Konflik Kembali Meruncing Jelang Peringatan Perang Korea
26 Juni 2024Ketika Tentara Rakyat Korea, KPA, melintasi perbatasan dari utara yang komunis ke selatan pada tanggal 25 Juni 1950, Rah Jong-yil barulah seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun.
Kini, ketika Korea Selatan memperingati 74 tahun berkecamuknya Perang Korea dan mempersiapkan peringatan besar tahun depan, Rah khawatir perkembangan geopolitik dan kesepakatan militer dengan Rusia akan mendorong penguasa Pyongyang untuk melaksanakan misi terbesarnya, yakni penyatuan kembali Semenanjung Korea di bawah panji komunisme.
"Pergerakan militer Korea Utara berjalan begitu cepat pada tahun 1950, sehingga keluarga saya terjebak di belakang medan tempur di luar kota Busan di tenggara,” kata Rah kepada DW.
"Saya ingat mereka mencoba mencuci otak kami tentang betapa hebatnya rezim komunis di Korea Utara dan mereka menyuruh kami menyanyikan lagu-lagu untuk memuji Kim Il Sung,” kata Rah, yang kemudian menjadi diplomat dan perwira senior intelijen Korea Selatan. "Itu murni indoktrinasi politik.”
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Semenanjung di ambang perang?
Di bawah komando AS, intervensi militer besar-besaran PBB membalikkan situasi di medan perang. KPA mulai dipukul mundur dari wilayah Selatan dan Keluarga Rah dibebaskan dari tahanan Korut setelah dua bulan. Meskipun pada tahun 1953 konflik berakhir buntu di sepanjang garis paralel ke-38, Rah mengatakan bahwa Korea Utara saat ini jauh lebih kuat dibandingkan di masa lalu.
"Dulu, dunia terbagi menjadi dua blok dalam Perang Dingin,” katanya. "Saat ini, kita melihat situasi serupa dengan munculnya blok-blok yang saling bermusuhan. Bedanya, AS tidak lagi memiliki keunggulan militer seperti yang dimilikinya pada dekade 1950an."
"Korea Utara saat ini sudah memiliki senjata nuklir dan rudal balistik jarak jauh,” ujarnya. "Cina masih primitif pada tahun 1950, namun saat ini mereka adalah negara adidaya yang memiliki senjata nuklir. Dan Rusia baru-baru ini menjadi sekutu militer Korea Utara dan pakta yang telah mereka tandatangani mewajibkan kedua negara untuk saling membantu jika salah satu dari mereka diserang.”
Kekhawatiran terhadap perang kembali menjalar di Korea Selatan, seiring menguatnya konflik geopolitik di Asia. "Situasinya sangat memprihatinkan,” kata Kim Sang-woo, mantan anggota Kongres dan sekarang menjadi anggota dewan Yayasan Perdamaian Kim Dae-jung.
"Pertanyaan besarnya adalah seberapa besar komitmen AS terhadap keamanan Korea Selatan, dan meskipun saya yakin kita masih dapat mengandalkan Washington, ada terlalu banyak variabel mengenai bentuk dukungan tersebut, terutama setelah pemilu pada bulan November,” katanya kepada DW, merujuk pada pilpres AS.
Berubahnya keseimbangan militer
Kim juga menunjuk pada perubahan dramatis dalam keseimbangan militer di Semenanjung Korea dalam 74 tahun terakhir. Menurutnya, pengembangan senjata nuklir oleh Pyongyang mengubah peta kekuatan konflik. "Masalah besarnya, tentu saja, Korea Utara kini memiliki senjata nuklir dan rudal jarak jauh, sedangkan Korea Selatan tidak,” kata Kim.
"Dalam hal senjata konvensional, Korea Selatan mempunyai keunggulan karena memiliki sistem senjata modern yang mengungguli persenjataan usang milik Korea Utara, namun kita tidak tahu apakah Korea Utara akan menggunakan senjata nuklir jika terjadi konflik.”
Meski berhasil mengembangkan teknologi nuklir secara mandiri, Korut dilanda krisis ekonomi sejak satu dekade terakhir, yang memperkuat risiko bencana kelaparan.
Investasi besar-besaran dalam persenjataan nuklir dan rudal balistik harus dibayar masyarakat biasa di tengah embargo ekonomi PBB. Krisis memburuk ketika pemerintah Cina menutup perbatasan selama Pandemi Covid-19.
Kemesraan Moskow-Pyongyang
Menurut Kim Sang-woo, invasi Rusia ke Ukraina menciptakan keuntungan tak terduga bagi Pyongyang, ketika Presiden Vladimir Putin mencari dukungan dan amunisi dari rezim yang sebelumnya acap dia abaikan. Perang Ukraina telah mendekatkan Moskow dan Pyongyang, seiring ketatnya sanksi Barat terhadap Rusia.
Dalam kunjungan Presiden Rusia Vladimir Putin ke Pyongyang baru-baru ini, kedua kepala negara menandatangani pakta pertahanan, yang memicu kekhawatiran terhadap meningkatnya pengiriman senjata ke Rusia. Tuduhan ini dibantah oleh pemerintah Korut.
Belum lama ini, Putin mewacanakan peninjauan ulang sanksi PBB terhadap Korea Utara atas larangan program nuklir. Maret lalu, Rusia menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan PBB untuk secara efektif mengakhiri pemantauan pelanggaran sanksi, tepat ketika para ahli PBB mulai menyelidiki dugaan transfer senjata.
Kekhawatiran lain adalah jaminan Moskow untuk turun tangan jika Korut menghadapi invasi asing. "Kita tidak tahu apakah Kim berpikir bahwa pakta tersebut memungkinkannya untuk menyerang," kata Kim.
Namun, hal tersebut tidak sepantasnya membuat gentar Barat. "AS dan semua sekutu kami harus terus melakukan apa yang telah mereka lakukan, yakni mendukung kami dan memperingatkan Korut apa yang akan terjadi jika meletus perang di semenanjung," imbuhnya. "Dan jika Putin mengirimkan senjata ke Korut, kami pun harus mengirimkan senjata ke Ukraina. Tidak ada pilihan lain."
rzn/hp