Perbudakan Modern di Asia Tenggara
14 April 2015Seminggu setelah Associated Press (AP) menerbitkan cerita tentang perbudakan di industri perikanan, delegasi dari Thailand dan Indonesia datang ke Benjina di Kepualauan Aru dan membebaskan sekitar 300 nelayan yang tertipu meninggalkan negara mereka dan dipaksa bekerja untuk konsumen di seluruh dunia.
Kasus perbudakan modern memang masih jadi masalah besar di beberapa negara Asia Tenggara. Thailand misalnya, tahun lalu oleh Departemen Luar Negeri AS diletakkan di peringkat terburuk soal perdagangan manusia, bersama dengan Iran, Kuba, Simbabwe dan Korea Utara.
Berikut cuplikan wawancara DW dengan Annette Lyth, Regional Project Manager di United Nations Action for Cooperation against Trafficking in Persons (UN-ACT). Lembaga PBB ini berusaha mengakhiri praktek perdagangan manusia.
DW: Sebuah laporan AP baru-baru ini mengungkapkan kasus perbudakan di industri perikanan di Indonesia, dengan ratusan nelayan asing yang ditampung di pulau-pulau terpencil. Bagaimana mereka bisa berakhir sebagai budak di Indonesia?
Annette Lyth: Orang-orang ini dipaksa untuk bekerja di kapal penangkap ikan di perairan Indonesia: Mereka terutama datang dengan kapal ikan dari pelabuhan di Thailand. Banyak yang berasal dari Myanmar dan Kamboja dan mencari kerja di Thailand. Lalu mereka tertipu dan akhirnya dipaksa bekerja di kapal.
Ada juga yang memang mencari kerja dan mau jadi anak buah kapal (ABK), tapi kemudian menemukan kondisi tidak seperti yang mereka harapkan. Tapi mereka dipaksa bekerja dan ada yang sudah berada di laut selama bertahun-tahun.
Perahu-perahu itu datang ke Indonesia karena ada masih sumber ikan yang melimpah, yang tidak ada lagi di Teluk Thailand. Setelah dibawa ke sini, orang-orang ini dengan mudah diawasi dan disekap di pulau-pulau terpencil.
Seberapa luas masalah perbudakan di Asia Tenggara?
Perdagangan manusia dan kerja paksa adalah masalah akut dalam industri perikanan, tetapi ada juga di industri lain di Asia Tenggara. Industri seperti pertanian, manufaktur, konstruksi dan pekerjaan rumah tangga sering menjadi sasaran perdagangan manusia dan kerja paksa.
Migrasi tenaga kerja memang merupakan faktor penting dalam perekonomian di wilayah ini. Sebab itu, pekerja migran memang sangat rentan terjebak dalam kondisi ini. Apalagi karena mereka biasanya enggan atau sulit melaporkan situasi mereka kepada pihak berwenang.
Organisasi Buruh Internasional, ILO, tahun 2012 memperkirakan ada sekitar 20,9 juta orang di seluruh dunia yang berada dalam kondisi kerja paksa. Sebuah penelitian ILO tahun 2014 menunjukkan, keuntungan yang bisa diraup di sektor ini mencapai US$ 150 milyar. Ini berarti, perdagangan manusia adalah salah satu industri kriminal terbesar dunia.
Di Kawasan Asia-Pasifik ada sekitar 11,7 juta orang yang jadi korban perdagangan manusia, angka tertinggi untuk sebuah sub kawasan. Wilayahnya meliputi Kamboja, Cina, Laos, Myanmar, Thailand dan Vietnam.
Bagaimana kondisi para budak ketika ditemukan di Benjina?
Kondisi mereka yang tinggal dan bekerja di kapal penangkap ikan sangat menyedihkan. Ini juga salah satu alasan, mengapa makin sulit bagi pengusaha untuk menemukan pekerja yang mau bekerja dalam kondisi seperti ini.
Tingkat kekerasan dan eksploitasi cukup tinggi, bervariasi dan tergantung pada kapten kapal. Ada banyak laporan tentang kekerasan fisik dan penggunaan senjata. Selain itu, tidak ada fasilitas perawatan medis bagi mereka yang jatuh sakit.
Jam kerjanya panjang, dengan sedikit waktu untuk tidur di antara jam kerja. Pekerjaannya sendiri cukup berat dan berbahaya, dengan peralatan yang dapat melukai atau mengakibatkan kematian, terutama bagi pekerja yang kelelahan dan tidak memiliki masa istirahat yang cukup.
Dari mana nelayan-nelayan itu berasal?
Kebanyakan dari Myanmar, Kamboja dan Thailand. Beberapa laporan menyebutkan, ada juga yang berasal dari Laos. Yang direkrut biasanya mereka yang mencari pekerjaan dan berusaha bermigrasi, tapi hanya sedikit pengalaman. Mereka mudah ditipu oleh para penyalur. Mereka biasanya direkrut dari kampung halaman mereka, di daerah perbatasan atau tempat transit lainnya, dan di pelabuhan-pelabuhan.
Mengapa Indonesia dan beberapa negara lain di kawasan ini gagal untuk mengatasi masalahnya?
Perdagangan manusia dari perahu ke perahu telah menjadi masalah besar di wilayah ini selama beberapa tahun terakhir. Ini akibat menipisnya stok ikan di beberapa kawasan, sehingga memaksa nelayan pergi lebih jauh lagi di laut untuk mencari ikan.
Mereka yang berhasil lolos dari perbudakan biasanya tidak mau menjadi sumber informasi untuk polisi. Industri juga cenderung membantah ada kasus perbudakan.
Di Indonesia, banyaknya pulau-pulau kecil dan lokasi yang sangat terpencil menyulitkan otoritas yang berwenang melakukan pengawasan. Di Thailand, pemerintah juga mengalami kesulitan melakukan pemantauan, karena berbagai alasan.
Selain itu, kurangnya kemauan politik juga jadi hambatan. Jadi, ini perkembangan yang sangat positif kalau sekarang ada respon yang lebih tegas dari beberapa negara.
Langkah-langkah apa yang bisa Presiden Indonesia Joko Widodo untuk mencegah eksploitasi semacam ini?
Hampir semua pola perdagangan ilegal dan perbudakan memerlukan tanggapan bilateral dan multilateral, artinya, harus melibatkan beberapa negara dengan yurisdiksi yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, perlu kerjasama dan peraturan bersama, misalnya tentang pemulangan korban dan peradilan pidana. Nantinya, Konvensi ASEAN Anti Perdagangan manusia bisa menjadi instrumen penting untuk memerangi perdagangan manusia dengan lebih efektif . Tapi itu semua juga tergantung pada implementasinya nanti.
Apa dukungan yang dibutuhkan Indonesia dari organisasi internasional untuk mengatasi praktik ilegal ini?
Organisasi-organisasi internasional bisa mendukung dalam berbagai bidang dari segi peningkatan kapasitas dan pengembangan kebijakan, pengumpulan data dan analisis. Termasuk juga pola perdagangan, identifikasi dan perlindungan bagi korban, dan sistem peradilan pidana.
Annette Lyth adalah koordinator kawasan Asia Tenggara di United Nations Action for Cooperation against Trafficking in Persons (UN-ACT). Wawancara untuk DW dilakukan oleh Gabriel Dominguez.