Tentu semua ini ada pemicunya. Di era pasca-Orde Baru, rasanya baru kali inilah proses transisi pemerintahan begitu berisik, tidak seperti transisi pemerintahan sebelum-sebelumnya, yang relatif landai dan mulus.
Publik sudah lelah melihat manuver para elite politik yang seolah tak berkesudahan. Mungkinkah ini kebetulan belaka, ketika rakyat sedang dilanda keletihan, Paus Fransiskus hadir di Jakarta, memberi kesempatan publik luas untuk jeda sejenak dari kebisingan manuver elite politik. Kesederhanaan Paus Fransiskus, salah satunya ditandai dengan mengendarai mobil biasa (Kijang Innova Zenix) selama berkunjung di Jakarta, serta menolak menginap di hotel berbintang, adalah pelajaran teramat mahal bagi elite politik kita, yang dikenal tamak atas kekuasaan dan harta.
Arti penting posisi pendamping
Satu pelajaran penting yang bisa dipetik dari dua periode pemerintahan Jokowi, bahwa kita jangan sampai salah dalam memilih teman. Jokowi dikelilingi oleh orang-orang yang tidak begitu firm dalam soal karakter dan integritas. Motto Akademi Angkatan Laut Belanda (KIM Den Helder) mungkin bisa sedikit menjelaskan, yang berbunyi: Kennis is macht, Karakter is meer (Ilmu adalah kekuasaan, karakter yang terutama).
Bahwa orang boleh saja pintar, dan karena kepandaian atau kompetensinya, dia kemudian berkuasa, namun sejatinya karakter tetap lebih penting. Soal karakter inilah yang tidak diajarkan di bangku sekolah, dia berbasis visi seseorang yang harus dibuktikan dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Dalam soal pertemanan ini, tampaknya Soeharto lebih beruntung, karena dia didampingi oleh teman dekat yang memiliki karakter. Salah satu yang pantas disebut adalah Ali Moertopo, teman setia Soeharto sejak masih di pasukan (Kodam Diponegoro), hingga Soeharto sudah berkuasa di Jakarta. Salah satu perilaku yang bisa dikenang dari Ali Moertopo, dan idealnya bisa diteladani para elite politik di tanah air, bahwa Ali tidak pernah menumpuk kekayaan selama mendampingi Soeharto.
Hidup adalah pilihan. Seandainya Ali berhasrat memburu kesejahteraan (lebih dari sekadar cukup), tentu ada kemudahan untuk itu, namun sebagaimana kita ketahui, Ali Moertopo lebih memilih hidup sederhana, sampai akhir hidupnya (meninggal Mei 1984). Dalam konteks politik hari ini, yang penuh dengan sinisme sehubungan penumpukan kekayaan oleh elite politik di sekeliling Jokowi, termasuk korupsi bidang politik dan perundang-undangan.
Ditambah dengan kenyataan ketika seorang menteri memamerkan gaya hidup hedonisme, dengan cara mengonsumsi minuman seharga puluhan juta (per botol). Perilaku yang sama sekali tidak menunjukkan empati, dihubungkan dengan kenyataan masyarakat hari ini, yang masih kesulitan membeli beras serta ancaman PHK setiap waktu. Untuk perilaku hedonis seperti itu, mohon maaf, tiada tempat bagi Ali Moertopo. Ali lebih berminat pada gagasan, ketimbang menumpuk kekayaan.
Bandingkan dengan pertemanan (dekat) antara Jokowi dan Luhut B Panjaitan (LBP), bahkan dalam beberapa kesempatan acapkali LBP disebut sebagai "presiden bayangan”, karena selain hubungan dekat secara personal, LBP adalah sandaran politik Jokowi. Saya tidak ingin membandingkan soal kecerdasan antara Ali Moertopo dan LBP, mengingat LBP adalah lulusan terbaik ketika lulus dari Akmil (1970).
Persoalannya lebih pada karakter, Jokowi dan LBP tampaknya klop. Pada penggal terakhir kekuasaan Jokowi, keduanya telah menabalkan dirinya sebagai pengusaha, ketimbang memperkuat citra sebagai negarawan sebagaimana yang kita bayangkan. Beraktivitas dalam perniagaan, sama sekali tidak ada dalam kamus Ali Moertopo. Secara gagasan Ali juga jauh lebih kuat, dan masih ada jejaknya sampai hari ini, seperti keberadaan Golkar dan PPP. Sementara apa bisa kita ingat dari LBP, selain kunjungan berkali-kali ke kantor Elon Musk (pemilik jenama Tesla dan pelantar X), itu pun dengan hasil yang tidak signifikan.
Megawati dan SBY juga tidak jauh berbeda, keduanya juga didampingi figur yang berani bergaya hidup sederhana. Megawati sangat dekat dengan Mayjen Purn Theo Sjafei (Akmil 1965). Theo yang selalu mendampingi Megawati kemana-mana, dan merupakan penasihat politik kepercayaan Megawati. Kepercayaan Megawati pada Theo Sjafei, kemudian berlanjut kepada anak Theo, yaitu Andi Wijayanto (mantan Gubernur Lemhannas), yang juga sangat dekat dengan Megawati. Demikian juga dengan SBY, yang berteman dekat dengan seniornya di Akmil, yaitu Letjen Purn Sudi Silalahi (Akmil 1972).
Satu nama lagi perlu disebut, yaitu Budi Gunawan (Kepala BIN). Merujuk skema Soeharto saat masih berkuasa, yang juga mengandalkan figur intelijen, selain Ali Moertopo, ada lagi nama Yoga Sugama dan Benny Moerdani. Problemnya adalah, dalam praktiknya Budi Gunawan (BG) tidak mencitrakan dirinya sebagai pimpinan lembaga intelijen, ketika terlalu banyak turun lapangan dengan cara terbuka, salah satu yang jelas adalah saat mempertemukan Jokowi dan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, pasca-Pilpres 2019. Mempertemukan Jokowi dan Prabowo bisa jadi masuk kategori operasi intelijen, namun ketika BG memperlihatkan diri, justru menurunkan citra BG sebagai kepala lembaga intelijen. Belum lagi mewartakan kegiatan BIN secara berkala di sebuah harian nasional.
Tentu akan muncul pertanyaan publik awam, BG ini pimpinan sebuah lembaga intelijen atau seorang politisi. Terlebih bila dihubungkan dengan prinsip intelijen, bagaimana memperoleh informasi sebanyak mungkin tanpa menyentuh obyek, dengan kata lain seorang pimpinan lembaga intelijen siap untuk tidak dikenal. Kita masih ingat dengan baik, ketika Yoga Sugama (Kepala BAKIN) hanya sesekali muncul di depan publik, untuk memberikan klarifikasi atas sebuah peristiwa yang dianggap krusial.
Ali Moertopo tentu tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan, bahkan pada tahap tertentu tergolong tokoh kontroversial. Sesuai fitrah manusia, tidak ada manusia yang sempurna. Namun satu hal yang pasti, dibandingan kesalahan yang pernah dilakukan Ali Moertopo, kesalahan ataukekurangan orang-orang dekat Jokowi lebih besar lagi.
Soeharto sebagai benchmark
Pertanyaan besar menjelang berakhirnya rezim Jokowi adalah, mana yang lebih buruk antara rezim Soeharto dan rezim Jokowi. Terus terang pertanyaan yang sulit dijawab, dan tiap orang akan memiliki tafsir dan argumentasi sendiri. Jokowi dahulu naik dengan cara mengejutkan, pun demikian saat turun, dalam arti tidak ada yang menyangka, bahwa hari-hari terakhirnya akan bergejolak seperti ini. Pada Pilpres 2014, kemunculan Jokowi bisa digambarkan dalam pameo from zero to hero, sementara satu dekade kemudian, yang terjadi adalah sebaliknya.
Salah satu fenomena menarik yang bisa diajukan adalah, bagaimana pandangan lingkaran aktivis gerakan mahasiswa generasi 1980-an dan 1990-an, yang dulu secara bergelombang tiada putus melawan rezim Soeharto dengan berbagai cara, baik secara terbuka maupun klandestin. Sebagian besar generasi ini masih bisa menyaksikan rezim Jokowi, beberapa di antaranya bahkan bergabung, semisal sebagai relawan Jokowi, saat Pilpres 2014 dan 2019.
Di masa lalu, terutama generasi 1980-an, sejauh pengetahuan penulis, begitu kerasnya menentang Soeharto, dan sikap resistensi (terhadap Soeharto) masih tersimpan rapi dalam benak para aktivis, nyaris abadi. Begitu antipatinya aktivis generasi 1980-an terhadap rezim Soeharto, sehingga muncul asumsi, kalau rezim Soeharto adalah puncak keburukan di ranah politik.
Sungguh di luar perkiraan, bila kelak akan muncul sebuah rezim yang memiliki keburukan setara dengan rezim Soeharto, bahkan bisa jadi lebih. Generasi aktivis 1980-an tetap terbelenggu pada asumsi yang dibangunnya sendiri, bahwa Soeharto tetap rezim paling buruk.
Keyakinan seperti itulah yang akhirnya menjadikan para aktivis seolah terpapar rabun senja, dan mati langkah ketika dihadapkan pada kenyataan, bahwa rezim Jokowi bisa seperti yang kita lihat sekarang. Masih setengah tidak percaya bahwa bisa muncul sebuah rezim yang memiliki daya rusak seperti zaman Soeharto dulu. Kegagapan generasi 1980-an ini kiranya bisa menjelaskan, mengapa publik begitu permisif terhadap rezim Jokowi, karena senantiasa membandingkan dengan rezim Soeharto.
Sebingung apapun para aktivis generasi 80-an dalam merespons rezim Jokowi, masih lebih baik ketimbang para relawan Jokowi, yang kini balik menentang habis-habisan rezim Jokowi. Dalam slank Jakarta, lha kemarin-kemarin kemana saja.
Para relawan Jokowi, beberapa di antaranya cukup fanatik, kemudian berbalik arah menentang Jokowi, betapa pun konyolnya, tetap bisa diambil hikmahnya. Pertama, lain kali jangan terlalu berlebihan dalam memuja seorang figur, kecuali figur insan paripurna sekelas Bung Hatta, M Natsir, Sutan Sjahrir dan Tan Malaka. Kita bisa paham, bila ada sebagian relawan terhitung terlambat dalam menentang balik Jokowi, itu terkait insentif yang diterima para relawan, meski nominalnya juga tidak seberapa.
Kedua, sikap balik badan relawan Jokowi, anggap saja sebagai kode keras, sebab kalau tidak, Jokowi akan menjadi mitos. Hampir saja terbangun mitos Jokowi sebagai "Raja Jawa”, meminjam apa yang disampaikan Bahlil Lahaladia (Ketua Umum Golkar). Ambisi Jokowi menguasai Partai Golkar, turut andil meruntuhkan mitos Jokowi yang hampir saja terbangun. Langkah cepat Jokowi menguasai Partai Golkar pada pekan-pekan terakhir kekuasaannya, membuka sisi kemanusiaan Jokowi yang lain, yakni sebagai manusia jenaka. Eksodus dirinya dari PDIP ke Golkar, bisa disebut lelucon politik terbaik tahun ini, itu sebabnya cukup alasan bagi rakyat untuk melepasnya dengan sukacita.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.