Lewat Klub Baca Memelihara Bahasa Indonesia di Jerman
25 Juli 2020“Nelangsa rasanya, sama cucu sendiri tak bisa ngobrol,“ keluh Siti Supriyogo yang bermukim di Yogyakarta. Sebulan sekali ia dan suaminya yang sama-sama hampir berusia 70 tahun melakukan video call dengan putrinya yang menikah dengan warga Jerman dan tinggal di Frankfurt. Dari putri semata wayangnya itu, pasangan lansia ini mendapat dua cucu. “Lucu-lucu, yang besar sudah tujuh tahaun, adiknya berumur lima tahun. Sayangnya mereka tidak mengerti bahasa Indonesia, kalau ditanya jawabnya selalu pakai bahasa Jerman, jadi bingung, gak nyambung.“
Putri Siti, Anna berusaha membiasakan diri berbahasa Indonesia dengan kedua anaknya, namun cukup kewalahan, karena anaknya agak malas menjawab dalam bahasa Indonesia. Sementara suaminya sendiri hanya bisa berbahasa Jerman. “Saya sendiri kerja, ketemu hanya sore sampai malam. Mereka saya titipkan di tempat penitipan anak yang tentu saja menggunakan bahasa lokal (Jerman) untuk komunikasi sehari-hari,“ ujar Anna yang nama belakangnya sudah berganti dengan nama keluarga suami.
Meski demikian setiap akhir pekan ia membiasakan diri berbincang dalam bahasa Indonesia dengan anak-anaknya.“Kata teman-teman, lama-lama kalau dispilin anak-anak pasti bisa menyerap bahasa kedua mereka, bahasa Indonesia, moga-moga ya, kalau tidak, kasihan nenek kakeknya,“ seloroh Anna.
Sementara Andriani Nangoy yang tinggal di Bonn, Jerman dan punya dua putra menyebutkan, putranya yang terkecil juga mengalami kendala berbahasa Indonesia, meskipun nilai bahasa Jerman di sekolahnya sangat bagus.“Para pakar pernah mengatakan salah satu orang tua sebaiknya menggunakan bahasa asal kepada anaknya, jika ingin anaknya menguasai bahasa asal, sayangnya kadang kami tidak konsekuen.“ Ia dan suaminya kini berusaha untuk lebih berdisplin dalam berbahasa Indonesia dengan kedua putranya.
Klub membaca berusaha membantu
Seniman di Frankfurt, Etty Prihantini Theresia berusaha membantu anak-anak Indonesia di Jerman untuk bisa berbahasa Indonesia. "Karena saya tinggal di Frankfurt, tiap tahun di sini ada Frankfurt Buchmesse atau Pameran Buku Frankfurt, yang cukup besar dan selalu diikuti kontingen Indonesia. Jadi kadang-kadang dari mengunjungi pameran buku itu, saya mendapat koleksi atau membeli buku baru. Atau kalau kadang-kadang saya ke Indonesia atau mudik, saya sering membeli buku. Lama-lama menumpuk. Jadi saya pikir mungkin membuat klub buku yang versi digital dulu, sehingga bisa diakses banyak orang.” Dari situ lahirlah klub membaca buku di YouTube.
Etty bercerita, di lingkungan teman-temannya, banyak yang membesarkan anak secara bilingual, atau pasangannya orang Prancis, Belanda, menggunakan Bahasa Prancis, Belanda, Italia atau Indonesia. Tetapi pada kenyataannya yang terpakai bahasa yang ada di sini yaitu Bahasa Jerman atau Inggris. “Seru gitu, memperkenalkan bahasa Indonesia tidak lewat pemaksaan, atau lewat kursus, karena anak-anak di sini jadwalnya padat sekali, sekolah, kursus musik, macam-macam. Lalu lewat cara ‘fun’ baca saja, nanti menyerap sendiri. Kedua, ada orang tua yang memberikan tablet atau smartphone kepada anaknya untuk menonton YouTube. Jadi saya pikir ok, digabungkan saja, antara buku berbahasa Indonesia dengan YouTube, siapa tahu mereka mungkin tidak serius baca bukunya, tapi kalau dilakukan berkali-kali, atau melihat oh ini lucu, atau ditonton berulang-ulang, ada sedikitlah yang ‘nyantol’ di kepala anak-anak,” papar Etty yang juga aktif di Sanggar Pesona Indonesia yang mempromosikan seni tari Indonesia.
Nilai-nilai universal
Koleksi buku anak-anak yang Etty pilih berdasarkan teman-tema yang netral atau punya nilai universal. Berdasarkan pengalamannya mencari buku anak di tanah air, banyak buku yang didominasi oleh tema-tema keagamaan, yang menurutnya juga penting. Tetapi ketika ia mencoba membuat grup, ia menyadari juga anggota grupnya kan bermacam-macam: “Ada yang beragama A, beragama B, atau C. Jadi saya tidak mau jika ada kelompok-kelompok tertentu atau orang yang tertarik lalu bilang oh dia pilih kasih, agamanya C sih jadi dia baca dari buku itu saja. Karena itu tema buku saya pilih yang netral. Ada sebuah buku yang menarik tentang kakak yang punya adik autis yang dikemas dengan bahasa anak-anak. Itu menurut saya universal, karena tidak ada kelompok-kelompok tertentu, semua orang bisa mengalaminya. Atau tentang iri terhadap adik atau kakaknya, atau takut bicara pada ayah, pada saat ia punya uneg-uneg, atau menghilangkan barang. Jadi proses kurasinya adalah mencari buku-buku yang nilai-nilainya universal. Apakah itu bisa dibawa di Indonesia atau dibawa ke kehidupan di Jerman, lepas dari latar belakang orang tua atau anak itu sendiri,“ jelasnya lebih lanjut.
Lewat klub baca di YouTube-nya itu ia berharap makin banyak anak Indonesia di Jerman yang semakin bisa berbahasa Indonesia. Ia percaya anak-anak punya kemampuan bilingual atau bahkan lebih bisa menyerap berbagai bahasa.
Dalam kajian Social Policy Report 2013 tentang mitos dan praktik terbaik anak multibahasa, tim penelitian yang dipimpin Allyssa McCabe menyimpulkan anak-anak yang multibahasa mengembangkan sistem linguistik yang memungkinkan mereka mempelajari bahasa baru tanpa mengganggu perkembangan bahasa yang sudah mereka kuasai sebelumnya. Dalam penelitian itu juga disebutkan dengan mempelajari bahasa ibu (heritage language) dapat membantu memfasilitasi penguasaan bahasa lainnya.
Studi itu juga mengungkap bahwa sejak usia dua tahun, fungsi kontrol eksekutif otak anak multibahasa lebih baik dibandingkan anak monobahasa. Kemampuan itu juga memungkinkan mereka untuk lebih fleksibel dalam mempelajari kata-kata baru untuk objek yang sudah mereka ketahui sebelumnya. Mereka juga dinilai mampu menganalisis lebih baik daripada anak monobahasa.
Kini Anna juga memutarkan video yang dibuat Etty agar bisa ditonton anak-anaknya seminggu sekali, dengan harapan anak-anaknya bisa lancar berbahasa Indonesia sehingga bisa berkomunikasi dengan keluarganya di tanah air. "Dengan demikian anak-anak saya yang bermukim di Jerman tidak kehilangan akarnya,“ pungkas Anna.