Mengapa Pembunuhan Bermotif Rasisme Tidak Mengubah Jerman?
15 Juni 2020Dua puluh tahun yang lalu Jerman dikejutkan oleh pembunuhan brutal berlatar belakang rasisme. Alberto Adriano, seorang pria berusia 39 tahun asal Mozambik dan ayah tiga orang anak, pada malam hari dicegat oleh anggota kelompok Neonazi ketika berjalan pulang dari menonton sepak bola di apartemen temannya.
Di tengah-tengah taman kota di Dessau, negara bagian Sachsen-Anhalt, tiga penyerangnya memukuli dan menendang Alberto Adriano berulang kali, bahkan setelah dia hilang kesadaran. Alberto Adriano meninggal di rumah sakit karena cedera parah di kepala tiga hari kemudian, pada 14 Juni 2000.
Ini adalah pembunuhan ekstremis ultra kanan pertama di bekas Jerman Timur sejak runtuhnya Tembok Berlin. Sedih dan marah, sekitar 5.000 orang kemudian berdemonstrasi di jalan-jalan kota Dessau.
Musisi dengan latar belakang Jerman-Nigeria, Ade Odukoya, yang lebih dikenal dengan nama Ade Bantu, masih ingat betapa ia terkejut saat mendengar kematian Adriano.
"Saya marah. Saya diliputi rasa takut dan saya juga merasa tidak bisa bergerak," katanya. Ia ingat saat itu dunia sedang bergembira menanti milenium baru, tapi lagi-lagi terjadi kasus pembunuhan bermotif rasisme.
Mengubah definisi menjadi ‘Jerman’
Bersama dengan musisi Jerman kulit hitam lainnya, Odukoya bertekad untuk bersuara. Mereka membentuk proyek anti-rasisme Brothers Keepers dan merilis lagu hip-hop berjudul "Adriano - Letzte Warnung" yang artinya Adriano - Peringatan Terakhir. Lagu ini menjadi top 10 hits di Jerman. Namun gerakan ini sekarang sudah bubar dan anggotanya terlibat dalam proyek lain. Ada juga versi perempuan dari gerakan itu, yang disebut Sisters Keepers.
"Apa yang kami inginkan adalah adanya pembahasan tentang 'Ke-Jerman-an', karena kami selalu merasa bahwa orang-orang Jerman selalu mengesampingkan orang dengan kulit berwarna," jelas Odukoya. "Saya berharap dengan lagu seperti 'Adriano - Letzte Warnung,' kami dapat mencapai pembahasan yang lebih luas mengenai identitas di Jerman."
Diskriminasi rasial meresap sangat dalam
Namun, dua dekade kemudian Jerman masih berjuang menghadapi rasisme terhadap kulit hitam dan bentuk-bentuk rasisme lainnya. Badan Anti-Diskriminasi Federal Jerman (ADS) Selasa lalu (09/06) merilis laporan tahunan untuk tahun 2019 ,dan angka-angkanya menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan signifikan dalam kasus diskriminasi rasial di Jerman.
Sedikitnya 1.176 kasus diskriminasi rasial dilaporkan ke ADS tahun lalu. Angka ini menunjukkan kenaikan 10 persen dari tahun sebelumnya, dan lebih dari dua kali lipat dari tahun 2015. Tetapi menurut Anetta Kahane, Ketua Dewan Antidiskriminasi Yayasan Amadeu Antonio, angka-angka ini tidak memberikan gambaran nyata tentang diskriminasi rasial di Jerman.
"Sejujurnya, saya tidak berpikir angka ini memberi kami banyak informasi. Hampir 1.200 kasus yang dilaporkan di negara sebesar Jerman menggambarkan bahwa ADS tidak benar-benar berfungsi," katanya. "Rasisme dan diskriminasi adalah masalah yang sangat besar."
Dia berpendapat bahwa Jerman perlu memiliki cara yang lebih mudah diakses bagi orang-orang untuk melaporkan insiden diskriminasi rasial dalam kehidupan sehari-hari, alih-alih harus melewati berbagai proses untuk membuat pengaduan resmi ke ADS. Dengan begitu, akan ada gambaran yang jauh lebih akurat tentang apa yang sedang terjadi.
Diskusi mandeg
Pengakuan akan adanya insiden rasisme dalam kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan. Tanpa itu, perdebatan tentang rasisme akan selalu dimulai dari nol. "Setiap kali kita berbicara tentang rasisme di Jerman, pertanyaan pertama yang selalu diajukan adalah: Apakah rasisme benar-benar ada di Jerman?" kata Aminata Touré, Wakil ketua Parlemen negara bagian Schleswig-Holstein.
"Pertanyaan ini menunjukkan bahwa kita tidak mengetahui diskriminasi rasial yang dihadapi banyak orang di Jerman."
Masalah lain yang masih ada dan juga dihadapi oleh Odukoya 20 tahun lalu adalah: gagasan bahwa menjadi orang Jerman secara otomatis berarti orang kulit putih.
"Saya punya teman yang kakek buyutnya berasal dari Polandia, datang untuk bekerja di tambang di Essen," kata Odukonya. "Mereka sekarang generasi kedua, ketiga dan mereka orang Jerman. Tidak ada yang mempertanyakan latar belakang ini."
"Saya juga punya teman yang orang Afro-Jerman generasi ketiga, dan mereka masih disebut-sebut sebagai warga Jerman dengan latar belakang migrasi. Saya pikir, bahasa pengucilan seperti ini harus dihentikan. Kita harus berhenti menggunakan bahasa yang mendefinisikan perbedaan ini."
Kata-kata harus diikuti tindakan
Protes kesetaraan rasial bermunculan di seluruh dunia menyusul kematian warga Afrika-Amerika George Floyd. Di Jerman, demonstrasi Black Lives Matter juga terjadi di sekitar 25 kota.
Namun demikian, Odukoya tetap skeptis dengan keadaan ini sampai benar-benar ada "perombakan kebijakan negara."
"Sudah ada sejarah tentang kemarahan publik terkait serangan bermotif rasial. Tapi apa lantas ada perubahan kebijakan, apakah ini membuat orang kulit hitam merasa lebih aman di Jerman? Tidak," ujarnya.
"Adalah tugas Jerman untuk melakukan yang lebih baik dan melaksanakan janji-janji yang terus diucapkan dari satu generasi ke generasi lainnya." ae/hp