Mengenang Peristiwa 27 Juli dan Karma PDIP
27 Juli 2018Sebagaimana peristiwa besar lainnya, membahas Peristiwa 27 Juli (1996) senantiasa aktual. Terlebih ketika partai yang lahir dari gejolak peristiwa itu, yaitu PDIP, hari ini sedang berjaya. Bagaimana tidak, salah seorang kadernya sedang menjadi Presiden, kemudian disusul kader-kader lain yang turut masuk dalam lingkaran elite kekuasaan.
Rasanya tak berlebihan bila dikatakan Peristiwa 27 Juli ibarat "mata air” bagi eksistensi PDIP. Seperti halnya mata air yang selalu memberi kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya, demikian juga dengan Peristiwa 27 Juli, yang telah memberikan "kehidupan” bagi PDIP, yakni menjadi mata air bagi kejayaan dan kekuasaan.
Bila pemanfaatan mata airnya terlalu deras, tentu suatu saat debit airnya secara perlahan akan surut. Fenomena seperti itu tampaknya sedang berlaku pada Peristiwa 27 Juli, ketika para calon kepala daerah yang diajukan PDIP banyak yang berguguran, dalam Pilkada serentak baru-baru ini. Memang tidak bisa dikatakan gagal sepenuhnya, namun tetap saja tidak sesuai harapan.
Karma politik
Turunnya performa PDIP yang ditandai dengan hasil pilkada serentak baru-baru ini, bisa dibaca sebagai karma (politik). PDIP lahir dan naik pamornya karena Peristiwa 27 Juli, dan tersebab peristiwa yang sama pula, PDIP mengalami masa surut. Sejatinya, apa yang kini terjadi pada PDIP, tidak bisa dilepaskan dari tindakannya selama ini, terutama kepada rakyat kebanyakan, mengingat partai ini selalu mengklaim dirinya sebagai partainya wong cilik.
Politik tidak bergerak di ruang hampa, itu sebabnya ada kosakata memori kolektif. Momen historis seperti Peristiwa 27 Juli, bisa dijadikan jendela untuk mempelajari masa lalu, sebaga bahan refleksi hari ini, dan menyiapkan masa depan. Dalam konteks PDIP, masa depan dimaksud adalah melanjutkan kekuasaan, dan bila memungkinkan dengan durasi tak terbatas. Seperti dalam kehidupan nyata, tak ada yang lebih pahit ketimbang angan-angan yang patah di tengah jalan.
Namun persoalannya parpol lain juga memiliki cita-cita yang sama terkait kekuasaan, jadi tentu tidak tinggal diam. Adalah hal yang wajar jika calon-calon lawan PDIP, akan mengolah perilaku kader-kader PDIP yang terlibat kasus korupsi, untuk kemudian diolah menjadi bahan kampanye negatif.
Sebenarnya kasus korupsi menimpa hampir semua kader parpol, namun masalahnya PDIP adalah partai berkuasa, jadi akan selalu menjadi sasaran tembak. Singkatnya adalah, posisi PDIP sebagai "korban” dari Peristiwa 27 Julisudah tidak bisa lagi dijadikan modal politik untuk menarik simpati publik. Rasa belas kasihan publik atas tragedi 22 tahun lalu itu sudah tidak mampu mendongkrak performa PDIP.
Perilaku eksponen PDIP dalam mengelola kekuasaan sudah tercatat semuanya dalam memori publik. Yang dampaknya sudah kita lihat dalam pilkada serentak baru-baru ini. Segala tindakan di masa lalu, cepat atau lambat, akan memberi akibat, sesuai hakikat hukum karma.
Penyegaran pimpinan
Peristiwa besar selalu menjadi momentum bagi perubahan, khususnya di tataran elite politik, baik sipil maupun militer. Seperti pengalaman PDIP sendiri, yang lahir karena adanya peristiwa besar yang didisain dari kekuatan eksternal, dalam hal ini rezim Orde Baru. Masalahnya sekarang, PDIP adalah partai yang sedang berkuasa, sehingga hampir mustahil adanya intervensi dari kekuatan di luar dirinya. Bisa jadi kekuatan yang ingin menggoyang PDIP, justru balik dilibas oleh PDIP.
Dengan kata lain, momentum itu harus dikreasi PDIP sendiri, salah satunya adalah ikhtiar penyegaran pimpinan. Ikhtiar ini perlu dilakukan agar bisa menarik dukungan dari generasi milenial, mengingat populasi generasi ini sangat besar, sehingga potensial menambah suara bagi PDIP.
Figur utama seperti Megawati, sudah terlampau senior dan sudah lama memimpin. Megawati bisa disebut masuk kategori Angkatan 1966, sebuah generasi yang di luar imajinasi generasi milenial. Salah satu sosok yang bisa diorbitkan adalah Budiman Sujatmiko, seorang aktivis dan kader militan PDIP. Tentu masih ada kader yang lain, namun Budiman memiliki nilai tersendiri, mengingat Budiman bersama organisasinya yang terdahulu (Partai Rakyat Demokratik), telah menjadi perisai saat tragedi 27 Juli berlangsung, dan hari-hari pasca-peristiwa.
Di masa lalu PDIP acapkali sekadar menjadi tempat "transit” bagi tokoh-tokoh muda, seperti Marisa Haque (pindah ke PPP), pelawak Miing (pindah ke PAN), Syaifulah Yusuf (Gus Ipul, cagub Jatim yang kalah), dan seterusnya. Mereka sudah sempat memperoleh posisi empuk sebagai anggota DPR-RI, meski belum lama bergabung, namun kemudian keluar begitu saja, seolah tanpa beban.
Sementara pada saat yang bersamaan, PDIP tidak kekurangan kader-kader yang militan dan konsisten, yang kesetiaanya pada PDIP tidak diragukan lagi, yang bersedia membangun karier sejak di tingkatan paling rendah. Termasuk setia pada pada ideologi kerakyatan, yang menjadi warna PDIP selama ini. Mereka sudah saatnya untuk diberi kesempatan tampil, memimpin partai.
Aset bangsa
Posisi Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), adalah jabatan yang sangat mulia. Ini kira-kira sama maknanya dengan resi dalam karya-karya klasik. Mungkinkah ini semacam sinyal, bahwa memang perlu ada alih generasi pada kepemimpinan PDIP. Sehingga Megawati bisa konsentrasi penuh di BPIP.
Figur sekelas Megawati sebenarnya sudah sepatutnya menjauh dari politik riil sehari-hari, sesuai dengan konsep resi di atas. Megawati sudah menjadi figur nasional, bukan sebatas PDIP. Terlebih bagi lembaga setinggi BPIP, ternyata masih menyimpan problem akut. Sejak diresmikan tahun lalu, BPIP belum juga meluncurkan produk yang manfaatnya bisa langsung dirasakan masyarakat. Pengalaman Megawati dalam membesarkan PDIP, beserta pasang surutnya, kiranya bisa ditransfer dalam memimpin BPIP. Megawati tidak perlu khawatir atas keberlangsungan PDIP, bila kelak dipimpin oleh generasi yang lebih baru.
PDIP adalah warisan berharga bangsa dari abad ke-20. PDIP lahir dari kontradiksi antar-elite di penggal terakhir Orde Baru. PDIP muncul sebagai simbol perlawanan rakyat. Dari segi historis, alasan kelahirannya sangat berbeda jauh dengan parpol lain, yang didirikan pasca-Reformasi, yang lebih untuk memenuhi aspirasi kekuasaan para pendirinya. Sungguh, rakyat masih menaruh harap pada PDIP.
Aris Santoso adalah penulis sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.