1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialEropa

Kampanye Hitam Terhadap Komunitas LGBTQ di Eropa

5 September 2023

Ada upaya untuk mencabut hak-hak LGBTQ di beberapa negara Eropa. Pakar hak asasi manusia mengatakan kepada DW bahwa ini bukan sebuah reaksi balik, tapi hasil dari kampanye hitam.

https://p.dw.com/p/4VvQ4
Kampanye hak-hak LGBTQ di Eropa
Kampanye hak-hak LGBTQ di EropaFoto: Guido Schiefer/IMAGO

Seseorang dilempari telur saat berbaris di sebuah acara Bulan Kebanggaan di Berlin Juli lalu. Ketika kawannya mengungkapkan kekhawatiran, dia dengan cepat mengabaikan kejadian tersebut. "Ini bukan masalah besar, dan polisi tidak akan melakukan apa pun," katanya kepada sahabatnya yang cemas. 

Angka resmi menunjukkan bahwa serangan verbal dan fisik terhadap kaum LGBTQ meningkat di Jerman. 90% dari serangan-serangan tersebut mungkin tidak dilaporkan, demikian menurut Asosiasi Lesbian dan Gay Jerman, LSVD. Dan itu bukan satu-satunya tren yang mengkhawatirkan. "Wacana publik semakin memburuk," kata juru bicara LSVD Kerstin Thost.

"Sikap transfobia telah meningkat secara signifikan, dan kita melihat semakin banyak kampanye yang bersifat disinformasi dan bahkan menjadikan anggota parlemen transgender sebagai umpan," kata mereka.

Hak-hak trans dan queer masih terus berkembang

Pemerintah Jerman baru-baru ini menyetujui apa yang disebut undang-undang penentuan nasib sendiri, sehingga memudahkan individu untuk mengubah gender mereka pada dokumen resmi. Perubahan ini bertujuan untuk membantu individu transgender, nonbinari, dan interseks. Setelah pengumuman RUU tersebut tahun lalu, serangan transfobia meningkat, ungkap menurut Thost dari Asosiasi Lesbian dan Gay Jerman LSVD.

Namun meningkatnya wacana transfobia dan queerfobia mungkin bukan cerminan masyarakat. Selama dua dekade terakhir, lanskap hukum telah meningkat secara dramatis bagi individu LGBTQ di Jerman, sama seperti negara-negara Uni Eropa lainnya. "Telah terjadi reformasi besar-besaran karena masyarakat umum melihat orang-orang (LGBTQ), sebagai bagian masyarakat mereka sendiri,” kata Miltos Pavlou dari Badan Hak-Hak Dasar Uni Eropa.

"Lebih banyak orang menjalani kehidupan yang lebih baik sebagai kelompok LGBTQ di seluruh Uni Eropa," jelas Pavlou. Namun ia menyatakan bahwa "sebagian besar komunitas LGBTQ masih mengalami kekerasan, pelecehan dan diskriminasi."

Meskipun ada peningkatan dalam penerimaan sosial bahkan di masyarakat konservatif, individu transgender dan interseks pada khususnya lebih mungkin mengalami serangan dan diskriminasi dibandingkan kelompok lain, catatnya.

"Lobi anti-LGBTQ memiliki banyak pengaruh saat ini, namun hal itu belum mencerminkan perubahan masyarakat," kata Remy Bonny, Direktur Eksekutif LSM advokasi LGBTQ, Forbidden Colors.

Gerakan global melawan hak-hak LGBTQ

Advokat hak asasi manusia Neil Datta telah meneliti aktivitas gerakan ini di Eropa. Dia memperkirakan bahwa pendanaan untuk kegiatan "antigender" melebihi 100 juta dolar AS per tahun pada tahun 2021 dan 2022. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dekade sebelumnya. Antara tahun 2009 dan 2018, Datta, yang merupakan Direktur Eksekutif Forum Parlemen Eropa untuk Hak Seksual dan Reproduksi, membantu mengidentifikasi dari mana dana yang dibelanjakan untuk kegiatan "antigender" di UE berasal.

Komunitas LGBTQ telah menjadi salah satu kelompok orang yang paling menjadi sasaran kampanye misinformasi dan disinformasi online, demikian ungkap laporan European Digital Media Observatory pada Mei lalu.

Narasi tersebut dikaitkan dengan apa yang oleh sebagian orang disebut sebagai "gerakan antigender" - sebuah jaringan yang mencakup beberapa gereja, kelompok Evangelis AS, partai sayap kanan, anggota partai Republik AS, dan LSM yang disponsori negara yang berkampanye melawan hak-hak LGBTQ dan juga hak-hak reproduksi.

Meskipun kelompok LGBTQ lebih berfokus pada upaya memperoleh hak di negara mereka sendiri, kelompok anti-LGBTQ telah memobilisasi dan membentuk koalisi internasional yang luas selama dua dekade terakhir, demikian menurut pembela hak asasi manusia Remy Bonny. Hal ini memungkinkan mereka untuk bertukar pengalaman dan pengetahuan, termasuk strategi untuk menyebarkan narasi anti-LGBTQ di belahan dunia lain.

Inilah sebabnya mengapa ada tema yang berulang dalam kampanye hitam mereka soal terjadinya pelecehan sekual terhadap anak-anak di dalam komunitas LGBTQ. Meskipun tuduhan ini tidak memiliki dasar ilmiah, pendidikan seks yang mencakup identitas seksual queer di sekolah semakin menjadi topik perdebatan, baik di Eropa maupun Amerika.

Peran Rusia dalam mempromosikan queerfobia

Moskow memanfaatkan ketakutan atas terjadinya pelecehan seksual terhadap anak-anak untuk memberlakukan "undang-undang propaganda gay”. Pada tahun 2012, Kremlin menyebut serangan terhadap keluarga tradisional sebagai salah satu ancaman terbesar terhadap keamanan nasional Rusia. Negara-negara lain kemudian mengikuti langkah tersebut. Hungaria dan Polandia adalah dua contohnya, begitu pula undang-undang "Jangan katakan gay" di Florida di AS.

Oligarki Rusia menyediakan "dana awal” bagi kelompok-kelompok yang terus melakukan kampanye anti-LGBTQ di UE, kata Datta. Lebih dari seperempat dari sekitar 768 juta dolar dana yang dikucurkan untuk  mendanai kegiatan antigender di blok tersebut antara tahun 2009 dan 2018 berasal dari Rusia, tambahnya. Meskipun sanksi terhadap Rusia telah menyebabkan penurunan dana secara besar-besaran, Rusia terus mempengaruhi wacana hak asasi manusia Eropa mengenai isu-isu LGBTQ.

"Ada lebih banyak kebencian dan kecurigaan terhadap hak-hak (LGBTQ) dibandingkan lima atau sepuluh tahun yang lalu," kata Datta.

Meskipun ada peningkatan dalam penerimaan sosial dalam dekade terakhir, Eropa mungkin berada pada titik perubahan dalam hal hak-hak LGBTQ saat ini sebagai akibat dari kampanye anti-LGTBQ di Rusia.

Namun, tujuan utama Kremlin bukan untuk menargetkan kaum queer dan trans Eropa, melainkan untuk mengacaukan demokrasi di Eropa, kata Datta. Dia khawatir meningkatnya politisasi hak-hak LGBTQ dapat mengarah pada upaya untuk menghapuskan hak-hak itu, tergantung pada siapa yang berada di pemerintahan.

Sifat wacana yang beracun dan kemampuan untuk melakukan polarisasi mempersulit partai-partai politik baik sayap kiri maupun kanan untuk bekerja sama. Hal ini karena mereka semakin mengambil sikap garis keras terhadap berbagai isu, seperti halnya di media sosial.

Itu sebabnya sulit untuk mengatakan apakah peningkatan serangan ini merupakan cerminan dari reaksi balik, atau mungkin merupakan indikasi bahwa semakin banyak orang yang melaporkan insiden serupa.

Dan hak-hak LGBTQ lebih dari sekadar perlindungan terhadap individu queer dan trans dari diskriminasi, ujar advokat hak asasi manusia yang bermarkas di Brussel, Bonny, yang meyakini bahwa hal ini kini menjadi masalah keamanan nasional bagi negara-negara demokrasi liberal di Eropa. (ap/hp)