Ada Fatwa Melarang, Pernikahan Anak-anak Masih Terjadi
9 Mei 2019Baru-baru ini, senat atau majelis tinggi Pakistan meloloskan rancangan undang-undang (RUU) yang melarang pernikahan di bawah umur.
Namun RUU tersebut terganjal di majelis rendah, terutama dari fraksi-fraksi dari partai-partai islamis. Di majelis rendah, bahkan partai yang berkuasa menolak gagasan itu.
RUU Pembatasan Pernikahan Anak di Pakistan tersebut sedianya berupaya menetapkan batas minimum untuk menikah pada usia 18 tahun.
Di majelis tinggi Pakistan, rancangan undang-undang itu disampaikan oleh senator partai oposisi Partai Rakyat Pakistan (PPP), Sherry Rehman dan lolos setelah perdebatan sengit.
Namun gagasan yang diajukan partai oposisi tidak bisa mendapatkan cukup dukungan di majelis rendah yang dikuasai partai Tehreek-eInsaf atau Gerakan Pakistan untuk Keadilan, PTI, meskipun, di majelis rendah banyak anggotanya juga mendukung RUU tersebut.
Senator Sherry Reham membuka masalah ini di Twitter dengan mengatakan, kurangnya konsensus tentang undang-undang perkawinan anak sangat disesalkan, karena sesungguhnya RUU ini dapat menyelamatkan dan meningkatkan kehidupan banyak perempuan yang jumlahnya hampir setengah dari populasi Pakistan.
Perbedaan pendapat
Di majelis nasional Pakistan, RUU tersebut didukung Ramesh Kumar, anggota partai yang berkuasa namun dari kelompok minoritas Hindu. Dia menyerukan pembatasan usia pernikahan 18 tahun dan pernikahan di bawah umur seharusnya dilarang. Namun, anggota partainya sendiri menentang RUU yang melarang pernikahan di bawah umur dengan menyebutnya "tidak Islami”.
Menteri urusan agama Pakistan, Noorul Haq Qadri menyatakan keberatannya atau RUU itu dan mengatakan bahwa RUU ini pertama-tama harus dikirim ke badan ulama "Dewan Ideologis Islam" untuk dievaluasi apakah undang-undang tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Sementara itu, anggota parlemen PTI sekaligus menteri hak asasi manusia Pakistan, Shireen Mazari juga mendukung RUU tersebut dan menyebut undang-undang itu pentinguntuk perlindungan anak perempuan.
"Tidak ada individu yang memiliki otoritas tunggal dalam urusan agama,” kata Mazari. Dia merujuk pada fatwa Universitas Al-Azhar Mesir tentang pernikahan di bawah umur. "Jika Jamia tul Azhar telah memberikan fatwa menentang pernikahan anak, mengapa kita menganggapnya tidak Islami?" tandas Mazari.
Seorang aktivis sosial dan anggota komisi tentang status perempuan di Kashmir yang dikelola Pakistan, Maria Iqbal Tarana mengatakan kepada DW bahwa pernikahan di bawah umur adalah salah satu masalah penting di Pakistan yang telah didesakkan oleh masyarakat sipil untuk diundangkan dalam sistem hukum sejak dulu.
"Ini adalah salah satu penyebab utama kematian di kalangan perempuan saat dan setelah melahirkan di Pakistan. Di daerah pedesaan pernikahan semacam itu berdampak di hampir setiap rumah tangga karena tidak ada fasilitas kesehatan yang layak,” paparnya.
Moderator televisi terkenal dan anggota majelis dari PTI, Aamir Liaquat mengatakan: "RUU ini benar-benar Islami dan orang-orang secara salah menghubungkan pernikahan anak dengan kisah istri Nabi Muhammad, Aisha. Saya sedang menulis buku di mana saya akan mencoba untuk menolak soal itu."
Aktivis hak-hak asasi manusia, Jibran Nasir mengatakan kepada DW bahwa para pemimpin partai yang berkuasa marah terhadap anggota partai mereka sendiri yang menentang RUU tersebut.
Masalah dalam pelaksanaannya
Menurut Jibran Nasir, implementasi undang-undang semacam itu akan menghadapi tantangan yang lebih besar. "Di Sindh (provinsi Selatan Pakistan) kita sudah memiliki undang-undang seperti itu di tingkat provinsi, tetapi apakah undang-undang itu diterapkan?" tanya Nasir.
Di provinsi selatan Pakistan, Sindh, pernikahan di bawah umur dilarang berdasarkan ketentuan hukum, tetapi kurangnya penegakan hukum tidak mengubah situasi di banyak daerah pedesaan, di mana anak di bawah umur, terutama anak perempuan, masih menjadi korban dari praktik tersebut.
"Undang-undang hanya tidak bisa mengatasi masalah anak di bawah umur, apabila masalah sosial-ekonomi yang menyebabkan pernikahan di bawah umur tidak ditangani", papar Jibran seraya menambahkan bahwa tindakan bersama harus diambil untuk meningkatkan kesadaran publik dan sistem ekonomi.
"Apa yang sejauh ini telah dilakukan untuk membuka jalan bagi pendidikan anak perempuan? Apa jenis lingkungan kerja yang aman yang telah diciptakan oleh pihak berwenang? Tindakan apa yang telah diambil terhadap tekanan ekonomi yang menyebabkan banyaknya kasus pernikahan anak? Ini adalah hal yang sama-sama penting dan harus diatasi agar implementasi undang-undang ini berhasil," pungkasnya.
Maria Iqbal Trana, anggota komisi perempuan, juga menekankan bahwa pendidikan bagi anak perempuan dan kesadaran publik merupakan hal wajib agar implementasi hukum tersebut berjalan lancar.
"Jika kita tidak akan membuat anak perempuan kita sadar akan hak dan tantangan yang mereka hadapi, mereka tidak akan dapat melindungi hak-hak generasi berikutnya, karena gadis-gadis ini adalah calon ibu," katanya lebih lanjut.
Aamir Liaquat juga menekankan bahwa undang-undang hanya akan menjadi satu langkah tetapi kesuksesan nyata mungkin terjadi, jika para pemimpin itu sendiri mengunjungi dan bertemu dengan para korban secara pribadi, seraya menambahkan bahwa pernikahan paksa juga harus dilarang oleh hukum karena bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam dan norma-norma manusia modern.
"Pemerintah harus membentuk tim, yang terdiri dari cendekiawan lokal dan orang-orang terpelajar termasuk ulama, untuk menjangkau orang-orang dan masyarakat dan untuk menyadarkan orang bahwa pernikahan semacam itu tidak sah menurut Islam dan hukum Pakistan,” kata Liaquat.
Namun, menurut Senator Sherry Rehman, undang-undang adalah langkah pertama. "Tantangan pertama adalah agar RUU Pembatasan Usia Pernikahan Anak disahkan lalu diikuti dengan fase selanjutnya untuk implementasi," demikian ditekankan Rehman.
Pernikahan anak di seluruh dunia
Angka pernikahan anak di Afrika dan Asia Selatan adalah yang tertinggi di antara wilayah lain di dunia. Menurut badan dunia yang mengurusi masalah anak Unicef, setiap tahun, ada 12 juta anak perempuan di bawah 18 tahun yang menikah di mana 38 persennya terjadi di sub-Sahara Afrika.
Meskipun terlihat penurunan prevalensi perkawinan anak dari 49% menjadi 30%, jutaan anak perempuan di Asia Selatan masih menikah di bawah usia 18 tahun.
Menurut Unicef, Bangladesh menempati urutan teratas pernikahan anak di Asia Selatan di mana 59% anak perempuan menikah sebelum mereka berusia 18 tahun, diikuti oleh India 47%, Nepal 37%, Afghanistan 35%, Bhutan 26%, Pakistan 21% dan Sri Lanka 12%.
Data menunjukkan, dalam daftar ini, banyak anak-anak perempuan di negara-negara muslim menghadapi tantangan pernikahan di bawah umur, termasuk di Indonesia, di mana 14 persen perempuan menikah di bawah umur.
Kongres Ulama Perempuan yang berlangsung di Cirebon tahun 2017 juga telah mengeluarkan fatwa pelarangan pernikahan anak di bawah usia 18 tahun, sebagai upaya untuk menghentikan gadis-gadis muda menikah di bawah umur.
Fatwa yang dikeluarkan para ulama perempuan menyebutkan pernikahan anak di bawah umur itu "berbahaya" dan wajib dicegah. "Angka kematian ibu sangat tinggi di Indonesia. Kami sebagai ulama perempuan – dapat mengambil peran dalam mengatasi masalah pernikahan anak," ujar penyelenggara konferensi Ninik Rahayu kepada reuters. "Ulama perempuan mengetahui isu dan hambatan yang dihadapi kaum perempuan. Kita bisa mengambil tindakan dan tidak hanya menunggu pemerintah untuk melindungi anak-anak ini,"
Di bawah hukum Indonesia, batas usia minimum pernikahan untuk perempuan adalah 16 tahun, dan 19 tahun bagi pria. Baru-baru ini di media sosial beredar foto anak berusia 13 tahun dan kelas 2 SMP yang diduga menikah di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Sejumlah foto pasangan laki-laki dan perempuan muda itu tampak mengenakan gaun pengantin adat Bugis-Makassar dan beredar melalui Instagram.
Pengamat masalah perempuan Misiyah berharap agar masyarakat tidak mengorbankan masa depan bangsa dengan ego dan cara pandang yang kolot dan terus bersikukuh menikahkan anak perempuan. "Jangan lagi memupuk dan mengamini argumen dan bersembunyi di balik alasan budaya, ketakutan aib perawan tua, kemiskinan, moralitas dan berbagai alasan lainnya hanya untuk menutupi dan mendapatkan permakluman agar dapat menikahkan anak-anak."
Ia menambahkan, sudah saatnya semua pihak menyadari dan membuka diri akan masa depan anak-anak dan bangsa. Dampak perkawinan anak menurutnya akan menjadi mata rantai berkepanjangan dari hilangnya hak anak atas pendidikan, atas kesehatan, ekonomi yang menimbulkan kualitas hidupnya rendah. Dampak ini akan menjadi siklus yang terus berputar sulit diputus mata rantainya.
Tambahan laporan dilakukan Ayu Purwaningsih.