Bagaimana Tentara Muslim Ikut Bertempur di Perang Dunia I
11 Desember 2019Alunan nada The Last Post berkumandang di tepi Gerbang Menin di kota Ypres, Belgia, ketika grup musik dari pemadam kebakaran lokal ikut menghantar prosesi peringatan prajurit yang gugur di Perang Dunia I. Seremoni itu diulang setiap tahun pada jam 8 pagi sejak 1928.
Dinding Gerbang Menin dihiasi nama milik 54,607 serdadu yang tewas, termasuk di antaranya 412 prajurit asal India yang juga melibatkan tentara muslim seperti Bahadur Khan yang tewas pada Perang Ypres I pada Oktober 1914, atau Nur Alam yang dibunuh pada Perang Ypres II pada April 1915.
Tercatat sebanyak 2,5 juta serdadu muslim ikut bertempur di bawah bendera Inggris, Perancis dan Rusia. Mereka mengangkat senjata untuk orang lain, bukan bangsa sendiri. Kisah hidup para serdadu hijau itu termasuk yang paling sedikit diteliti, terutama jika dibandingkan dengan koleksi peninggalan tentara Barat dalam bentuk puisi, buku catatan harian atau surat.
Baca juga:Bagaimana Hitler dan Nazi Menggunakan Isu Islam Untuk Politik Anti Yahudi
Luc Ferrier, pendiri Yayasan Forgotten Heroes 14-19, berniat mengubah itu semua. Dia meyakini sekutu barat tidak akan mampu memenangkan perang tanpa jasa serdadu muslim. Organisasinya ikut membantu membangun kesadaran publik terkait kisah hidup mereka - sebuah aksi positif di tengah maraknya sentiman anti-muslim di Eropa.
"Awalnya target yayasan ini adalah menemukan seberapa banyak warga muslim di bekas negara jajahan yang ikut bertempur bersama tentara sekutu," kata dia kepada DW. "Kejutan terbesar yang kami temukan adalah seberapa besar rasa hormat dan loyalitas di antara para serdadu dari berbagai keyakinan di situasi yang paling buruk, yakni di parit pertahanan Perang Dunia I."
"Termasuk buku harian yang kita temukan adalah milik serdadu muslim, Kristen atau Yahudi yang bertempur bersama-sama, saling berbagi pengalaman dan menghargai budaya, musik, makanan dan ritual agama masing-masing, meski situasi yang sulit di parit pertahanan," kata dia.
"Para rabi, pendeta atau imam di antara mereka bahkan belajar bahasa Arab, Ibrani, Inggris dan Perancis agar bisa melakoni ritual pemakaman bagi serdadu yang tewas di medan perang. Jika mereka bisa menghargai satu sama lain di jaman perang, apa yang menghentikkan kita berbuat serupa saat ini?"
Padahal nasib para serdadu muslim tidak seberuntung teman seperjuangan di barat. Di India yang mencatat kematian 70.000 serdadu di Perang Dunia I, tentara yang pulang dimusuhi lantaran pergi bertempur demi pemerintah kolonial Inggris. Saat itu seisi negeri sedang mengawali jalan panjang menuju kemerdekaan.
Ketika pasukan Jerman menyebrang ke Perancis pada Agustus 1914, pemerintah di Paris buru-buru memobilisasi serdadu dari wilayah jajahan di Afrika Utara, yakni Aljazair, Maroko dan Tunisia. Mereka tiba di Eropa dengan sambutan meriah karena dianggap sebagai pahlawan.
Adapun tentara yang dimobilisasi Inggris dari wilayah jajahan di India terdiri atas beragam keyakinan. Serdadu muslim mewakili sepertiga dari seluruh tentara India yang dikerahkan Inggris untuk berperang. Para serdadu itu memperkuat pertahanan Inggris yang kian rapuh ketika menghadapi tentara Jerman di selat Inggris pada 1914.
Baca juga:100 Tahun Perjanjian Versailles: Bagi Jerman Berakhir Dengan Bencana
Mereka adalah relawan atau tentara yang terlatih dan berpengalaman. Namun seperti tentara barat, para serdadu muslim itu tidak siap menghadapi neraka berupa hujan bom, peluru dan gas beracun di medan perang.
"Seperti lobak yang terbelah, seperti itu pula tubuh manusia yang terkoyak menjadi serpih oleh ledakan bom," tulis seorang serdadu dari utara India. "Merebut parit pertahanan sepanjang beberapa ratus Yard terlihat serupa seperti kehancuran dunia."
Saat itu keberadaan tentara muslim diakomodir oleh militer dengan menyediakan makanan halal. Kisah heroik para koki yang bertaruh nyawa tersambar serangan bom Jerman untuk melayani para serdadu di medan perang dengan roti Chapati dan Kari tergolong legendaris. Tidak heran tingkat kematian juru masak India pada PD I tergolong yang paling tinggi.
Jerman pun memperlakukan tawanan perang beragama Islam dengan baik. Dalam upaya mengubah sikap mereka agar berkhianat terhadap negeri sendiri, pemerintah bahkan membangun masid pertama di kamp tawanan perang di Wünsdorf, tidak jauh dari ibukota Berlin. Namun hingga kini tercatat tidak banyak serdadu muslim India yang bersedia menyebrang untuk Jerman.
rzn/vlz