Kisah WNI Korban Banjir di Jerman
25 Juli 2021"Pada hari Rabu (14/07) tengah malam, tetangga lantai dasar lari ke atas lantai dan berteriak, air, air…..dan lampu padam. Saya kaget dan merangkak menuju dapur di mana saya mencari-cari lilin dan bersyukur bisa terang karena cahaya lilin. Malam itu saya.tidak bisa tidur," demikian dikisahkan Ellya Meyer, perempuan Indonesia yang tinggal di Sinzig, Rheinland-Pfalz, ketika banjir menerjang wilayahnya.
"Tidak menyangka dan sedih. Apalagi besoknya saya ulang tahun ke 71 tahun. Saya tidak berpikir air begitu datang cepat dan tinggi,” ujarnya. "Sore harinya putri saya Beate datang bersama keluarga kecilnya membawa bunga ingin mengucapkan selamat ulang tahun, namun hanya bisa melambaikan tangannya dari jauh,” papar Ellya lebih lanjut. "Saya bersyukur masih tetap sehat dan selamat dan melewati masa sulit di hari ualng tahun."
Di hari Jumat (16/07) sore sekitar pukul 17.00 Beate dan suaminya Sebastian menjemput sang ibu ketika air mulai surut. Sempat bermalam di rumah mereka di Köln West hingga hari Minggu. Putrinya yang lain, Vanessa kemudian juga mengajaknya tinggal bersamanya di Bad Marienberg, Westerwald untuk sementara waktu, hingga listrik dan air di rumahnya yang kebanjiran berfungsi lagi.
Di kawasan Ahrweiler, di hari Rabu (14/07) kelabu itu, Wiwin Ponath dan keluarganya beserta warga Indonesia lainnya Maudy Alvi, sejak sore sudah melihat banyaknya petugas bantuan darurat datang saat air mulai naik. "Ada polisi dan pemadam kebakaran, ambulans, semua menuju ke arah atas pinggiran Sungai Ahr. Ketika polisi dan pemadam kebakaran mulai mengetuk pintu satu-satu untuk segera evakuasi dari rumah, kami masih belum tahu saat itu, kenapa harus evakuasi? Selang berapa menit, polisi mulai mundur dan pemadam kebakaran juga mundur karena ternyata di belakang mereka itu air datang dengan cepat," papar Alvi. Ia kemudian berinisiatif membawa mobilnya ke dataran atas.
Putus sambungan listrik dan internet
"Jadi, pada saat saya sudah sampai di atas, saya meninggalkan Mbak Wiwin di rumah sendirian. Karena tidak sempat kita berangkat berdua. Jadi saya bisa lihat dari atas, rumah itu sudah diterjang banjir,lampu mati, telepon tidak menyala, internet apalagi. Jadi benar-benar waktu itu sangat panik!" ungkap Alvi.
"Sebenarnya saya mau menyusul ke luar rumah, ia akan menjemput saya lagi. Tapi ternyata begitu sampai di lantai bawah, tetangga sudah pada sibuk menutup pintu, mengganjal pintu dengan pasir, dengan segala macam, dengan apa yang ada di sana. Lalu dia sudah bilang: Kamu mau ke mana? Tidak bisa! Tidak bisa! Tidak ada yang boleh keluar dari gedung itu. Karena kalau pintu utama dibuka, kalau saya keluar dan pintu dibuka, itu air akan masuk semua," tutur Wiwin Ponath.
Di tengah banjir, Alvi berusaha menjemput Wiwin. "Saya lihat dari atas itu, air datang dengan cepat. Bahkan saya harus mundur terus, karena pada saat itu saya masih berusaha ke rumah. Karena jalannya itu kan, kita dari dataran tinggi ke dataran rendah. Tapi akhirnya tidak bisa juga. Air itu terus naik, naik, naik, dan semakin lama ternyata di jam 1 dini hari atau jam 2 itu, petugas-petugas yang ada di sanasudah bukan dari daerah Bad Neuenahr lagi, sudah ada yang datang dari Limburg, ada yang datang dari daerah luar kita. Jadi mereka pun kebingungan." Akhirnya ia mendapat informasi berangkat ke Bad Neuenahr, karena di sana ada pusat evakuasi. Pada saat ia ke sana, ia berjumpa dengan orang Indonesia lainnya. "Kebetulan mereka sudah mengungsi di parkiran supermarket. Pada saat saya ke sana, kondisinya ternyata banjir juga. Padahal katanya di sana tempat evakuasi. Jadi saya bingung juga,” lanjut Alvi. Akhirnya mereka menemukan sedikit tempat berlindung yang kering di area parkir supermarket dan malam itu tidur di sana.
"Malam itu masing-masing dari kami tak bisa tidur, karena saling mengkhawatirkan satu sama lain,” tandas Wiwin. "Kalau dulu kami cuma dengar berita tsunami di tanah air ,uh seram rasanya, rasa ketakutan itu jadi saya rasakan,” lanjutnya.
Solidaritas di masa sulit
Keesokan harinya bersama orang Indonesia tersebut, Alvi menuju kembali ke rumah menjemput Wiwin. "Mbak Wiwin mengontak teman Indonesia yang tinggal di Siegburg untuk bisa evakuasi ke sana sementara. Karena berdasarkan informasi dari pemadam kebakaran, minimal butuh enam hari untuk menyalakan kembali air dan listrik. Tapi belum tentu, bisa juga lama. Kita kan punya ruang bawah tanah dan listrik di sana. Pastinya air harus keluar dulu, harus kering dulu. Sementara sampai saat ini, masih penuh dengan air ruang bawah tanah kita semua,” kata Alvi lebih lanjut. Mereka beserta beberapa orang lainnya kemudian ditampung di rumah warga Indonesia di Siegburg, Bambang Susiadi dan istrinya, Indah. Pemerintah Jerman memang juga menyediakan sarana penampungan. Beberapa warga korban banjir lainnya ada yang tinggal di penampungan tersebut, atau memilih untuk tinggal bersama kerabat. Lebih dari seratus orang terenggut nyawanya dalam insiden banjir ini.
Berdasarkan informasi dari Konsulat Jendral Republik Indonesia, KJRI ada 29 warga Indonesia yang terpaksa meninggalkan rumahnya akibat bencana banjir di Jerman. George Junior, Konsul Konsuler II KJRi Frankfurt menyebutkan tim dari KJRI Frankfurt segera mengunjungi para warga Indonesia yang kebanjiran dan memberikan bantuan. Sumbangan juga diberikan oleh organisasi-organisasi sosial lainnya.
Perlahan air mulai surut, namun dampaknya tidak berhenti di sana. Di kota-kota tepi sungai di Jerman, orang-orang berupaya mengatasi dampak dari banjir yang melanda, yaitu genangan lumpur dan tumpukan sampah. Dengan bantuan relawan, para penduduk mulai membersihkan rumah dan toko mereka yang rusak.