Kedaulatan Jepang Tergerus Oleh Kenaikan Permukaan Laut
6 Juni 2020Perubahan iklim diyakini akan merendam pulau-pulau kecil seiring naiknya permukaan air laut. Namun hal itu tidak menyurutkan niat Jepang melindungi klaim teritorialnya atas pulau-pulau di wilayah terluar perbatasan.
Pemerintah Tokyo saat ini sedang melancarkan kampanye diplomasi terhadap sejumlah negara jiran. Dengan Rusia, Jepang menuntut pengembalian kedaulatan atas pulau Sakhalin dan Kepulauan Kuril. Sementara kepada Korea Selatan, Tokyo menuntut penarikan mundur unit kepolisian dari Karang Liancourt yang terletak di antara kedua negara.
Jepang juga bersitegang dengan Cina dan Taiwan soal kepulauan Senkaku.
Namun upaya diplomasi itu terganjal kenaikan permukaan air laut yang kadung menenggelamkan sejumlah karang atau pulau kecilyang menjadi patokan geografis. Sejak tiga tahun terakhir, beberapa pulau menghilang dari permukaan laut.
Esanbe Hanakita Kojima misalnya baru dinamakan pada 2014, namun sudah menghilang awal 2018 silam. Pulau yang hanya setinggi 1,4 meter di atas permukaan laut itu diyakini tergerus oleh ganasnya perairan utara yang dingin dan membeku.
Pulau lain yang juga sudah lenyap adalah Suzume Kitakojima yang tercantum pada peta buatan tahun 1985, namun kini sudah menghilang.
“Nilai ekonomi pulau-pulau kecil ini sangat terbatas,” kata Akitoshi Miyashita, Guru Besar Hubungan Internasional di Universitas Sophia, Tokyo. “Tapi nilai politisnya bagi pemerintah dan kaum nasionalis sangat tinggi karena pulau-pulau itu ikut mendefinisikan sebuah negeri kepulauan.”
“Pemerintah tidak mampu berkompromi kalau sudah menyangkut wilayah kedaulatan Jepang,” imbuhnya kepada DW.
Kedaulatan di ujung tanduk
Untuk menjawab tantangan iklim, pemerintah saat ini sedang membetoni sebuah atol bernama Okinotorishima, 1.740km di selatan Tokyo. Karang seluas 10 meter persegi itu hanya muncul setinggi 16 sentimeter saat laut pasang. Namun keberadaannya menjamin akses terhadap Zona Ekonomi Ekslusif seluas 400.000 km per segi untuk dieksploitasi oleh Jepang.
Sebuah survei geologi mengungkap kawasan tersebut menyimpan harta karun berupa sumber daya maritim dan kandungan mineral yang berlimpah.
Namun negara jiran mengecam klaim tersebut karena berdalih, Konvensi Hukum Laut PBB mencantumkan bahwa “batuan atau karang yang tidak bisa menopang kehidupan manusia atau ekonomi secara mandiri tidak memiliki zona ekonomi ekslusif.”
“Isunya memang rumit,” aku Robert Dujarric, Guru Besar Hubungan Internasional di Temple University. Menurutnya faktor alam pula yang kelak menentukan.
“Cina, Korsel dan Taiwan bersikeras Okinotorishima cuma karang yang tidak bisa digunakan Jepang untuk memperluas ZEE-nya. Mereka menggugat ke PBB, tapi kisruh ini akan padam ketika permukaan air laut naik, seperti yang diprediksi, dan atol itu sepenuhnya terendam laut.”
Sebab itu pula Jepang mati-matian melindungi seonggok karang di tengah laut itu. “Potensi kerugian ekonomi akibat hilangnya akses terhadap sumber daya alam di kawasan ini akan sangat besar.”
Tekanan Cina
Belakangan Cina menjadi ancaman terbesar bagi klaim teritorial Jepang. Januari 2019 silam Tokyo melayangkan nota protes setelah kapal survei berbendera Cina terdeteksi melaut di sekitar atol Okinotorishima.
Kapal yang dioperasikan Otoritas Kemaritiman Negara itu dikhawatirkan sedang mengumpulkan data buat kepentingan eskplorasi sumber daya atau untuk merangkai peta bawah laut demi keperluan militer.
Kapal-kapal Cina bahkan mulai berani menjalankan survei di dalam wilayah teritorial Jepang, seperti dilaporkan harian Yomiuri yang mengutip sumber dari pemerintahan. Setidaknya tiga kapal survei Cina kedapatan mengumpulkan data di dalam wilayah yurisdiksi Jepang.
Menurut Dujarric, kedua negara “menjalankan strategi yang berbeda.” Ketika Jepang menggerrakkan mesin diplomasi, Cina “bertindak lebih agresif dengan mengirimkan kapal penjaga pantai ke wilayah negara lain.”
Kekhawatiran terbesar adalah eskalasi konflik jika Cina bersikeras mempertahankan klaimnya.
rzn/yp