Politik dan Seni: "Benci tapi Rindu"
2 Juli 2018Ada istilah keren di dunia seni: "L'art pour l'art" atau seni (itu hanya) untuk seni. Benarkah? Mungkin bisa untuk sebagian seniman, tapi pada kenyataannya dunia politik selalu ikut campur di dunia seni. Untuk hal baik dan buruk.
Di masa diktator Stalin di Rusia, komponis Sergei Prokofiev dan Dmitri Shostakovich adalah musuh besarnya. Keduanya menulis musik yang bertentangan dengan ide Stalin: musik harus populis, bisa dinikmati oleh kaum akar rumput.
Stalin sendiri punya komponis favorit: Tikhon Khrennikov. Selain seorang penjilat yang ahli, musik Khrennikov "memenuhi syarat" Stalin: kedengarannya "berkelas" karena menggunakan orkes besar, padahal kontennya murahan. Kini Prokofiev & Shostakovich, bersama Rachmaninov dan Stravinsky, dianggap mewakili pencapaian seni musik tertinggi dari Rusia, sedangkan Khrennikov namanya hilang bersama musiknya ditelan waktu.
Di dunia sastra, Federico Garcia Lorca pada usia 38 tahun diculik dan dibunuh oleh diktator Franco di Spanyol di tahun 1936. Di Indonesia sendiri, Pramoedya Ananta Toer dan banyak lagi seniman diasingkan di Pulau Buru pada zaman Soeharto.
Seni sangat dibutuhkan di dunia politik
Tapi tidak bisa dipungkiri, produk seni sangat dibutuhkan di dunia politik, bukan hanya dari para pemimpin otoriter. Musik selalu dipakai untuk kampanye, dan ini biasanya musik yang populis (bukan selalu pop, bisa rock, dangdut dll). Ini disebabkan pengulangannya yang memudahkan untuk dicerna, serta lirik yang propagandis.
Cara termudah (menurut opini penulis: murahan) adalah mengambil melodi dari lagu yang sudah ada dan mengganti liriknya saja, seperti refrain di lagu "2019 Ganti Presiden" yang mengambil refrain lagu "Better Man"-nya Robbie Williams.
Apakah Robbie Williams setuju lagunya dipakai untuk kampanye, yang notabene calon presidennya pun belum ketahuan? Ini tidak penting. Donald Trump menggunakan lagu Queen "We Are The Champions", dan kita semua bisa google berita bahwa Brian May (anggota Queen) mengeluh lewat tweet-nya "An unauthorized use at the Republican Convention against our wishes". Kami para komponis dan musikus tidak pernah bisa melarang siapapun untuk menggunakan musik kami, selama sang pengguna tersebut membayar royaltinya (kalau kami tidak mau menerima uangnya, itu masalah kami, bukan masalah hukum).
Musik juga bisa dipakai untuk kampanye yang bukan pemilihan presiden/pemimpin, seperti musik saya "No More Moonlight Over Jakarta" (Tidak ada lagi Tjahaja Purnama di atas Jakarta) yang menceritakan kasus pemenjaraan Ahok. Tujuan saya adalah untuk menceritakan ke dunia internasional kasus ini, dengan menggunakan tema Beethoven "Moonlight Sonata" yang diacak (baca: dihancurkan).
Amnesty International kemudian mengajak saya untuk bekerjasama menggunakan musik ini dalam kampanye mereka untuk penuntutan pembebasan Ahok. Efeknya: setiap kali musik ini dimainkan, penonton lokal bertanya-tanya siapa itu Ahok, apa yang terjadi, dan kemudian meng-google. Apa yang kemudian menjadi kesimpulan mereka, itu bukan urusan saya, yang penting dunia luar lewat (para pecinta) musik klasik sadar atas kejadian ini.
Kekuatan musik dalam situasi seperti inilah tepatnya mengapa ada rezim otoriter bersusah payah untuk menyensornya atau, dalam kasus negara Mali, melarang eksistensi musik di negaranya selama lebih dari satu tahun. Bahkan ada sekte-sekte keagamaan yang menyatakan bahwa musik itu haram, karena musik memiliki kekuatan membuka mata bahkan mencerdaskan pendengarnya.
Kisah hubungan musik dan kepentingan politik tidak berakhir di sini. Ini meluas ke cara-cara (di masa kini dan di masa lalu) penggunaan musik sebagai bagian dari persenjataan "kekuatan lunak" diplomasi.
Tujuannya apa?
Dalam masa Perang Dingin, pemerintah Amerika Serikat fokus mencurahkan banyak usaha dan uang untuk merekrut musik dan musisi untuk "merendahkan" ideologi Soviet. Musik Jazz digunakan bukan hanya sebagai identitas budaya Amerika (yang maunya mewakili budaya Barat), tetapi sebagai perwujudan "kebebasan", dan ini menjadi identitas musik mereka yang kuat.
Kesimpulannya: musik untuk tujuan propagandistik memang harus populis, tapi untuk menyatukan suara dan menyentuh hati yang paling dalam, yang diperlukan adalah identitas. Musik yang menjadi lambang "kemegahan" Hitler supaya dikagumi kaum akar rumput adalah musik Richard Wagner, dan anda tahu musik yang sampai sekarang melambangkan identitas "rakyat jelata" Amerika? Karya orkes legendaris "Fanfare for the Common Man" karya Aaron Copland. Keduanya ber-genre klasik, yang dari dulu dicap "musiknya orang elite". Kontradiktif?
Penulis: Ananda Sukarlan (ap/vlz)
Selain sebagai komponis & pianis, A.Sukarlan juga aktif sebagai blogger di Andy Skyblogger's Log , dan membuat vlog di Youtube channelnya Ananda Sukarlan. Twitter & Instagramnya @anandasukarlan bukan hanya mengulas tentang musik, tapi masalah sosial, budaya dan politik pada umumnya. Ia membagi waktunya antara Spanyol (di rumahnya di perbukitan di Cantabria) dan Indonesia (di apartemennya di Jakarta).
IG & twitter @anandasukarlan
Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.