Jalur Dagang Baru Janjikan Peran Sentral bagi Negara Teluk
22 September 2023Bagi Menteri Investasi Arab Saudi, Khalid al-Falih, rencana pembangunan jalur perdagangan antara India dan Eropa melalui Timur Tengah bernilai setara dengan jalur sutera dan jalur rempah sekaligus, kata dia dalam sebuah forum investasi pada pertengahan September lalu di New Delhi, India.
Dalam Konferensi Tingkat tinggi G20, Amerika Serikat, Uni Eropa, India, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan sejumlah negara anggota lain sepakat membangun koridor kereta, pelabuhan dan bandar udara, serta jejaring digital dan energi antara ketiga wilayah. Nantinya, koridor itu akan membentang sepanjang 4.800 kilometer.
Rencananya, jalur timur akan menghubungkan India dengan negara-negara Teluk, sementara jalur utara menghubungkan Timur Tengah dengan Eropa. Penandatanganan Nota Kesepahaman akan dilakukan oleh semua negara yang terlibat dalam waktu dekat.
Proyek tersebut bernilai "historis," kata al-Falih, karena melibatkan ragam proyek di sektor energi, lalu-lintas data, sumber daya manusia atau jalur penerbangan. Menurutnya, semua negara yang terlibat "disatukan oleh sikap dan pandangan yang sama."
Lebih dari sekedar aliansi dagang
Wakil penasehat keamanan nasional AS, Jon Finer, meyakini proyek tersebut akan menguntungkan negara berpenghasilan menengah dan rendah di kawasan. Adapun Timur Tengah akan bernilai semakin penting dalam perdagangan dunia.
Finer mengisyaratkan betapa kesepakatan tersebut melampaui kepentingan ekonomi. "Kami punya satu kepentingan di timur Tengah, yang sejak hari pertama berusaha diupayakan oleh pemerintahan ini, yang fokus pada deeskalasi berbagai konflik yang masih berlangsung," imbuhnya, merujuk pada ketegangan antara Washington dan Arab Saudi.
"Melalui koridor dagang, Gedung Putih berharap bisa menyaingi proyek jalur sutera abad 21 yang sedang dibangun Cina", kata Christian Hanelt, pakar Timur Tengah di Yayasan Bertelsmann. Menurutnya, AS berusaha membujuk negara-negara di Timur Tengah untuk ikut serta dan dengan begitu mempertahankan kemitraan yang ada.
"AS ingin mencanangkan tatanan geostrategis baru melalui koridor perdagangan, yang ikut mengintegrasikan Timur Tengah," ujarnya kepada DW.
Bukan Barat atau Timur
"Namun ambisi itu bukan perkara mudah", imbuh Hanelt. Karena negara-negara di kawasan bertindak sesuai kepentingan masing-masing. "Mereka ingin melihat keuntungan apa yang didapat dari konfrontasi antara Barat melawan Rusia dan Cina. Sebab itu, negara-negara Barat harus membuat penawaran yang menjanjikan untuk mempertahankan dukungan mereka."
Kesulitan lain adalah kepentingan negara-negara di kawasan untuk mendiversífikasi relasi diplomatik. "Arab Saudi misalnya ingin meningkatkan kerja sama militer dengan AS dan Israel. Pada saat yang sama, Riyadh juga menambah ekspor minyak ke Cina dan India."
Pendapat senada dikemukakan Markus Schneider, dari Yayasan Friedrich-Ebert di Beirut. Riyadh dan Abu Dhabi tidak lagi berpikir dalam paradigma blok perang dingin, melainkan membuka diri ke segala arah. "Mereka menjaga relasi dengan Washington dan Beijing. Kini India mendekat dan juga Eropa," papar Schneider.
Sasaran kebijakan ini adalah membuat Timur Tengah sebagai kancah perebutan pengaruh bagi adidaya dunia. "Dengan begitu, pewaris tahta Saudi bisa menjadi figur sentral politik internasional, sebagai satu-satunya orang yang bisa berkomunikasi dengan Biden, Xi Jinping, Modi, Putin dan Ursula von der Leyen pada saat yang bersamaan", tegasnya."
Kemitraan di tengah ketidakpastian
Karakter lunak keanggotaan serikat dagang yang baru ini mempermudah masuknya negara-negara baru, begitu menurut analisa situs online Timur Tengah, al Monitor. Hal ini merupakan sebuah keberhasilan lobi Washington. "Karena alternatif ini memaksa negara mitra seperti negara Teluk dan India untuk tidak mengambil keputusan ya atau tidak," tulis al-Monitor.
Kelonggaran itu boleh jadi dipicu ketidakpastian politik dan ekonomi yang menguat. "Penguasa Teluk tidak lagi yakin apakah mereka bisa mengandalkan Gedung Putih. Jika tokoh seperti bekas Presiden Donald Trump berkuasa, haluan politik di Washington akan kembali berubah. Mereka sebabnya ingin bersiap menghadapi kemungkinan tersebut," kata pakar Timur Tengah Hanelt.
Selain itu, negara-negara di kawasan juga menghadapi tantangan ekonomi masa depan. "Bagi mereka, transisi menuju energi terbarukan adalah tantangan besar. Untuk itu mereka membutuhkan kerja sama dengan Eropa dan sebabnya ingin memperdalam kerja sama."
rzn/as