Mampukah Misi Militer UE Halau Blokade Houthi di Laut Merah?
23 Januari 2024Di saat rudal-rudal berterbangan di atas Laut Merah antara yang ditembakkan AS, Inggris dan pemberontak Houthi di Yaman, Uni Eropa (UE) kini menyiapkan misi maritimnya sendiri untuk melindungi kapal dagang di perairan Timur Tengah.
Para analis memperingatkan risiko melebarnya konflik dan betapa UE harus berhati-hati.
Blokade Houthi sedianya hanya ditujukan terhadap kapal yang menuju Israel. Namun dampaknya, aksi itu justru memblokir rute perdagangan global. Sebagai reaksinya maskapai kapal pengangkutan kargo dunia memilih memindah rute perjalanan, tidak lagi melintasi Laut Merah melainkan memutar melewati Tanjung Harapan di Afrika Selatan yang jaraknya lebih jauh. Sebanyak 40 persen kapal barang Uni Eropa dalam bisnisnya dengan Asia dan Timur Tengah, melintasi rute pelayaran padat Laut Merah.
Misi Uni Eropa sejauh ini belum disepakati dan butuh waktu berminggu-minggu untuk menghimpun mandat dari negara anggota. Adapun Operasi Prosperity Guardian yang digalang AS turut memecah negara-negara UE, dengan Belanda, Yunani dan Denmark yang bergabung, sementara Perancis, Italia, dan Spanyol menolak.
Sebuah sumber diplomatik di Brussels mengatakan kepada DW bahwa opsi yang lebih realistis adalah memanfaatkan operasi kemaritiman pimpinan Prancis, Agenor, yang saat ini mengawasi Selat Hormuz.
Delapan negara Uni Eropa terlibat dalam operasi tersebut, sebagai bagian dari misi yang lebih luas bernama EMASoH (Kewaspadaan Maritim Eropa di Selat Hormuz), yang "bertujuan untuk meredakan ketegangan dan berkontribusi pada lingkungan navigasi yang aman,” menurut situs web misi tersebut.
Pada hari Rabu, Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani mengkonfirmasi rencana tersebut. Solusi termudah adalah memperluas misi pemantauan Agenor ke Laut Merah, katanya. "Saya percaya bahwa bahkan Layanan Eksternal Uni Eropa lebih mendukung opsi ini,” kata Tajani dalam komentarnya yang dilansir kantor berita Reuters.
Pada hari Rabu, Menteri Pertahanan Belanda Kajsa Ollongren mengatakan kepada media lokal bahwa negaranya bersedia menyediakan sebuah kapal fregat untuk misi UE. "Kami masih mendalaminya, tapi kami juga akan mendiskusikannya dengan Majelis Rendah Parlemen,” katanya kepada stasiun televisi BNR.
UE ingin agar misi keamanan di Laut Merah sudah bisa terbentuk pada 19 Februari mendatang, lapor Reuters dengan mengutip sebuah sumber diplomatik. Untuk saat ini, rencana itu akan dibahas pada pertemuan tingkat menteri luar negeri Uni Eropa pada hari Senin (29/1) mendatang.
Mengapa intervensi UE di Laut Merah dianggap kontroversial?
Respons UE sebetulnya tergolong terlambat. Beberapa negara anggota, khususnya Spanyol, telah menolak ajakan AS untuk memperkuat Operasi Perlindungan Kemakmuran. Banyak negara anggota UE mengkhawatirkan terjadinya eskalasi lanjutan di kawasan yang sedang bergejolak tersebut.Serangan AS dan Inggris terhadap situs-situs militer Houthi pada Jumat lalu, misalnya, mendapat tanggapan beragam dari Uni Eropa.
AS mengatakan pihaknya menerima bantuan praktis dari Belanda yang banyak bergantung pada pelayaran. Jerman dan Denmark dilaporkan menawarkan dukungan dalam bentuk lain melalui pernyataan tertulis kedua negara.
Spanyol, yang dipimpin oleh koalisi sayap kiri menegaskan, mereka tidak akan berpartisipasi dalam misi Uni Eropa di Laut Merah. Meskipun misi militer UE memerlukan persetujuan dengan suara bulat, negara-negara anggota dapat tidak ikut serta dalam operasi tersebut.
"Setiap negara harus bisa menjelaskan kebijakannya sendiri. Spanyol akan selalu berkomitmen terhadap perdamaian dan dialog," kata Menteri Pertahanan Spanyol Margarita Robles kepada wartawan di Madrid pekan lalu, menurut kantor berita AFP.
Serangan AS dan Inggris serta pembalasan Houthi semakin memperumit posisi UE, seperti yang dijabarkan Nathalie Tocci, direktur Institut Urusan Internasional (IAI) Italia. Menurutnya, pengiriman kapal perang berpotensi memicu eskalasi yang lebih besar. "Kapal perang diturunkan dengan tujuan menembak. Tidak harus menyerang wilayah Yaman, tapi yang pasti menembak jatuh apa pun yang datang,” kata Tocci. Dibandingkan dengan misi pemantauan Agenor, misi UE di Laut Merah akan menjadi "permainan yang sangat berbeda".
Apa risikonya bagi Uni Eropa?
"Bagi UE, risiko yang muncul akan bersifat praktis," kata Tocci menambahkan. Pertama, ada kemungkinan kapal perang UE diserang. Selain itu, misi tersebut justru bisa membuat UE terlihat lemah.
"Arab Saudi telah melakukan pengeboman besar-besaran di Yaman selama sepuluh tahun," kata Tocci. Sejak 2015, Arab Saudi memimpin koalisi melawan Houthi dan melancarkan serangan udara bertubi-tubi yang banyak menewaskan warga sipil. "Apakah mereka benar-benar berhasil melemahkan kapasitas militer Houthi? Tidak, mereka tidak berhasil,” kata direktur Institut Urusan Internasional Italia itu.
"Jadi apa yang membuat kita berpikir bahwa operasi maritim, yang mungkin memiliki tujuan defensif dibandingkan ofensif, akan mampu memberikan efek jera?” tanyanya. Tocci khawatir, UE bertindak karena dorongan untuk "melakukan sesuatu," tanpa sasaran akhir yang jelas.
Namun, bagi Camille Lons, seorang analis dari Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa (ECFR), penting bagi UE untuk menemukan, "jawaban atas ancaman keamanan maritim yang kita lihat, karena ancaman tersebut secara langsung menargetkan keamanan ekonomi dan keamanan maritim."
Menurutnya, hal ini terutama terjadi ketika blok tersebut gagal mencapai kesepakatan dengan AS. "Meskipun mempunyai kepentingan perdagangan yang serupa, UE sejatinya tidak banyak berperan sejak Houthi mulai melakukan serangan," kata Lons.
Gaza, gajah di pelupuk mata
Baik Tocci maupun Lons sepakat bahwa akar penyebab krisis Laut Merah saat ini terletak di Gaza. Sayangnya, kedua analis mengatakan, respons negara-negara Uni Eropa terhadap konflik di Timur Tengah justru mencederai kredibilitas UE di panggung dunia, khususnya di wilayah yang sangat bersimpati dengan Palestina.
Melihat ke masa depan, Lons mengatakan ada "kebutuhan nyata untuk mengatasi ketidakstabilan di Yaman dan ketidakstabilan yang lebih luas di seluruh Laut Merah.” Hal ini memerlukan "respons diplomatis,” katanya, "lebih dari sekedar respons militer terhadap apa yang terjadi saat ini.”
rzn/as
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!