Angka Kasus Pemerkosaan di Bangladesh Meningkat Drastis
18 Juli 2019Menurut sejumlah organisasi hak-hak perempuan, angka kasus pemerkosaan di Bangladesh meningkat secara dramatis. Sebuah laporan yang baru saja dirilis bulan ini oleh "Bangladesh Mahila Parishad" (BMP) – dewan perempuan Bangladesh untuk Bengali – memperkirakan terdapat 731 perempuan dan anak-anak yang diperkosa dalam enam bulan pertama di tahun 2019. Sebagai perbandingan, total ada 942 kasus serupa di sepanjang tahun 2018.
Laporan BMP tersebut didasari penghitungan kasus yang dilaporkan di 14 surat kabar nasional selama paruh pertama tahun 2019. Tetapi sejumlah peneliti meyakini angka sebenarnya jauh lebih tinggi, dikarenakan banyak korban yang tidak melaporkan kekerasan seksual yang mereka alami karena perasaan takut disalahkan, dikucilkan, dan takut tidak dianggap oleh pihak keluarga.
Yang memperparah kondisi ini yaitu sikap pihak ultra-konservatif muslim di Bangladesh, yang sering memandang korban pemerkosaan sebagai orang yang kehilangan kehormatan dan memberi stigma buruk kepada mereka.
Angka kekerasan seksual yang dialami anak-anak Bangladesh juga diketahui meningkat. Dalam laporan yang dirilis Bangladesh Shishu Adhikar Forum (BSAF),sebuah organisasi hak-hak anak yang berbasis di Dhaka, mengungkap sedikitnya 496 anak-anak Bangladesh juga diperkosa sepanjang enam bulan pertama tahun 2019. Angka ini termasuk 23 kasus dimana anak-anak yang telah diperkosa kemudian dibunuh oleh para pelaku, dan 53 kasus lainnya merupakan kasus pemerkosaan berkelompok.
Anak-anak semakin rentan
Yayasan Manusher Jonno, sebuah organisasi hak asasi lokal Bangladesh, dalam rilis laporannya awal tahun ini, menyatakan terdapat 433 anak yang diperkosa sepanjang tahun 2018. Mayoritas berusia antara 7 hingga 12 tahun. Bahkan sekolah pun menjadi tempat yang tidak aman lagi bagi anak-anak tersebut. Kepala sekolah dari sebuah sekolah agama ditangkap awal bulan ini karena didapati memperkosa dua anak perempuan dan melakukan pelecehan seksual terhadap enam orang siswinya.
Ini terjadi selang beberapa hari polisi membekuk kepala sekolah agama lainnya, atas tuduhan pemerkoasaan seorang anak perempuan di Fatulla, dan dua guru sekolah menengah atas yang berada di pusat kota industri Narayanganj atas tuduhan pemerkosaan terhadap 20 muridnya.
"Kami mencermati adanya peningkatan angka pelecehan seksual terhadap anak-anak, termasuk pemerkosaan anak laki-laki, di sejumlah madrasah beberapa tahun terakhir,” ujar Abdus Shadi, kepala BSAF, kepada kantor berita AFP.
Profesor Zia Rahman, Kepala Departemen Kriminologi Universitas Dhaka, meyakini kurangnya kesadaran para orang tua akan kejahatan seksual, membuat anak-anak rentan menjadi korban. "Kami perhatikan banyak orang tua, baik ayah maupun ibu, fokus bekerja tanpa memastikan keamanan anak-anak mereka selagi mereka pergi,” ungkap Rahman kepada Deutsche Welle. "Kita perlu membuka pusat penitipan anak modern demi memastikan keamanan bagi anak-anak ketika orang tua mereka sedang pergi.”
Mengapa kasus pemerkosaan terus meningkat?
Bangladesh merupakan negara dengan polulasi lebih dari 170 juta jiwa, di antaranya hampir 20 juta jiwa tinggal di ibu kota Dhaka. Maksuda Akhter Prioty, seorang aktivis yang juga korban kekerasan seksual, mengatakan maraknya kasus pemerkosaan di Bangladesh diakibatkan rasa frustasi akan kehidupan sosial yang melanda para penduduknya.
Prioty juga berpendapat bahwa minimnya pendidikan yang layak dan kegiatan produktif adalah beberapa faktor lain penyebab berbagai kasus kekerasan seksual di Bangladesh.
Di samping itu, Profesor Rahman juga mengatakan, saat ini rakyat Bangladesh tengah menghadapi periode transformasi, membawa nilai-nilai tradisional dan modern ke dalam konflik.
"Kami mengadopsi nilai-nilai modern dari Barat, melalui internet dan media sosial. Tetapi nilai-nilai ini belum dicerna dengan baik oleh kaum tradisional. Ini menciptakan konflik antara nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai modern, yang telah berkontribusi pada lonjakan angka kasus pemerkosaan," ujar Rahman.
Budaya impunitas?
Sejumlah kelompok pejuang HAM mengatakan ‘budaya impunitas' patut disalahkan atas melonjaknya kejahatan seksual di Bangladesh. "Kami memiliki undang-undang yang ketat di Bangladesh, tetapi tidak ada implementasinya. Keadilan hanya terdapat 4% di kasus ini. Ada budaya impunitas yang berlaku. Itulah mengapa kasus pemerkosaan meningkat setiap hari," ungkap Alena Khan, salah seorang pengacara asal Dhaka, kepada DW.
"Bagi seorang korban, serangkaian proses untuk menuntut keadilan sangatlah rumit. Uang dan kekuasaan yang dimiliki pelaku membungkam jeritan para korban. Sayangnya, ada kecenderungan yang semakin meningkat bagi para korban untuk menikah dengan pelaku," kata Khan. (rap/vlz)