1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Korsel: Ketidakpastian Bayangi Pemakzulan Presiden Yoon

17 Desember 2024

Iklim politik di Seoul memanas ketika pengadilan mempertimbangkan pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol. Sementara partai penguasa dan oposisi mulai berkampanye berebut suara menjelang kemungkinan digelarnya pemilihan dini.

https://p.dw.com/p/4oEix
Presiden Yoon Suk Yeol
Presiden Yoon Suk YeolFoto: South Korean Presidential Office/Getty Images

Majelis Nasional pada hari Sabtu (14/12) meloloskan mosi pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol, 11 hari setelah dia mengumumkan darurat militer yang dibatalkan cuma beberapa jam kemudian.

Keputusan bergantung pada pengadilan, apakah akan mencopot Yoon dari jabatannya atau memulihkan kekuasaan presiden dengan mandat mayoritas di parlemen. 

Yoon saat ini telah diskors dari jabatan dan untuk sementara digantikan Han Duck-soo, yang sebelumnya menjabat perdana menteri. Han adalah ketua umum Partai Kekuatan Rakyat, PPP, yang berkuasa. Pada hari Senin (16/12), dia mengundurkan diri dari jabatannya "karena runtuhnya Dewan Tertinggi partai." Han berjanji akan "mencurahkan seluruh energi dan upaya untuk memastikan stabilitas" kepemimpinan di Korea Selatan.

Namun begitu, para analis mengatakan, Partai Demokrat yang beroposisi tahu bahwa pemerintah sedang terpojok dan mereka tidak akan menerima kompromi kecuali pemilihan umum baru.

Partai Demokrat diunggulkan

Dengan lebih dari 70% publik Korea Selatan menuntut pemakzulan Yoon, tidak diragukan lagi bahwa Partai Demokrat yang beroposisi akan berkuasa di bawah Lee Jae-myung, meskipun ia juga memiliki masalah hukum yang harus dihadapinya.

"Pemakzulan Yoon bukanlah akhir dari kekacauan politik Korea Selatan. Itu bahkan bukan awal dari akhir, yang akan melibatkan pemilihan presiden baru," kata Leif-Eric Easley, seorang profesor studi internasional di Universitas Wanita Ewha di Seoul.

Dia memuji "protes jalanan yang damai" yang muncul ketika demokrasi terancam. Tapi Easley juga memperingatkan, polarisasi mendalam di masyarakat Korea Selatan saat ini tetap menjadi ancaman.

"Meskipun diharapkan oposisi legislatif akan menggunakan kekuatan investigasi dan anggarannya dalam pertikaian antara agenda partisan, harus ada mekanisme akuntabilitas untuk mencegah terjadinya disfungsi dan kelumpuhan pemerintah yang berkepanjangan," katanya kepada DW.

Apa selanjutnya?

Berdasarkan hukum, Mahkamah Konstitusi memiliki waktu enam bulan untuk mengeluarkan putusan. Meski begitu, gugatan terhadap presiden di masa lalu acap diputuskan dalam tempo jauh lebih cepat, demi memungkinkan pemulihan stabilitas politik yang lebih cepat.

Jika pemakzulan Yoon dikonfirmasi, pemilihan umum harus diadakan dalam waktu dua bulan. Tapi meski gugatan terhadap Yoon berkesan kokoh, kasusmya menyimpan komplikasi.

Mahkamah Konstitusi seharusnya memiliki sembilan hakim, dengan tujuh hakim diperlukan untuk membuat keputusan akhir. Namun, majelis hakim saat ini hanya memiliki enam anggota. Penyebabnya adalah perselisihan antara Partai Demokrat dan pemerintah seputar penunjukkan hakim baru.

Keputusan pemakzulan lewat musyawarah

Meski kekurangan hakim, Mahkamah Konstitusi bersikeras, pihaknya memiliki kewenangan untuk mencapai kesimpulan atas pemakzulan Yoon. Tapi akibatnya, hanya perlu satu suara menentang agar mosi tersebut ditolak. Repotnya, tiga hakim MK dinominasikan oleh Yoon sendiri.

"Sangat mungkin akan ada banyak kebingungan ke depannya," ujar Kim Sang-woo, mantan politisi dari Kongres Politik Baru Korea Selatan yang condong ke kiri dan sekarang menjadi anggota dewan Yayasan Perdamaian Kim Dae-jung.

Untuk saat ini, Partai Demokrat mengatakan tidak akan menuntut proses pemakzulan terhadap Han dan anggota Kabinet lainnya, demi memastikan pemerintah terus berfungsi. Namun, Kim mengatakan hal itu mungkin berubah.

Gerakan 4B dan Angka Kelahiran di Korea Selatan

"Lee mengatakan dia tidak akan melakukan penyelidikan lebih lanjut, tetapi dia mungkin berubah pikiran jika penjabat presiden tidak menjalankan urusan sesuai dengan keinginan partainya," katanya kepada DW. "Jika itu terjadi, maka fungsi pemerintahan bisa lumpuh karena keputusan tidak dapat dibuat atau dilaksanakan.

"Jika pemerintahan begitu rapuh, siapa yang bertanggung jawab untuk menjalankan urusan luar negeri?" tanyanya. "Jelas bahwa untuk beberapa waktu, akan ada kebingungan."

Lee dan oposisi sudah berkampanye untuk pemilihan umum baru, sebagian karena pemimpin Partai Demokrat telah didakwa atas penyuapan, korupsi, pelanggaran kepercayaan dan konflik kepentingan, termasuk pemberian USD8 juta kepada Korea Utara. Lee membantah semua tuduhan tersebut.

Kasus hukum pemimpin oposisi

Pada bulan November, Lee dihukum karena membuat pernyataan palsu selama kampanye presiden tahun 2022 dan dijatuhi hukuman penjara satu tahun yang ditangguhkan. Dia sedang mengajukan banding, tetapi jika dikukuhkan, Lee artinya tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai presiden.

Namun, jika dia terpilih sebelum putusan dijatuhkan, maka menurut hukum Korea, kasusnya akan dihentikan.

Sejauh ini ramai tanda-tanda ketegangan antara kedua partai. PPP, misalnya, menolak usulan dari Partai Demokrat untuk membentuk badan pemerintahan konsultatif bersama guna menstabilkan urusan negara.

Alasannya adalah bahwa PPP masih merupakan partai yang berkuasa.

Namun, PPP yang baru dibentuk pada tahun 2020 melalui penggabungan sejumlah partai konservatif, terpecah oleh pertikaian internal atas pemakzulan Yoon dan, menurut beberapa pihak, berada di ambang perpecahan.

"Situasinya sangat sulit, dan saya hanya bisa berharap bahwa segala sesuatunya akan kembali tenang saat pengadilan mulai bersidang", kata Kim menambahkan.

"Hal baiknya adalah bahwa bagi warga Korea Selatan pada umumnya, kehidupan tetap berjalan seperti biasa, hampir seolah-olah tidak terjadi apa-apa," katanya. "Kehidupan kami tidak terpengaruh dan kami tidak merasakan bahaya. Orang-orang hanya ingin proses ini terus berlanjut dan, mudah-mudahan, situasinya akan tetap damai."

 

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris

Kontributor DW, Julian Ryall
Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.