Belajar yang Baku Dulu, Baru yang Gaul
17 Desember 2022"Orang-orang Jerman itu senang sekali belajar sesuatu yang baru," demikian ujar Dyah Narang-Huth, pengajar bahasa Indonesia bagi penutur asing saat ditemui Deutsche Welle di kota tempat tinggalnya di Hamburg, Jerman. "Bahasa Inggris tentunya menjadi opsi, kalau tidak bisa bahasa Indonesia. Tetapi kalau mereka bisa mempelajari Bahasa Indonesia, mereka sangat senang,” ujarnya lebih lanjut. "Dan tentunya, harus dicari bagaimana memberikan pengajaran bahasa Indonesia yang juga bisa disentuh. Tidak hanya belajar secara tata bahasa, tapi juga bisa dipelajari dengan seperti situasi di Indonesia, jadi menghadirkan situasi Indonesia,” tambah perempuan asal Nusa Tenggara Timur ini dengan sinar mata berbinar-binar. Ia sangat senang bercerita tentang bagaimana antusiasme murid-muridnya belajar bahasa yang dicintainya, bahasa Indonesia.
Lahir sebagai anak multikultur NTT dan Jawa Tengah, Dyah sangat menyukai ragam budaya. Dalam pengajarannya, ia memasukkan materi soal suasana jalan-jalan di Indonesia atau pun kebudayaan Indonesia, termasuk musik Indonesia, tarian-tarian Indonesia, dan bahkan tentang aksara-aksara kuno, meski di Indonesia pun, tidak semua orang bisa (memahami) aksara kuno. Kadang misalnya Dyah menyelipkan pengajaran aksara Bugis, aksara Batak, ada aksara Bali dan Jawa untuk pengenalan masuk ke tema lingkungan budaya, "Mereka bahkan minta tato dalam aksara-aksara tersebut. Ada juga yang minta seperti itu,” ujarnya tersenyum mengingat murid-muridnya yang berkewarganegaraan Jerman. Lulus dari program bahasa Jerman IKIP Jakarta, pada tahun 1992 ia berangkat ke Jerman dan mempelajari lebih dalam bahasa asing tersebut.
Mulai dari bahasa baku ke bahasa gaul
Perempuan yang sangat suka kegiatan alam dan hasta karya ini menawarkan pelajaran bahasa Indonesia bagi murid-murid Jerman dengan sistem modern. Perempuan yang juga bisa berbahasa Spanyol ini menyebut sistemnya adalah diferensiasi internal. Di dalamnya ada macam-macam murid dengan berbagai keinginan dan berbagai tingkatan pengetahuan bahasa yang harus Dyah jembatani. Biasanya Dyah mengangkat satu tema untuk mereka semua dalam satu sesi pengajaran. Temanya selalu ada hubungannya dengan bahasa Indonesia. Jadi, tata bahasanya diajarkan pula saat membicarakan tema itu. Misalnya tema bahasa gaul. "Orang-orang yang sudah belajar, sudah bisa bahasa Indonesia bagus sekali, bisa presentasi dan lain-lain, tiba-tiba ke Indonesia dan bingung: Kok saya enggak mengerti bahasa itu? Jadi, saya menjembatani hal-hal seperti itu," kata Dyah yang selalu mendapat pertanyaan mengapa ada perbedaan dalam tata bahasa baku dan pemakaian bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari.
Yang cukup menantang baginya dalam pengajaran bahasa Indonesia adalah perbedaan dalam berbagai imbuhan pada kata dasar. "Sistemnya bagaimana kita harus mendengar dan perubahan katanya, apa yang biasa dikatakan oleh orang Indonesia, apa artinya, bagaimana membentuk kata-kata tersebut dengan akhiran -in. Semua orang Indonesia tidak menggunakan kata akhiran -kan, tapi -in, (misalnya) balikin bukan balikan, bukan mengembalikan, misalnya seperti itu," tutur Dyah lebih lanjut.
Dyah yang juga menguasai bahasa Jerman menyebutkan, dalam bahasa Jerman, perubahan kata sangat banyak, sehingga menurutnya murid-muridnya bisa memahami bahwa di dalam bahasa Indonesia juga ada perubahan kata dengan menggunakan imbuhan-imbuhan tertentu sesuai aturannya. "Memang orang Indonesia sendiri terkadang tidak menggunakan aturan tersebut. Jadi, mungkin itu yang membuat murid saya bertanya-tanya, mengapa ya kita harus belajar? Padahal orang Indonesia tidak menggunakannya, misalnya. Saya harus memotivasi dengan mengatakan bahwa orang Indonesia adalah penutur sejati yang mengerti aturan tata bahasa itu, jadi kalian juga harus mengerti semua untuk bisa mengerti mereka (bahasa orang Indonesia).”
Tata bahasa Dyah masukkan ke dalam tahap pengajaran di bagian awal. Menurutnya memang ini bagian paling sulit untuk membuat murid bisa mengerti, namun tetap harus dipelajari, karena menjadi pondasi bagi tahap pendidikan lanjutan. "Kalau misalnya awal belajar hanya dari bahasa tidak baku, maka akan sulit masuk ke pengajaran yang benar-benar (menggunakan) bahasa baku. Kalau awalnya belajar dengan struktur yang baik, bisa berbahasa Indonesia yang baik, maka akan mudah mencari jawaban atas apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, oh, ini berasal dari imbuhan -kan. Tapi orang Indonesia memakai -in,” misalnya," demikian penjelasan Dyah.
Kalau terbalik, menurutnya maka akan sulit. Jadi, belajar dengan struktur yang baik dan juga menggunakan tema-tema yang menarik, yang benar-benar dibutuhkan para muridnya, menjadi kunci dalam pengajaran Dyah.
Friederike Grün, mahasiswa Jerman yang baru belajar bahasa Indonesia selama setahun masih terbolak-balik dalam memakai imbuhan dalam bahasa Indonesia. "Tapi saya harus bisa, tapi bisa saya pelajari, lihat dari huruf awal kata dasarnya dulu, konsonan atau vocal, lalu dari situ kita bisa beda-bedakan pakai meng-, atau me-, misalnya. Lalu kata kerja atau kata tempat itu, di-nya disambung atau dipisah itu harus kita ingat-ingat saja,” tuturnya terbata-bata namun penuh semangat. Ia sangat ingin ikut program belajar bahasa di Indonesia secara langsung.
Menghargai bahasa sendiri
Mereka yang sudah selesai diajar Dyah, rata-rata masih menjalin kontak dengan mantan gurunya ini. "Saya punya anak murid saat ini berada di Indonesia. Dulu ia saya ajarkan termasuk destinasi wisata, dan kini ternyata ada di Sumatera Barat dan berfoto dengan patung Malin Kundang. Lalu saya tantang dia: Kalau begitu, kamu bisa datang ke sebuah sekolah dan kamu bisa membacakan kembali cerita Malin Kundang dalam bahasa Indonesia."
Selain penting agar murid-muridnya lebih pintar belajar bahasa Indonesia dan tertarik dengan Indonesia, upaya tersebut dilakukannya agar orang-orang Indonesia bis amelihat bahaimana orang asing pun menghargai bahasa Indonesia. "Untuk membuat orang Indonesia sendiri, dari kecil sudah menghargai bahasa sendiri, bahasa kita. Jadi, orang asing saja belajar bahasa Indonesia, bahwa saya juga harus bisa dan juga akan berniat untuk mempelajari bahasa Indonesia dengan baik dan bahasa-bahasa asing tentunya untuk berkomunikasi secara global," pungkasnya.