Indonesia kembali diguncang oleh tragedi terorisme. Komplotan teroris kembali berulah. Belum lama berselang terjadi drama kerusuhan, penyanderaan, penyiksaan, dan pembunuhan sejumlah anggota polisioleh gerombolan napi teroris yang ngamuk di rutan kompleks Mako Brimob, Depok. Kini Indonesia kembali dikejutkan oleh rentetan kasus bom bunuh diri yang menyasar sejumlah gereja di Surabaya.
Kasus para napi teroris yang ngamuk pada 8 Mei 2018 itu menutut keterangan polisi, sudah mulai reda dan bisa dijinakkan. Para napi yang berjumlah sekitar 156 orang itu pun sudah menyerah, setelah dikepung oleh sekitar 800-1000 anggota Polri (Densus 88 Antiteror) selama sekitar 36 jam. Mereka diultimatum: menyerahkan diri atau diserbu. Akhirnya semuanya menyerahkan diri. Satu napi dikabarkan ditembak mati karena melawan.
Ingatan publik masih segar, tentang kekejaman komplotan teroris yang menyiksa dan membunuh sejumlah anggota Polri, tiba-tibatragedi terorisme kembali mengguncang Indonesia. Sejumlah teroris melakukan aksi bom bunuh diri di sejumlah gereja di Surabaya pada waktu yang hampir bersamaan tanggal 13 Mei 2018. Yakni di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) di Jalan Arjuna, Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Diponegoro, dan Gereja Santa Maria Tak Bercela di Ngagel. Aksi bom bunuh diri ini telah menewaskan belasan orang dan melukai berpuluh-puluh lainnya.
Modus baru: teroris sekeluarga
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan bahwa aksi terorisme bom bunuh di gereja-gereja di Surabaya itu dilakukan oleh satu keluarga: suami, istri dan anak-anak. Masing-masing anggota keluarga ini berbagi peran: siapa mengebom gereja apa. Jenderal Tito menjelaskan, pelaku teror di rutan Mako Brimob maupun di Surabaya terkait dengan Jamaah Ansaru Tauhid (JAT) dan Jamaah Ansarud Daulah (JAD), yang merupakan salah satu eksponen atau pendukung utama organisasi teroris ISIS (Islamic State of Iraq and Syria or Levant) di Indonesia.
Dita Supriyanto, kepala keluarga yang diduga memimpin aksi bom bunuh diri sejumlah gereja itu, merupakan pimpinan JAD Surabaya. ISIS sendiri, melalui kantor beritanya, Amaq News, konon sudah mengklaim kalau aksi bom bunuh diri itu dilakukan oleh jaringan atau komplotan mereka.
Polri mencatat ada sekitar 500an warga Indonesia yang kembali dari Suriah dan disinyalir bergabung dengan ISIS selama tinggal di negara tersebut. Modus yang sering dipakai adalah umroh atau wisata reliji. Mereka pergi ke Suriah lewat Turki yang memang merupakan jalan termudah untuk menuju ke sana.
Kompleksitas dan akar terorisme
Terorisme adalah masalah globalyang sangat kompleks. Indonesia bukan satu-satunya negara yang rawan terorisme. Banyak negara di dunia ini yang menjadi sasaran kaum teroris. Dan sejumlah negara, baik di Barat maupun Timur, disinyalir menjadi sarang dan sumber kaum teroris. Kompleksitas masalah terorisme ini bukan hanya dilihat dari aspek ideologi saja tetapi juga latar belakang, motivasi, tujuan, strategi, taktik, organisasi, jaringan hingga para pelaku teror itu sendiri.
Misalnya, pelaku teror di Indonesia kini bukan hanya kaum lelaki tapi juga perempuan. Memang benar keterlibatan perempuan dalam aksi dan jaringan terorisme bukan hal baru. Berbagai studi terorisme (misalnya yang ditulis oleh Randall D. Law, Bruce Hoffman, atau Charles Townshend) menunjukkan sudah sejak 1960an, kaum perempuan terlibat di berbagai jaringan teroris di sejumlah negara. Kaum perempuan juga sudah lama dilibatkan sebagai pelaku bom bunuh diri.
Jessica Davis dalam artikelnya, “Evolution of the Global Jihad: Female Suicide Bombers in Iraq”, menyebutkan sejak 1985 hinggal 2006, sekitar 15% pelaku penyerangan bom bunuh diri adalah kaum perempuan. Boko Haram dikenal sebagai organisasi teroris pertama yang memakai perempuan secara masif dalam aksi-aksi bom bunuh diri. Organisasi yang berbasis di Nigeria tetapi juga beroperasi di Chad dan Kamerun ini semula bernama Jama’ah Ahl al-Sunnah li al-Da’wah wa al-Jihad. Tapi kini berganti nama menjadi The Islamic State in West Africa setelah proklamasi bergabung dengan ISIS.
Selain Boko Haram, Al Aqsha Martyrs Brigade (Palestina) dan Tamil Tigers (Sri Lanka) juga dikenal sering menggunakan perempuan dalam aksi-aksi bom bunuh diri. Begitu pula dengan Al-Qaeda dan para militan jihadis Kurdi di Irak. Belakangan ISIS juga menggunakan strategi dan taktik yang sama, yaitu mencuci otak dan melatih kaum perempuan untuk dijadikan sebagai pelaku bom bunuh diri.
Kompleksitas masalah terorisme bukan hanya menyangkut para pelaku teror saja tetapi juga latar belakang atau akar penyebab orang menjadi teroris. Berbagai studi menunjukkan bahwa terorisme bukanlah melulu masalah kemiskinan. Bahkan ada kecenderungan masalah kemiskinan yang dulu sering dijadikan sebagai alasan keterlibatan seseorang bergabung ormas-ormas dan jaringan radikal-militan kini tidak lagi sepenuhnya valid dan akurat. Kebodohan juga bukan satu-satunya faktor penyebab orang menjadi teroris.
Terbukti sejumlah aktivis gerakan militan-radikal-teroris berasal dari keluarga berada dan kelas sosial menengah-atas serta kalangan terdidik. Buku Engineers of Jihad: the Curious Connection between Violent Extremism and Education yang ditulis oleh Diego Gambetta dan Steffen Hertog menujukkan bahwa jihadisme, terorisme dan radikalisme itu bukan melulu dilakukan oleh kelompok “zero pendidikan dan ekonomi”.
Penanganan strategis terorisme
Karena kompleksitas masalah terorisme ini, maka perlu penanganan secara akurat dan komprehensif. Berbagai pendekatan, strategi dan taktik konterterorisme (counterterrorism) harus dilakukan secara sistematis dan simultan untuk mengatasi komplotan teroris serta guna melumpuhkan akar-akar terorisme.
Sudah tentu pendekatan militer-keamanan perlu, wajib, dan sangat penting untuk membasmi komplotan teroris. Tetapi itu saja tidak cukup. Perlu pendekatan nonmiliter-keamanan yang dalam implementasinya sangat beragam tergantung pada kebutuhan dan faktor-faktor yang dianggap penting dan fundamental. Pendekatan nonmiliter-keamananan ini bukan hanya untuk memerangi ideologi-pemikiran kaum teroris saja tetapi juga akar-akar yang dianggap memberi kontribusi bagi tumbuh kembangnya militanisme, radikalisme, dan terorisme.
Karena itu pemerintah, aparat keamanan (polri dan tentara) maupun masyarakat harus terlibat aktif bahu-membahu saling bekerja sama ikut memonitor keamanan dan kedamaian di lingkungan masing-masing. Termasuk dalam bingkai pendekatan nonmiliter-keamanan ini adalah mengawasi secara ketat berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan dan dakwah seperti kampus, madrasah, sekolah, pesantren, masjid, ormas maupun Islamic centers yang sering menjadi dan dijadikan sebagai tempat berseminya ide, pemikiran, diskursus, dan ideologi ekstremisme, termasuk terorisme.
Harus tegas basmi bibit terorisme
Pemerintah harus tegas dan jangan sungkan-sungkan untuk menyisir berbagai lembaga dan tempat ibadah yang disinyalir menjadi sarang tumbuhnya “spirit” militanisme. Jangan biarkan para guru, ustad, juru dakwah, dan khatib radikal-militan-intoleran berkeliaran di Indonesia.
Selain itu, pemerintah harus aktif mengevaluasi dan mengawasi perkembangan dunia Internet dan media sosial. Karena jaringan teroris global, sering menjadikan platform ini sebagai medium untuk menyebarkan jihadisme, radikalisme, dan terorisme, termasuk cara pembuatan atau merakit bom.
Tak kalah pentingnya adalah pendekatan hukum. Pemerintah, politisi, dan pembuat kebijakan harus merumuskan UU Antiteror yang kuat yang bisa digunakan untuk menggebuk komplotan teroris, termasuk orang Indonesia yang terlibat aktivitas terorisme di Luar Negeri. Undang-Undang yang ada saat ini (UU No. 15/2003) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dinilai oleh banyak pihak, khususnya pemerintah dan Polri, mengandung banyak kelemahan sehingga perlu direvisi. Di antara kelemahan UU tersebut adalah aparat tidak bisa melakukan upaya pencegahan sebelum kasus terorisme benar-benar terjadi. Selain itu, UU tersebut juga tidak bisa menjerat WNI yang terlibat aktivitas terorisme di Luar Negeri atau menjadi bagian dari jaringan teroris internasional.
Sayangnya, sudah setahun lebih, anggota DPR RI tidak kunjung menyelesaikan Revisi UU Antiterorisme tersebut, hanya karena masalah “kepentingan politik” tertentu. Jika ada kelompok masyarakat, termasuk anggota dewan tentunya, yang tidak turut berpartisipasi dalam memberantas terorisme, maka mereka sama halnya dengan menyetujui kejahatan terorisme, bahkan patut diduga menjadi bagian dari komplotan teroris itu.
Semua warga negara harus berkerja sama mewaspadai bahaya laten teroris serta bekerja sama dalam menangani masalah penyakit terorisme ini agar enyah dari bumi pertiwi. Apapun alasannya, terorisme adalah sebuah kejahatan kemanusiaan dan tindakan kebiadaban yang harus dilenyapkan dari muka bumi.
Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/as)
Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia menulis lebih dari 18 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.