1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

KTT iklim PBB: Berapa Harga Adil untuk Perlindungan Iklim?

11 November 2024

Ada banyak uang dipertaruhkan di konferensi iklim COP29 tahun ini. Tapi seberapa besar dana dukungan yang diterima negara-negara berkembang untuk perangi dampak perubahan iklim yang kian dramatis?

https://p.dw.com/p/4ms4v
Protes Friday for Future tahun 2019 di Berlin, Jerman
Di konferensi iklim di Baku, Azerbaijan, pertanyaan mengenai pendanaan akan jadi perdebatan hangatFoto: Stefan Bonnes/IPON/imago images

"Sebagai negara yang kaya akan bahan bakar fosil, kami akan membela hak negara lain untuk mengekstraksi dan berinvestasi pada bahan bakar tersebut," kata Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev seperti dikutip pada Dialog Iklim Petersberg di Berlin pada April 2024. Dengan melakukan hal ini, kepala negara menentukan arah yang bisa ditempuh negaranya dalam negosiasi iklim mendatang.

Kepala negara dan pemerintahan dari hampir 200 negara bertemu di Konferensi Iklim Dunia ke-29, COP29, untuk membahas langkah-langkah perlindungan iklim yang lebih besar. Negosiator utamanya yakni tuan rumah Azerbaijan.

Ketika jutaan orang semakin dirugikan oleh bencana iklim yang semakin ekstrem, konferensi iklim diadakan di negara penghasil gas dan minyak yang tidak begitu berminat mengurangi pemakaian bahan mentah yang merusak iklim ini.

Meski potensi energi terbarukan di Azerbaijan sangat besar, keuntungan dari penjualan minyak dan gas menyumbang 60 persen pendapatan pemerintah.

Dana perlindungan iklim dari mana?

Selain mengurangi emisi secara drastis, konferensi iklim internasional tahun ini menghadapi tugas yang menantang: Kepala negara dan pemerintahan harus memutuskan seberapa besar dukungan keuangan yang harus diterima negara-negara berkembang untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang semakin meningkat dan transisi menuju perekonomian yang lebih berkelanjutan.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Negara-negara kaya, termasuk Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa, telah berkomitmen selama bertahun-tahun untuk menyediakan $100 miliar per tahun mulai tahun 2020. Dana ini dipakai untuk mendukung negara-negara berkembang dalam perjuangan melawan perubahan iklim.

Namun, target ini baru tercapai pada 2022. Selain itu, sebagian besar dana tersebut ditawarkan dalam bentuk pinjaman berbunga tinggi, sehingga menimbulkan kritik keras dan tuduhan bahwa mereka telah ingkar janji.

Niklas Höhne dari New Climate Institute, sebuah organisasi nonpemerintah di Jerman yang menangani kebijakan iklim, memperkirakan bahwa jumlah pendanaan iklim antara $200 miliar dan $700 miliar per tahun dapat disepakati.

"Dengan demikian, akan ada keseimbangan finansial yang adil antara negara-negara kaya yang benar-benar bertanggung jawab atas perubahan iklim dan negara-negara kurang mampu yang paling menderita akibat perubahan iklim," kata Höhne.

Afrika dan negara-negara berkembang lainnya, termasuk India, telah berulang kali menyerukan dana tahunan sekitar satu triliun dolar. Jumlah ini setara dengan peningkatan sepuluh kali lipat dari komitmen sebelumnya.

Sementara negara-negara industri menganggap angka-angka ini tidak realistis. Pada saat yang sama, negara industri juga ingin negara-negara Teluk yang kaya minyak dan Cina untuk berbagi beban keuangan. 

Dasar sungai yang mengering di Maroko, 2012
Siapa yang menanggung biaya kerugian akibat perubahan iklim? Negara-negara miskin semakin parah merasakan dampaknya.Foto: Ashley Cooper/Global Warming Images/picture alliance

Perdebatannya, siapa bayar tagihan?

Meskipun negara-negara kaya secara historis memberikan kontribusi terbesar terhadap krisis iklim, Saat ini Cina menjadi negara yang menghasilkan gas paling merusak iklim. Namun, dalam dokumen resminya, negara itu masih terdaftar sebagai negara berkembang yang secara teoritis menerima dana iklim, alih-alih membayar.

Tahun lalu, negosiasi juga terjadi di negara penghasil minyak. Uni Emirat Arab (UEA) bertindak sebagai tuan rumah. Mereka juga secara formal masih dianggap sebagai negara berkembang. Mereka menjanjikan dukungan finansial kepada negara-negara miskin untuk transisi energi dan rekonstruksi setelah bencana iklim. Para pengamat memandang hal ini sebagai secercah harapan bahwa negara-negara berkembang yang kaya kini dapat semakin ikut bertanggung jawab.

Tahun lalu di UEA, komunitas global untuk pertama kalinya sepakat dalam jangka panjang untuk mengatasi penyebab krisis iklim dan menghentikan pembakaran batu bara, minyak, dan gas. Meski begitu, suhu bumi saat ini terus memanas. Dalam Perjanjian Iklim Paris, 197 negara sepakat untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius dibandingkan masa sebelum industrialisasi. Tapi kita masih jauh dari itu.

Dengan kebijakan iklim saat ini, para ilmuwan memperkirakan pemanasan global akan mencapai 3,2 derajat pada akhir abad ini. 

Tanpa pengurangan emisi, sulit lindungi iklim

"Ada perbedaan besar antara retorika dan kenyataan ketika ada target suhu 1,5 derajat Celsius tapi salah satu tugas utamanya tidak terpenuhi," kata Alden Meyer, pakar senior di lembaga pemikir internasional E3G, yang berspesialisasi dalam bidang kebijakan iklim AS dan internasional.

Baik UEA dan Azerbaijan, serta tuan rumah konferensi iklim PBB berikutnya, Brasil, berencana memperluas produksi bahan bakar fosil, jelas Meyer. Tren yang sama juga terjadi di AS, Kanada, Norwegia, Australia, dan Inggris.

Meyer berharap penggandaan dana untuk adaptasi perubahan iklim oleh negara-negara industri juga menjadi agenda COP. Hal ini dapat berupa sistem peringatan dini terhadap badai atau banjir, tindakan untuk perlindungan pantai, ruang hijau untuk mengatasi pemanasan di kota atau tindakan keselamatan untuk pembangkit listrik di daerah rawan badai atau banjir.

Ada pembicaraan tentang dana senilai 40 miliar per tahun untuk ini. Selain itu, dana baru untuk kerusakan dan kerugian harus dikembangkan lebih lanjut. Peningkatan komitmen awal sebesar $800 juta sedang dinegosiasikan.

Menurut yayasan afiliasi Partai Hijau di Jerman, Heinrich Böll Foundation, sembilan bencana terburuk di negara-negara berkembang pada tahun 2023 telah menyebabkan kerugian sebesar $37 miliar. 

Pemilu AS, perang, dan pesimisme target 1,5 derajat

Tarik-menarik mengenai uang juga diperburuk karena anggaran negara-negara yang terbatas akibat pandemi COVID, ketidakpastian ekonomi, dan perang di Ukraina, yang menyebabkan peningkatan besar-besaran dalam alokasi anggaran militer di seluruh dunia.

Kemenangan Donald Trump dalam pemilu AS, sebagai negara dengan perekonomian terbesar dan kontributor terbesar kedua terhadap emisi yang merusak iklim, juga akan berdampak pada negosiasi tersebut. Hasil pemilu ini mengkhawatirkan pihak-pihak yang berkomitmen terhadap perlindungan iklim dalam skala yang lebih besar dan lebih cepat.

Selama masa jabatan pertamanya, Donald Trump banyak mempertanyakan kredibilitas ilmu pengetahuan tnetang perubahan iklim. Selain itu, ia juga membatalkan sejumlah undang-undang lingkungan hidup dan memutuskan mundur dari Kesepakatan Iklim Paris.

Dia juga mengatakan akan tetap pada pendiriannya sebagai presiden yang antiiklim dan bahwa produksi batu bara, minyak dan gas akan menjadi prioritas.

"Dorongannya untuk meningkatkan ekstraksi bahan bakar fosil, ketidakpeduliannya terhadap perjanjian internasional, dan penolakannya memberikan pendanaan iklim akan memperdalam krisis dan membahayakan kehidupan dan penghidupan," komentar Harjeet Singh, aktivis iklim dan anggota Inisiatif Perjanjian Non-Proliferasi Bahan Bakar Fosil, yang mendukung penghentian penggunaan bahan bakar fosil.

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Jerman.

Tim Schauenberg
Tim Schauenberg Salah satu reporter iklim DW, Tim Schauenberg berbasis di Brussels dan Münster.tim_schauen