunakan Pekerjakan Anak
19 Januari 2016"Saya menghabiskan waktu 24 jam di dalam terowongan. Saya tiba pada pagi hari dan akan pulang keesokan harinya. Ibu angkat saya tadinya ingin menyekolahkan saya , tapi ayah angkat saya menentangnya, ia memaksa saya bekerja di tambang." Ungkap Paulus, seorang anak yatim piatu berusia 14 tahun yang mulai bekerja di pertambangan kobalt pada usia 12 tahun. Ia menceritakan kisah hidupnya pada para peneliti dari Amnesty International (AI) tentang kondisi kerja yang berbahaya yang dihadapi oleh penambang kobalt di selatan Republik Demokratik Kongo (DRC).
Laporan terbaru yang dirilis organisasi yang bermarkas di London itu mendokumentasikan kondisi berbahaya yang dialami anak-anak - sebagian masih berusia tujuh tahun - dan orang dewasa yang bekerja di tambang kobalt.
Rantai pasokan dunia
Kobalt adalah mineral kunci dalam baterai lithium-ion yang dapat diisi ulang. Mineral ini digunakan untuk kebutuhan baterai ponsel pintar, laptop dan mobil listrik. Diperkirakan bahwa lebih dari setengah dari total pasokan kobalt di dunia berasal dari Kongo.
Dengan menelusuri bagaimana mineral itu diperdagangkan, laporan tersebut mengungkapkan bahwa penambang di wilayah selatan Kongo menjual bijih kobalt untuk pedagang independen, yang kemudian menjualnya kepada perusahaan besar untuk pengolahan dan ekspor.
Salah satu pembeli kobalt terbesar dari wilayah ini adalah Congo Dongfang Mining International (CDM). Perusahaan ini merupakan anak perusahaan Cina yang bermarkas di Zhejiang: Huayou Cobalt - salah satu produsen kobalt terbesar di dunia.
Produk kobalt yang diproduksi di Huayou Cobalt kemudian dijual ke produsen komponen baterai di Cina dan Korea Selatan. "Mereka lalu menjuanyal kepada pembuat baterai yang mengaku memasok perusahaan teknologi dan otomotif, termasuk Apple, Microsoft, Samsung, Sony, Daimler dan Volkswagen," demikian ungkap organisasi hak asasi manusia tersebut.
Kondisi pekerja anak
Anak-anak yang bekerja berjam-jam di tambang kobalt ini juga harus mengangkut beban berat bijih yang ditambang, kisarannya antara 20-40 kilogram. Mereka juga bekerja tanpa alat pelindung seperti sarung tangan dan masker wajah.
Menurut Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC), paparan butiran halus dalam kandungan kobalt bisa mengakibatkan penyakit paru-paru yang berpotensi fatal. DCD menyebutkan, menghirup partikel kobalt juga dapat menyebabkan "gangguan pernapasan, asma, sesak napas, dan penurunan fungsi paru.“
Meskipun penambang anak tidak bekerja langsung untuk CDM, menurut AI, mereka merupakan bagian aktif dari rantai pasokan mineral perusahaan.
Penggunaan pekerja anak di pertambangan-pertambangan di Kongo, telah tertangkap media sejak beberapa tahun lalu. seperti dalam video berikut ini:
Peraturan saat ini
Saat ini ada pedoman internasional yang mewajibkan perusahaan multinasional untuk mengamati perlindungan hak asasi manusia dalam rantai pasokan mereka, terlepas dari lokasi di mana perusahaan-perusahaan itu beroperasi dan terlepas dari kemauan negara tuan rumah untuk memenuhi kewajiban HAM-nya. Namun panduan itu tidak mengikat secara hukum.
Dr. Zhang Yihong, seorang peneliti di University of Helsinki yang fokus pada hukum perburuhan Cina, menyebutkaan, perusahaan Cina cenderung mengeksploitasi lemahnya supremasi hukum di negara-negara tuan rumah dalam mengejar keuntungan mereka. "Ini berarti jika hukum lokal tidak memadai atau dirancang untuk menegakkan HAM dan hak-hak anak, sangat mungkin bahwa beberapa perusahaan akan dapat keuntungan dari menurunkan standar lingkungan kerja dan operasional mereka," dikatakan Dr. Zhang Yihong.
Menanggapi permintaan AI tentang kebijakan uji kepatutan perusahaan, Huayou Cobalt berdalih bahwa perusahaannya "telah menyeleksi ketat" pemasok mereka dan menyatakan bahwa mereka telah mengembangkan kode etik bagi pemasoknya, guna memastikan bahwa "tidak ada pekerja anak yang diizinkan bekerja dalam proses penyediaan barang dan jasa."
Namun, menurut AI, Hauyou gagal untuk memberikan rincian tentang bagaimana mereka memilih pemasok dan memeriksa sumber pasokan yang tepat dari mineral yang mereka beli.
AI mengkritik kegagalan perusahaan-perusahaan global dalam memastikan bahwa kobalt yang ditambang oleh pekerja anak tidak boleh digunakan dalam produk mereka. "Banyak perusahaan multinasional mengatakan, mereka menerapkan kebijakan toleransi nol pekerja anak. Tapi janji ini tidak ada artinya dalam dokumen tertulis, jika perusahaan tidak menyelidiki pemasok mereka. Klaim mereka tidak kredibel," ungkap peneliti AI, Mark Dummett.