Menteri Jerman Puji Kesuksesan KB di Bangladesh
14 November 2019Dalam sebuah wawancara dengan stasiun radio Deutschlandfunk, Menteri Gerd Müller mengaku prihatin atas pesatnya laju pertumbuhan populasi di Afrika dan mengatakan betapa benua ini perlu menurunkan angka kelahiran dengan membuka akses pendidikan buat perempuan, serta meningkatkan layanan kesehatan dan perawatan anak.
Müller kemudian secara khusus memuji Bangladesh. Dia mengakui negara mayoritas muslim dan berpenduduk lebih dari 160 juta jiwa ini telah membuat langkah besar dalam mengurangi angka kelahiran selama lima dekade terakhir.
"Bangladesh telah menurunkan tingkat kesuburan dari sekitar tujuh kelahiran oleh setiap perempuan menjadi 2,1 kelahiran per perempuan. Angka ini hampir setara dengan rata-rata di Eropa selama 50 tahun terakhir," ujar Müller.
Ia pun menggarisbawahi pentingnya pemberdayaan perempuan dalam mencapai penurunan ini. "Penentuan nasib sendiri dan hak yang sama bagi perempuan, serta memastikan terjangkaunya akses pendidikan secara menyeluruh dan perawatan kesehatan bisa membawa perubahan besar."
Rencana jangka panjang
Sejak merdeka pada tahun 1971, Bangladesh sudah menerapkan program keluarga berencana guna mengawasi pertumbuhan populasi yang cepat. Dengan bantuan lembaga swadaya masyarakat (LSM) domestik dan asing, pihak berwenang melakukan penyuluhan dari pintu ke pintu untuk meningkatkan kesadaran publik.
"Bangladesh telah banyak berinvestasi dalam metode dan layanan keluarga berencana. Setiap pasangan yang memenuhi syarat akan menerima informasi tentang metode keluarga berencana dari petugas kesehatan setempat. Ini membantu mengurangi pertumbuhan populasi," Aminul Haque, seorang profesor ilmu kependudukan dari Universitas Dhaka, mengatakan kepada DW.
Sebuah data yang diterbitkan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa jumlah rata-rata kelahiran bayi per perempuan di Bangladesh turun dari 6,9 di tahun 1971 menjadi 2,06 pada 2017.
Bukan perkara mudah
Lebih dari 90 persen populasi Bangladesh adalah muslim dan kebanyakan konservatif. Pada 1970-an dan 80-an, pengamat mengatakan bahwa para pejabat dan aktivis sempat merasa kesulitan untuk berkomunikasi tentang keluarga berencana dengan para perempuan yang sudah menikah di bagian pedesaan negara.
"Kami menghadapi perlawanan besar dari para pemimpin agama pada masa itu. Anggota keluarga laki-laki berusaha menjauhkan kami dari perempuan," ujar Saidur Rahman, petugas keluarga berencana tingkat lapangan di kota Kishoreganj.
"Tapi pemerintah mulai memberikan kursus keluarga berencana kepada para pemimpin Muslim, Hindu dan agama lainnya, sebagai bagian dari upaya melibatkan mereka dalam program ini," katanya. "Pada titik tertentu, mereka menyadari bahwa keluarga kecil lebih baik jika seseorang tidak memiliki kapasitas untuk memberi makan (keluarga) yang lebih besar."
Rahman juga menggarisbawahi pentingnya akses terhadap pendidikan untuk mencapai kesuksesan program kontrol kelahiran. "Peningkatan tingkat melek huruf dari waktu ke waktu juga berdampak positif pada penurunan tingkat kesuburan."
Para pakar percaya bahwa media massa di Bangladesh, khususnya lembaga penyiaran publik, berperan besar dalam membuat orang sadar akan manfaat memiliki lebih sedikit anak. Media menunjukkan bahwa memiliki sedikit anak dapat membantu orang tua dalam merawat anak-anak mereka dengan lebih baik serta mengurangi beban keuangan.
Kontrasepsi gratis untuk perempuan
Pemerintah Bangladesh telah menyediakan alat kontrasepsi gratis untuk kaum perempuan selama beberapa dekade. Pil KB menjadi sangat populer di kalangan perempuan di negara ini, dimana masih banyak pria yang memilih untuk tidak menggunakan kontrasepsi selama berhubungan seksual.
"Lebih dari 40 persen perempuan yang memenuhi syarat meminum pil KB secara teratur. Mereka lebih menyukainya daripada metode lain karena efek sampingnya lebih sedikit," kata Rahman kepada DW.
Data statistik yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Keluarga Berencana Bangladesh menunjukkan bahwa pada tahun 1975 hanya sebanyak 8 persen dari total populasi negara itu menggunakan kontrasepsi. Namun pada tahun 2018 angka ini naik menjadi 63,1 persen.
"Perempuan yang memilih bentuk kontrasepsi jangka panjang bisa mendapatkannya gratis berikut perawatan medis yang diperlukan sesudahnya. Kami juga memberikan mereka uang dan hadiah lain jika mereka datang kepada kami untuk solusi jangka panjang," kata Saidur Rahman.
"Perempuan di Bangladesh sangat lebih memilih untuk mengontrol kelahiran. Banyak dari mereka bahkan minum pil KB tanpa memberi tahu suami mereka yang konservatif," tambahnya.
'Siapa pun bisa belajar dari kami'
Mohammad Sharif, Direktur di Direktorat Jenderal Keluarga Berencana Bangladesh, memuji pernyataan Menteri Jerman Gerd Müller tentang keberhasilan Bangladesh dalam menurunkan tingkat kesuburan. Dia mengatakan dalam hal ini negaranya siap menjadi panutan bagi negara lain. "Siapa saja bisa belajar dari kami. Kami menyambutnya," ujar Sharif kepada DW.
Sharif mengatakan, pemerintah Bangladesh tengah berusaha untuk mengurangi tingkat kesuburan menjadi hanya dua anak tiap perempuan pada tahun 2021. Namun petugas keluarga berencana, Saidur Rahman, mengatakan bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini Bangladesh belum membuat banyak kemajuan.
"Setelah sukses besar dalam pengendalian kelahiran, kami lantas berpuas diri, yang kemudian memperlambat upaya kami secara keseluruhan di bidang ini," kata Rahman. "Kita harus mulai lagi bekerja keras jika ingin mencapai target untuk mengurangi tingkat kesuburan menjadi dua anak tiap perempuan."
(ae/rzn)