Turki Melawan Frustrasi
2 April 2014
Turki diwarnai dengan skandal korupsi, protes massa, larangan Twitter dan YouTube. Dengan grafiti, komik dan musik, warga menyalurkan aspirasi mereka. Bahkan warga biasa mengabadikan diri pada dinding bangunan dalam bentuk seni jalanan atau membuat foto lelucon satir di komputer untuk kemudian disebarkan di internet.
Seni adalah katup untuk membungkah rasa frustrasi terpendam untuk melawan kontrol pemerintah. Sejak pecahnya protes di Taman Gezi tahun lalu, seni telah semakin banyak digunakan sebagai jenis alternatif bentuk mengusung protes. Seniman Erdem Gündüz , yang dikenal sebagai " Standing Man," menginspirasi dengan aksi protes berdiri diam. Sementara, Tangga Pelangi menjadi salah satu aksi protes yang paling mengesankan. Puluhan tangga di kota-kota Turki dicat warna pelangi- simbol perdamaian dan toleransi.
Seni musik diperkaya dengan lagu-lagu kritis terhadap pemerintah. Sebuah klub alternatif di distrik Beyoglu, Istanbul, mengisi kehidupan malam. Salah satunya dengan menyuguhkan lagu perlawanan dari aksi protes Taman Gezi, yang dinyanyikan jutaan orang berulang-ulang dalam demonstrasi. Judulnya adalah "sik bakalım!" , Yang berarti "Semprotan berkali-kali", mengacu pada serangan gas air mata dan pentungan dalam aksi protes. Kemudian semua tamu bernyanyi keras di klub, tertawa, melompat dan menari.
Erdogan sebagai objek target seni
Perdana Menteri Turki Reccep Erdogan telah menjadi bulan-bulanan dari pertunjukan seni. Tak lama setelah Twitter diblokir, muncul gambar lucu - sebagai protes terhadap gaya otoriter pemerintah. Misalnya gambar Erdogan sedang menggigit burung Twitter atau gambar burung biru membuang hajat di atas kepalanya.
Di sebuah majalah komik, isu pemilu jadi sorotan. Alih-alih seseorang melempar kertas suara ke kotak pemilu, dia malah melempar uang. "Dalam bayangan korupsi dan suap, kita buka suara," demikian pernyataan dalam salah satu gambar.
Sindiran memiliki tradisi panjang di Turki
"Sejak berdiri, Turki punya sejarah demokrasi. Oleh karena itu selalu ada sindiran tertulis maupun dalam bentuk verbal Sindiran selalu punya tempat sejak zaman Kekaisaran Ottoman. Misalnya satir untuk mengejek Sultan, "kata Hakan Bilginer, pendiri majalah satir "Zaytung". Seperti juga pada saat ini, ketika pemerintahan di Turki dengan cara otoriter menekan jurnalis dan media, kata Bilginer.
"Kami tidak punya masalah dengan pemerintah, karena kami adalah majalah independen. Cara pemerintah Turki mengontrol media , terjadi terutama melalui hubungan bisnis. Karena kami tidak memilikinya, maka tidak ada tekanan langsung pada kami," papar Bilginer. "Pemerintah bahkan memantau kami di media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Kadang-kadang mereka juga me-retwitt, karena merasa lucu," ujar Bilginer. Ketika masuk ke dalam isi masalah pemberitaan, editorial yang dibuat juga berhati-hati."Kami mencoba sejauh mungkin agar tak kena masalah hukum, jadi kami tidak pernah menyinggung pemerintah secara langsung. Tapi kami selalu menemukan cara untuk mengungkap apa yang kami maksud. Selain itu, semuanya toh tentang humor, ini menjadi bonus, kata Bilginer.
Tidak perlu sensor dari dalam
Tidak seperti Bilginer, Tuncay Akgun memiliki pengalaman buruk dengan pemerintah. Akgun mendirikan buku komik "Leman" sekitar dua puluh delapan tahun yang lalu. Leman merupakan edisi komik terlaris Turki dengan 30 ribu eksemplar. Majalah ini didirikan tak lama setelah kudeta militer tahun 1980. "Kami adalah media yang sangat radikal. Para senimannya dipenjara. Saya juga dipenjara," kata Akgun.
Saat ini kasus konflik hukum antara media tersebut dengan pemerintah masih berlangsung, “Pemerintah menuntut kami. Gugatannya sekarang ada di Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa. Kami mungkin akan terkena denda yang besar, karena dianggap menghina Perdana Menteri, dengan menampilkan ia tengah mengacungkan jari tengah di halaman sampul majalah kami," kata sang kartunis. Dia tak percaya indepedensi pengadilan Turki. "Di Turki, Anda tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Kami siap untuk situasi apa pun," katanya.
Namun demikian , ini bukan alasan untuk melakukan self-censorship, jelas seniman itu. "Itulah yang membuat kami sangat radikal. Jika kita terus berpikir tentang apa yang bisa terjadi pada kita, maka kita tidak perlu lagi untuk menggambar. Kami menggambar, apa yang kami sukai dan bagi kami kebebasan berpendapat amat penting," tambah Akgun. Ia menutup pembicaraan dengan mengatakan: “Seni adalah alat yang sangat penting untuk mengekspresikan diri. Ini merupakan cara yang baik agar semua orang dapat berpartisipasi."