Manuver Diplomasi Maroko Ciptakan Ketegangan di Sahara Barat
15 April 2020Seakan déjà vu, peristiwa serupa berulang terjadi di El Aaiún, sebuah kota kecil di Sahara Barat. Di sana Menteri Luar Negeri Maroko, Nasser Bourita untuk kesekian kalinya menjamu kolega kerja dari negara tetangga dalam protokol ketat kementerian, memotong pita dan menyingkap prasasti batu bertuliskan pesan persahabatan.
Seremoni semacam itu belakangan mulai marak. Sejak akhir 2019 sudah sebanyak 10 negara Afrika meresmikan gedung konsulat di
El Aaiún sebagai bentuk pengakuan kedaulatan atas wilayah miskin yang menurut PBB berada di bawah pendudukan monarki di Rabat.
Tidak lama lagi Burundi akan membuka kantor perwakilan di El Aaiún atau Dakhla. Dengan begitu negeri kecil tersebut mengikuti jejak negara lain, Republik Afrika Tengah, São Tomé, Gabun, Komoro, Guinea, Djibuti dan Pantai Gading. Juga Liberia ikut membuka kantor di Dakhla.
Manuver diplomasi itu dilakukan di tengah konflik yang berkecamuk selama lebih dari 45 tahun. Karena sejak menduduki Sahara Barat pada 1975 lalu, Maroko terus berperang melawan milisi Frente Polisario yang berjuang demi kemerdekaan penuh.
Padahal sejak dekade 1960an PBB sudah menuntut kemerdekaan dan dekolonialisasi bekas negeri jajahan Spanyol itu. Sejauh ini semua upaya mediasi PBB gagal membuahkan hasil. Namun sejak gencatan senjata pada 1991, kedua front mengeras antara kawasan timur dan selatan yang dikuasai Frente Polisario, dan barat laut serta barat daya yang diduduki Maroko.
Secara resmi pemerintahan Sahara Barat diwakili oleh Republik Demokratik Arab Sahrawi (SADR) yang diakui oleh setidaknya 40 negara anggota PBB. Organisasi yang dipimpin Brahim Ghali ini bermarkas di negeri jiran Aljazair yang mendukung kemerdekaan Sahara Barat. Sebaliknya pemerintah di Rabat menganggap Sahara Barat sebagai salah satu provinsi mereka di selatan.
Pengakuan atas pendudukan ilegal?
Pembukaan kantor diplomatik di kawasan sengketa itu menyimpan bom waktu politik. “Dengan cara ini, Maroko akan berupaya dengan segala cara untuk mendapat pengakuan atas pendudukan ilegal. Keberadaan mereka di sana memang diakui sebagai pendudukan ilegal,” kata Yahia Zoubir, Profesor Hubungan Internasional dan Geopolitik di Kedge Business School.
“Maroko membujuk negara-negara lemah dan berusaha mempengaruhi jalannya” proses diplomasi.
“Motivasi negara-negara kecil Afrika mendukung Maroko yang relatif kaya bisa ditakar dengan uang”, kata Zoubir menambahkan. “Negara-negara ini berutang besar dan kesulitan dari segi ekonomi. Mereka melakukannya untuk mendapat dana hibah dari Maroko,” ujar pakar Afrika itu.
Sejak 50 tahun penduduk Sahara Barat menantikan referendum seperti yang dituntut PBB. Ketika Spanyol mengakhiri pendudukan pada 1976, harapan kemerdekaan sempat merayap di udara, sebelum menguap cepat, ketika Maroko mengajukan klaim territorial atas Sahara Barat dan menduduki duapertiga wilayah.
Saat itu tidak sedikit etnis Sahrawi yang melarikan diri ke Aljazair dan menetap di kota Tindouf di dekat perbatasan. Di sana lah mereka menantikan kepulangan, sesuatu yang mengakar kuat pada kesadaran identitas suku tertindas itu.
“Pembukaan kantor konsulat sejumlah negara di kawasan yang diduduki Maroko menjadi bukti fisik atas klaim territorial Rabat”, kata Alex Vines, Direktur Program Afrika di Chatham House, sebuah lembaga tangki pemikir di Inggris. Keberadaan kantor perwakilan asing merupakan sebuah pengakuan resmi atas kedaulatan Maroko.
Strategi Maroko membuahkan hasil
Kepentingan Ekonomi
Vines meyakini, sejumlah negara berkepentingan secara ekonomi dengan membantu klaim Maroko, seperti Burundi dan Sao Tome. Adapun negara lain sebaliknya merawat hubungan historis dengan kerajaan di Rabat. “Perkembangan politik ini adalah bagian dari strategi pemerintah Maroko. Mereka ingin memperlemah Aljazair dan juga posisi Uni Afrika yang menginginkan kawasan otonomi di Sahara Barat.
“Diplomasi agresif oleh Maroko yang dilancarkan sejak enam bulan silam mencapai hingga Lesotho. Hal ini berarti kemunduran buat Polisario,” ulas pakar Afrika itu merujuk pada kelompok pembebasan.
Saat ini Republik Demokratik Arab Sahrawi menikmati pengakuan dari sejumlah negara anggota Uni Afrika dan Amerika Selatan.
Namun negara-negara ini membuka kantor perwakilan di Aljazair, bukannya di Sahara Barat yang diduduki Maroko.
Kendati begitu Aljazair yang berseteru dengan Maroko tetap mendukung gerakan kemerdekaan Polisario. Belum lama ini pemerintah di Aljir menuding Pantai Gading melakukan “pelanggaran hukum internasional dan tanggungjawab yang menjadi mandat akte pendirian Uni Afrika.”
Aljazair bahkan memanggil pulang duta besarnya dari Abidjan.
Maroko menarik diri dari Organisasi Uni Afrika (OAU) pada 1984 sebagai protes atas diterimanya Sahara Barat sebagai anggota organisasi. Baru pada 2017 Rabat kembali bergabung ke dalam organisasi yang kini bernama Uni Afrika. Sejak itu Maroko melancarkan kampanye diplomasi untuk membetoni klaimnya atas Sahara Barat.
Hal itu antara lain dicapai dengan menempatkan perairan Sahara Barat ke dalam kawasan teritorial Maroko. Undang-undang terkait sudah disahkan oleh parlemen di Rabat Januari silam.
Tidak heran jika Frente Polisario meradang. Naja Hindi, salah seorang jurubicara Polisario di Jerman menilai Maroko “melanggar konvensi internasional” dengan mengesahkan legislasi tersebut, kata dia kepada DW. “Dan kenapa pula negara-negara ini membuka kantor perwakilan di kawasan, di mana mereka tidak memiliki seorangpun warga negara yang harus dilayani? Kenapa tidak membuka kantor konsulat di salah satu kota di Maroko? Kenapa harus di El Aaiún?” tanyanya dengan nada geram.
DW berusaha menghubungi Kementerian Luar Negeri Maroko untuk meminta konfirmasi. Namun permohonan itu tidak ditanggapi.
Martina Schwikowski & Hugo Flotat-Talon (rzn/as)