Jatam: Ormas Keagamaan Boleh Kelola Tambang? Rawan Konflik!
7 Juni 2024Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara resmi diteken Presiden Jokowi.
Aturan itu menuai kritik sebab mengizinkan badan usaha organisasi masyarakat atau ormas keagamaan mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
DW mewawancarai Ketua Divisi Hukum dan Kebijakan Jatam, M. Jamil, yang menegaskan tidak ingin sejarah organisasi keagamaan yang "penuh dengan cerita pengorbanan serta niat mulia, dijungkir balik menjadi pihak atau aktor utama perusakan lingkungan."
Berikut wawancara selengkapnya:
DW Indonesia: Bagaimana respons Jatam terhadap PP Nomor 25 Tahun 2024?
M. Jamil: Sebenarnya wacana organisasi kemasyarakatan (ormas) dapat mengurus perizinan termasuk tambang sudah muncul empat bulan sebelum Pemilu 2024. Ada di Perpres Nomor 70 tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi. Perpres ini diteken oleh Presiden Jokowi. Di pasal 2 dikatakan bahwa satgas investasi memberikan fasilitas kemudahan perizinan berusaha bagi BUMN, BUMD, dan ormas. Jadi sudah disebutkan di situ.
Ternyata, dalam Pemilu 2024 yang menjadi pemenang (wakil presiden) adalah anak kandung Presiden Jokowi. Saya kira, beberapa orang yang terkait dengan presiden juga menjadi pemenang di Pileg baik DPR maupun DPD.
Sekarang, kurang lebih 5 bulan menjelang Pilkada, Presiden Jokowi meneken PP Nomor 25 Tahun 2024 yang secara spesifik mengatur tata cara proses pemberian perizinan kepada ormas. Kenapa ini diteken? Karena ketika menggunakan Perpres Nomor 70 Tahun 2023, itu tidak bisa menjadi dasar atau legitimasi untuk pengambilan keputusan pemberian izin, harus dengan PP.
Dalam PP itu disebutkan bahwa organisasi kemasyarakatan, untuk meningkatkan kesejahteraan. Tapi saya kira kalimat itu hanya menjadi stempel pembenaran saja untuk ormas keagamaan untuk mendapatkan izin. Karena yang terjadi dalam praktik selama ini ternyata terbukti tata kelola pertambangan kita “bocor“ ke mana-mana yang pada akhirnya gagal menciptakan kesejahteraan rakyat padahal itu merupakan mandat konstitusi.
Masalah seperti apa yang rawan muncul jika PP ini dijalankan?
Persoalannya adalah di kalimat “dilakukan secara prioritas” di mana pemberian izin usaha pertambangan kepada ormas ini diberikan secara prioritas.
Izin tambang yang bisa diberikan kepada ormas keagamaan ini khusus. Namanya “Izin usaha pertambangan khusus" yang merupakan bekas wilayah Perjanjian Karya Kontrak Pertambangan Batubara (PKP2B).
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Sementara, kalau kita lihat regulasinya yang bisa mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) secara prioritas itu berdasarkan UU Minerba hanya ada dua, yaitu BUMN dan BUMD. Itu tercantum dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020.
Nah, bagaimana kalau dia bukan BUMN dan bukan BUMD, atau dalam hal ini swasta? Swasta wajib mengikuti lelang. Di ayat empat dikatakan bahwa badan usaha swasta yang ingin mendapatkan IUP khusus akan dilaksanakan dengan cara lelang. Pertanyaan kita, ormas ini badan usahanya apakah swasta, BUMN atau BUMD?
Tentu. dalam konteks ini kita bisa melihat ormas bukan BUMN dan bukan BUMD, berarti (ormas masuk kategori) swasta. Yang menjadi persoalan adalah kata prioritasnya. Apakah makna prioritas di PP Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan PP Nomor 96 Tahun 2021 ini adalah tanpa melalui lelang? Kalau begitu maknanya, artinya ada masalah hukum yang luar biasa sedang berproses dan terjadi.
Masalahnya PP yang derajatnya lebih rendah dibanding UU ternyata bertentangan dengan UU atau aturan yang lebih tinggi di atasnya secara teori. Ini sesuatu yang tidak dapat dibenarkan.
Kenapa? Karena aturan turunan itu mestinya hanya sebagai pengaturan lanjutan bukan membuat norma atau ketentuan baru yang ternyata tidak sejalan dengan aturan yang ada di atasnya, dalam hal ini UU Minerba. Itu yang kami lihat potensi masalahnya.
Menurut Anda, apakah badan usaha ormas keagamaan punya kapasitas untuk mengelola tambang?
Kita tahu ormas keagamaan ini punya sejarah panjang dan punya tujuan pendirian masing-masing. Kalau di ormas keagamaan sudah tentu dan dapat dipastikan kapasitas serta kemampuan terbaiknya di bidang keagamaan. Jika kemudian ternyata dia punya badan usaha, saya kira tidak jauh-jauh dari bidang yang menjadi keahlian utamanya yaitu bidang pengetahuan, keilmuan, dan keagamaan.
Pertanyaannya, bagaimana kalau tambang? Bicara kapasitas, dalam praktik hari ini, kita melihat ada begitu banyak usaha pertambangan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak kompeten atau justru sengaja tidak kompeten untuk memaksimalkan laba.
Terjadi penggusuran masyarakat adat, terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan yang memiskinkan warga lokal. Ternyata ada lubang-lubang tambang yang tidak direklamasi. Anak-anak meninggal jatuh tenggelam di lubang tambang batu bara. Misanya terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur.
Yang ingin sebenarnya kami tekankan di sini adalah saat kita bicara tentang tambang, sebenarnya selain bicara soal punya kapasitas atau tidak, yang lebih penting adalah watak industrinya. Watak industri tambang ini tidak akan berubah, dan tidak akan hilang watak destruktifnya meskipun berganti pengelola.
Siapa pun pengelolanya, wataknya akan tetap sama. Dalam studi kami di Jatam, kami menemukan bahwa watak industri tambang itu akrab dengan yang pertama, korupsi perizinan. Makanya ada mekanisme lelang untuk meminimalisir sebetulnya terjadi korupsi perizinan. Akan tetapi kalau dia (masuk pihak) prioritas bisa saja nanti muncul “state capture corruption” di situ.
Misalnya saya pemberi izinnya, Anda ormas keagamaan, maka saya kasih izin prioritas tambang. "Silakan saja karena Anda diprioritaskan." Setelah saya menyerahkan izin, sebelum saya pergi saya bilang "bulan depan saya mau 'nyapres' nih, itu saja infonya." Artinya, ruang transaksi itu luar biasa besar ketika diprioritaskan ormas keagamaan ini.
Lalu yang kedua, watak selanjutnya dari karakteristik tambang apalagi batu bara, karena yang diberi prioritas izin untuk ormas khusus batu bara. Nah, itu akrab dengan kekerasan. Kenapa? Ketika perizinan tambang terbit dengan proses yang koruptif, maka tentu saja masyarakat akan kaget “Kok tiba-tiba kebun, dan ruang hidup berubah jadi wilayah tambang?”
Kaget. Maka pasti melakukan penolakan karena memang mereka tidak pernah diajak bicara sejak awal. Karena prosesnya koruptif, ketika mereka menolak akan kental sekali mereka direpresi. Biasanya menggunakan aparatus kekerasan. Contoh kasus konflik yang terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Menurut saya itu contoh yang paling sempurna ... Bisa kita bayangkan kalau ternyata pemilik wilayah tambang ini adalah salah satu ormas keagamaan. Artinya, benturan atau masa depan tercetusnya konflik horizontal itu besar sekali.
Pesan Jatam untuk ormas keagamaan yang sekarang berpeluang mengelola tambang dengan PP baru ini?
Pesan kami bagi ormas keagaman yang pertama, PP Nomor 25 jangan dilihat sebagai sebuah ‘anugerah‘ karena setelah kami melakukan riset dan kajian terhadap substansi dari PP ini, justru lebih banyak mudharat dibanding manfaatnya bagi ormas keagamaan. Apa itu? Ormas keagamaan akan jadi lampu sorot baru dalam peta konflik pertambangan.
Yang kedua, kami sudah periksa seluruh korban pertambangan batu bara di republik ini yang terhubung dengan Jatamnas dan itu semua umat beragama, bahkan beberapa di antaranya terhubung langsung dengan ormas keagamaan. Bahkan sebagian di antara mereka itu adalah pengurus ranting dari ormas keagamaan. Artinya bisa saja akan berperang dengan anggotanya sendiri.
Yang ketiga, kami melihat bahwa potensi ormas keagamaan digempur atau diserang oleh pihak-pihak korporasi baik BUMN, BUMD atau swasta, itu besar sekali untuk dilakukan upaya legal maupun non legal.
Kenapa? Karena wilayah yang diperebutkan adalah wilayah bekas kontrak batu bara (PKP2B) yang notabene selama ini dikuasai oleh tambang-tambang raksasa yang punya sumber daya yang lengkap seperti keuangan terorganisir, tim hukum yang terorganisir, ahli dan sebagainya, yang bisa saja mereka masih mau mengelola wilayah itu juga, jadi akan diserang.
Lalu yang keempat, kita melihat implikasinya ke depan izin tambang yang didapatkan oleh ormas ini bisa dibatalkan segera. Kenapa? Karena dia cacat normatif, cacat hukum.
PP ini bertentangan dengan dua undang-undang berdasarkan kajian kami di Jatam. Yang pertama, itu bertentangan dengan UU Minerba karena jadi prioritas artinya tidak lelang.
Yang kedua, itu bertentangan juga dengan UU Ormas kalau kita baca di Pasal 5 huruf e, ada salah satu ketentuan yang menarik bahwa tujuan ormas didirikan adalah untuk konservasi sumber daya alam dan kelestarian lingkungan.
Nah, kalau kemudian dia (terlibat bisnis) tambang, saya kira itu berbanding terbalik. Karena dalam studi kami, tidak ada pertambangan batu bara yang ujungnya adalah melestarikan lingkungan dan mengkonservasi sumber daya tambang.
Sehingga kami justru menyerukan kepada seluruh ormas keagamaan atau termasuk Pak Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintahan untuk meninjau ulang PP Nomor 25 Tahun 2024 agar dibatalkan karena menimbulkan keriuhan dan kekacauan publik yang luar biasa.
Saya secara pribadi dan kami Jatam secara kelembagaan tidak ingin sejarah organisasi keagamaan yang kita kenal, dan kita pelajari dari buku-buku sejarah yang penuh dengan cerita pengorbanan serta niat mulia kemudian dijungkir balik menjadi "kita kenang sebagai pihak atau aktor utama perusakan lingkungan." Itu yang tidak kita inginkan. (mel/ae)
Wawancara untuk DW Indonesia dilakukan oleh Iryanda Mardanuz, ditulis oleh Melisa Lolindu dan telah diedit sesuai konteks.