Indonesia Dalam Pusaran Dua Wajah Fundamentalisme
17 Agustus 2015Revolusi kita adalah antara lain menentang imperialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya. Imperialisme apapun dan imperialisme manapun, kita kritik, kita tentang, kita gasak, kita hantam. Meskipun demikian, Revolusi kita tidak ditujukan untuk memusuhi sesuatu bangsa yang manapun juga. Kita mengulurkan tangan persahabatan kepada semua bangsa di dunia ini, untuk memperkokoh kesejahteraan dunia, dan memperkokoh perdamaian dunia.
Soekarno, Penemuan Kembali Revolusi Kita(1)
Mukadimah
Masih basah dalam memori kita. Dengan suara yang berapi-api Bung Karno dalam salah satu pidatonya pernah mencanangkan tujuan kita bernegara tidaklah untuk satu windu, tidak untuk seribu windu, melainkan untuk selama-lamanya.(2) Namun jika boleh jujur, nada optimistis Bung Karno tersebut telah kehilangan apinya. Kita, dengan sengaja atau tidak telah memadamkannya. Dalam rentang waktu yang tak pendek, 70 tahun setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, Indonesia belum sungguh-sungguh merdeka. Negeri ini masih berada dalam pusaran malapetaka sosial yang tak berkesudahan. Kemiskinan, korupsi, lemahnya penegakan hukum, penjarahan kekayaan alam oleh perusahaan-perusahaan multi nasional, hingga ancaman fanatisme golongan, etnis maupun agama, menjadi ancaman serius atas eksistensi Indonesia.
Tulisan ini, yang inspirasi utamanya ditimba dari gagasan utama Bung Karno, ingin memperingati 70 tahun kemerdekaan Indonesia dengan semangat dan cita-cita Bung Karno. Dengan mencoba menggali kembali apa sesungguhnya yang menjadi tujuan bernegara Indonesia sebagaimana dibayangkan oleh para Founding Fathers republik ini. Menemukan kembali alasan-alasan utama yang memungkinkan dan yang tak memungkinkan kelanjutan eksistensi Indonesia.
Dengan tidak bermaksud menyederhanakan berbagai persoalan yang tengah mendera, setidaknya penulis melihat ada dua ancaman serius yang tengah menggerogoti Indonesia: “fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama”.
Melalui kedua problem utama itulah kita akan mencoba meneropong dan mengurai silang sengkarut persoalan yang membelit Indonesia saat ini. juga melalui keduanya kita akan dibimbing menuju makna kemerdekaan kita.
Fundamentalisme Pasar (Neoliberal)
Hingga saat ini, penerapan kebijakan pasar bebas(3) yang didesakkan oleh Bank Dunia dan IMF, menunjukkan bahwa berbagai kebijakan tersebut terbukti telah merugikan mayoritas rakyat di negara-negara dunia ketiga, termasuk di dalamnya Indonesia. Krisis ekologis yang diakibatkan oleh pengerukan sumber daya alam yang tak mengindahkan kelestarian lingkungan, hingga upah murah bagi pekerja-pekerja Indonesia, menjadi akibat dari kebijakan neoliberal yang diterapkan di Indonesia. Sedemikian, sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan oleh Bung Karno, yang tersisa hanya barisan cerita ratapan duka anak negeri yang tak mendapatkan proteksi dari negaranya. Mereka hidup terlunta-lunta sebagai buruh migran di negeri orang, dengan mempertaruhkan keluarga bahkan nyawanya.
Ini yang menjadi tantangan Indonesia ke depan, untuk berani mengambil sikap politik luar negeri yang dianutnya, yaitu politik bebas aktif agar keluar dari jerat jejaring kapitalisme global. Aparatus negara kita mesti insyaf, paradigma pasar bebas yang tengah dipromosikan oleh IMF dan Bank Dunia terbukti tidak menyejahterakan kecuali hanya sekelompok kecil orang yang menguasai aset hampir seluruh penduduk dunia. Sebagaimana diungkapkan oleh David Harvey(4), ciri utama dari jalan pikiran neoliberal terletak pada asumsinya bahwa pasar dan perdagangan bebas akan menjamin terciptanya kebebasan individu, dan asumsi (lebih tepatnya ilusi) inilah yang terus didiktekan AS dan negara-negara utara terhadap negara-negara lainnya.
Apa yang ingin terus diperjuangkan oleh rezim ekonomi global (termasuk di dalamnya AS dengan kekuatan militernya di Timur Tengah dan bisa juga dipraktikkan di Indonesia) tak lain adalah terbentuknya suatu aparatus negara yang misi utamanya memfasilitasi terciptanya kondisi-kondisi yang kondusif bagi jalannya akumulasi kapital, yang menguntungkan baik kapitalis dalam negeri maupun asing. Lebih-lebih jika ditilik lebih lanjut, pasar bebas hanya bisa menilai sesuatu dan barang-barang sejauh itu menguntungkan atau memiliki nilai tukar. Manusia dinilai sejauh itu menguntungkan. Pepohonan di hutan mempunyai nilai sejauh itu bisa diperdagangkan.
Skemanya, para perumus kebijakan di bank-bank pembangunan multilateral membuat perencanaan dengan cara melakukan konsultasi dengan para bankir dunia pertama dan para elit dunia ketiga. Kebijakan-kebijakan mereka lebih memperkokoh (reinforce) kemiskinan ketimbang mengentaskannya. Pengucuran sejumlah besar uang ke tangan para elit lokal semakin menyempurnakan posisi kaum minoritas yang berkuasa (ruling minority) untuk mengukuhi kekuasaan mereka dan memberangus gerakan sosial yang menuntut perubahan.
Untuk membuktikan bahwa ketimpangan yang diciptakan oleh neoliberalisme, kita bisa melihat berbagai data yang melimpah, dimana ketimpangan tidak hanya terjadi di negera di luar negera-negara kapitalis, tapi juga di Amerika, sebagai salah satu promotor neoliberalisme dunia.
Dalam Journal of Economic Perspective, Vol. 14, #2, Musim Semi 2000, James Poterba mengungkapkan bahwa di Amerika 5% penduduk terkaya memiliki 81,9 persen saham perusahaan, dan menguasai 57,4% aset bersih seluruh penduduk Amerika.(5)
Pada tahun 1980, tingkat penghasilan rata-rata pemimpin eksekutif korporasi besar Amerika senilai dengan 42 kali lipat besarnya penghasilan rata-rata kaum buruh di sana. Pada tahun 1999, pertumbuhan yang digerakan oleh pasar kian memperparah ketimpangan hingga mencapai suatu titik dimana penghasilan rata-rata para pimpinan eksekutif (Chiefs of Executive Officer = CEO) mencapai 475 kali lipat dari penghasilan rata-rata kaum buruh.(6)
Berdasar data Institute for Policy Studies, ternyata para pemimpin eksekutif, CEO, dari berbagai organisasi di Amerika, tahun 2002 rata-rata menerima gaji sebesar 517 kali lebih besar ketimbang para buruh di bagian produksi, yang mana gaji rata-rata tersebut selalu meningkat tiap saat. Sementara, laporan Economic Policy Institute tahun 1999 mengungkapkan, bahwa dalam 25 tahun terakhir, upah rata-rata buruh per jam sebenarnya merosot hingga 10 persen dari upah riil. Berkait dengan hal tersebut, perihal kemiskinan global, Program Pembangunan PBB (United Nations Development Program=UNDP) tahun 1999, dalam Human Development Report, membeberkan fakta bahwa kesenjangan (gap) di dalam dan di antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin di seluruh dunia senantiasa semakin lebar. Diterangkan dengan tegas dari munculnya kesenjangan yang semakin lebar itu adalah banyaknya ketidakadilan di dalam sistem perdagangan global.(7)
Bagaimana dengan ketimpangan di Indonesia? Berdasarkan hasil survei yang diolah dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2014 dan Majalah SWA 2013, gaji CEO dan direksi tertinggi di Indonesia mencapai Rp 7,97 miliar per bulannya. Besaran itu 3.268 kali lebih tinggi ketimbang pendapatan level pekerja. Jika dibandingkan dengan CEO atau direksi 10 tertinggi, pendapatan level pekerja lebih rendah 1.268 kali, dan ketimbang rata-rata gaji CEO atau direksi 100 tertinggi mencapai 367 kali lebih rendah.(8)
Pada titik ini kita teringat kembali pada Bung Karno ketika merumuskan Pancasila sebagai dasar negara dalam pidatonya di BPUPKI 1 Juni 1945. Ia dengan lantang menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia harus diposisikan sebagai Ibu Pertiwi yang memangku rakyat sebagai warga negaranya. “Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan?”(9)
Jangankan pada kapitalisme multinasional, bahkan pada kapitalisme bumiputra pun Bung Karno mengingatkan:
“…kepada alap-alap kapitalis bangsa sendiri pun saya lantunkan penegasan bahwa sesuai dengan Pasal 33 Udang-Undang Dasar 1945 Ayat 2 dan Ayat 3: cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, akan dikuasai oleh Negara, dan tidak dipartikelirkan!”(10)
Fatalnya, yang beroperasi kemudian adalah kapitalisme liberal, setelah adanya undang-undang penanaman modal asing yang dibuat rezim Soeharto, dibarengi dengan gagalnya reformasi agraria yang dicanangkan oleh Bung Karno tahun 60-an sebagai agenda sosialisme Indonesia.(11) Hingga saat ini Indonesia tiada putus-putusnya tersandung berbagai problem sosial turunan dari gagalnya negara mengontrol laju kapitalisme di Indonesia. Seperti berbagai konflik agraria dan sumber daya alam, dimana banyak terjadi kekerasan dan pelanggaran HAM selama kasus berjalan. Berdasarkan data HuMa yang mencengangkan, entitas negara menjadi pelanggar HAM terbesar dengan frekuensi keterlibatan 54%, kemudian institusi bisnis dengan 36% dan individu berpengaruh sebanyak 10%.
Pendeknya, kebebasan yang dipromosikan oleh neoliberalisme tak lebih dari kebebasan semu yang hanya mengakomodasi kepentingan-kepentingan dari para pemilik hak milik, dunia bisnis, korporasi multinasional dan kapital keuangan, yang ujungnya adalah secara perlahan menggeser cita-cita Indonesia yang berkeadilan, dari koperasi menjadi korporasi.
Fundamentalisme Agama
Hampir semua di antara kita sepakat, Indonesia, selain negeri yang kaya dengan sumber daya alam, juga dianggap sebagai taman bunga bagi tumbuh mekarnya keragaman agama dan budaya. Setidaknya ada dua hal yang memungkinkan tumbuh kembangnya keragaman di Indonesia. Yaitu jiwa inklusif dan keramahtamahan. Keduanya telah menjadi watak manusia Indonesia selama berabad-abad lamanya. Sehingga, dengan wataknya yang terbuka dan ramah tersebut, manusia Indonesia sangat adaptif dengan berbagai paham keagamaan, gagasan, dan kebudayaan baru yang dibawa serta oleh para pelancong yang datang ke tanah air Indonesia.
Inklusifitas dan keramahtamahan tak bisa dipungkiri, di satu sisi telah menjadi nilai luhur Indonesia. Karena melalui inklusifitas dan keramahtamahan tersebut kebudayaan Indonesia mampu untuk terus berdialog dengan kebudayaan-kebudayaan baru di luar dirinya. Dalam posisi ini, melalui dialog secara berkelanjutan dengan kebudayaan-kebudayaan baru tersebut, --termasuk di dalamnya paham keagamaan—memberi sumbangsih bagi proses kebudayaan Indonesia untuk menemukan dirinya. Sebagaimana seorang pribadi, jiwa Inklusif dan ramah tak pelak merupakan prasyarat utama bagi seorang subjek untuk menemukan dirinya di tengah-tengah kehidupan sosial. Seperti itulah penulis kira watak kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan-kebuadayaan baru yang masuk diserap, dielaborasi dan melalui tahapan itu selanjutnya akan dilahirkan kebudayaan dengan wajah yang unik dan baru. Proses penemuan jati diri melalui dialog dengan ‘yang lain' inilah yang menjadi kunci keragaman dan kekayaan budaya Indonesia. Pengamat kebudayaan sering menyebutnya sebagai kebudayaan hybrid. Dengan kata lain, otentisitas kebudayaan Indonesia terletak pada in-otentisitas-nya. Atau bisa dikatakan juga, kebudayaan Indonesia lahir dari interaksi dan pertukaran berbagai kebudayaan dunia.
Sehingga tak heran jika kita mengamati kebudayaan Indonesia maka segera akan kita temukan di dalamnya unsur-unsur Arab, Persia, China dan India. Sebagai contoh, dengan sangat cerdas dan apik para walisongo penyebar Islam di Jawa bisa memberi perspektif dan corak lain atas tradisi wayang kulit yang India-sentris menjadi berwajah Islam Jawa.
Pertanyaan yang segera mendera adalah, jika benar adanya, inklusifitas dan keramahtamahan yang menjadi watak utama manusia Indonesia, kenapa akhir-akhir ini, khususnya pasca orde reformasi, kekerasan agama semakin menguat. Kenapa fasisme relijius kian hari kian meninggi?
Tentu saja tidak mudah untuk menjawab fenomena ini. Apalagi jika, fenomena kekerasan berlatar agama tersebut hanya dilihat sebatas gejala kegagalan memahami agama sebagaimana lumrah kita dengar saat ini. Secara gegabah seringkali kita melihat naiknya gejala fanatisme beragama sebagai semata-mata problem agama. Bahwa kita menganggap para pelakunya telah keliru menafsir agama. Asumsi ini tak sepenuhnya keliru, namun jelas tidak tepat karena mengabaikan faktor-faktor lainnya, yang penulis kira jauh lebih utama ketimbang hanya faktor agama.
Dalam banyak kasus kekerasan di wilayah-wilayah yang menjadi kantong-kantong kelompok Islam kanan, seringkali kita temukan mereka berangkat dari kelompok masyarakat atau aktor-aktor akar rumput pelaku kekerasan yang rentan secara ekonomi. Yang tak lain adalah orang-orang yang tersingkir dari proses pembangunan. Jadi, melihat fenomena kekerasan beragama yang mulai marak pasca reformasi, selain karena menemukan momentum untuk mengartikulasikan pemahamaan keagamaan dalam keterbukaan demokrasi, juga ada faktor utamanya yang dipicu oleh disparitas ekonomi. Ini dampak dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang tidak pro kemiskinan, yang memicu kekecewaan dan ketidakberdayaan. Tepat pada sisi itulah kelompok Islam kanan, demikian umumnya pengamat menyebutnya, menemukan legitimasi perlawanannya dalam agama.
Bahkan penulis menduga, toleransi yang tengah digemakan di Indonesia masih sebatas pseudo toleransi atau quasi toleransi. Dimana jamak kita temukan pernyataan yang kontradiktif seperti: “kerukunan umat beragama akan terjaga dengan baik kalau yang mayoritas melindungi yang minoritas, sementara yang minoritas menghargai yang mayoritas”. Dengan cara berpikir semacam itulah kasus persekusi Syiah Sampang menemukan legitimasinya. Syiah boleh, asal menjadi amalan individual dan tidak boleh menyiarkan ajaran-ajarannya.
Anehnya, di tengah gegap gempita merayakan kebhinekaan, bahkan peneguhan Islam ramah sebagai Islam Nusantara, tak ada satu pihak pun yang merasa bertanggung jawab atas persekusi yang menimpa kelompok minoritas seperti Syiah Sampang dll.
Akhir Kalam
Ancaman kedua hal di atas menjadi serius, karena melalui fundamentalisme pasar atau beroperasinya paham neo-liberal, Indonesia tengah digerogoti kedaulatannya. Negara ada sejauh ia memberi jalan yang lapang bagi melintas batasnya perusahaan-perusahaan multinasional. Negara ada sejauh membiarkan kompetisi yang tak berimbang antara rakyat miskin dengan raksasa ekonomi global. Dengan demikian, kedaulatan yang dicanangkan oleh Soekarno menjadi ilusif bak fatamorgana yang secara riil tak pernah ada (tentu diluar kritik Bennedict Anderson atas konsepsi nasionlisme). Sementara fundamentalisme agama mengancam kebhinekaan Indonesia yang menjadi salah satu prasyarat terbentuknya Indonesia. Sejak semula Indonesia bukanlah negara hegemoni dengan satu identitas tunggal. Indonesia bisa kita pahami sejauh mengafirmasi kejamakan identitasnya. Dengan kata lain, ketunggalan identitas Indonesia berada pada kejamakannya, kebhinekaannya.
Apa yang bisa kita banggakan pada 70 tahun kemerdekaan Indonesia? Sebenarnya siapapun akan sulit menjawabnya dengan jujur. Bukan tidak ada. Namun kebanggaan itu tiap waktu dibuat luntur oleh carut marutnya kondisi Indonesia. Rakyat Indonesia telah lama menanggung kekecewaan, jauh melampaui kondisi di masa kolonial Belanda. Karena tepat di masa-masa yang seharusnya rakyat Indonesia menuai apa yang telah ditanamnya, justru tak mendapatkan apa-apa.
Birokrasi yang korup dan memperkaya diri sendiri masih merajalela di era reformasi. Silih bergantinya rezim di Indonesia, rakyat masih saja tak berubah nasibnya. Kekecewaan itu akibat jauhnya jarak antara harapan (das Sollen atau apa yang seharusnya terjadi) dengan apa yang secara nyata terjadi (das sein). Kita berharap, setelah selesai pemilu dan mendapatkan presiden baru, akan ada perubahan bagi carut marutnya tata kelola republik ini. Namun nyatanya, tidak ada perubahan selain makin menipisnya harapan.
Dengan melihat kondisi Indonesia dan konfigurasi peta ekonomi global saat ini, kita yakin presiden Jokowi tak akan banyak mengambil inisiatif untuk keluar dari tekanan kuasa kapital global. Kita tak perlu berandai-andai menganggap Jokowi seperti Evo Morales, atau Hugo Chavez. Tidak. Selain hanya akan makin mempertebal kekecewaan.
Jalan satu-satunya jika ini dianggap tidak terlalu semena-mena adalah memperkuat berbagai kekuatan tandingan dari organisasi internasional lainnya dan mencari alternatif baru dengan menciptakan institusi-institusi global baru, sebagaimana yang tercantum dalam International Forum on Globalization, yaitu diantaranya menciptakan International Insolvency court (ICC), menciptakan International Finance Oragnization (IFO) dibawah mandat dan pimpinan PBB, Menciptakan dana moneter regional (Regional Monetary Funds), hingga mengganti World Trade Organization (WTO).
Jika itu semua masih belum mungkin dilakukan, atau masih jauh dalam angan-angan, lebih-lebih ketika api revolusi dan semangat kemerdekaan Indonesia yang dikobar-kobarkan Bung Karno telah padam, maka tak ada salahnya kita belajar pada berbagai gerakan sipil dalam menentang kuasa kapitalisme global. Ada gerakan Living Democracy Movement (Jaif Panchayat) di India yang beranggotakan jutaan orang yang sangat militan dan berupaya memberdayakan masyarakat lokal melalui kontrol komunitas yang demokratis atas sejumlah sumber daya. Bahkan India mempunyai track record yang cukup signinifikan dalam mengusir korporasi yang mengekspolitasi hak-hak buruh, integritas budaya, atau sumber daya alam yang mereka miliki. Hal serupa juga terjadi di Filipina.
Di Kanada, ratusan organisasi telah bergabung dalam aliansi guna meneriakkan suatu agenda rakyat yang berupaya merebut kembali kontrol dari korporasi-korporasi internasional atas lembaga-lembaga pemerintah. Sementara di Chile, koalisi-koalisi dari berbagai kelompok lingkungan membentuk suatu gerakan yang kelak dikenal dengan Sustainable Chile, mencoba memutar balik haluan negara Chile yang neolib dan memperkukuh kembali kontrol demokrasi kerakyatan atas berbagai prioritas dan sumber daya nasional. Di Bolivia petani dan buruh bahu membahu menggagalkan privatisasi air. Dan yang telah banyak kita dengar dar Meksiko, dimana masyarakat suku Maya membangkitkan kembali spirit Zapata yang dipimpin oleh Subcomandante Marcos, membangun sebuah gerakan yang mengangkat hak-hak masyarakat lokal atas tanah dan sumber daya alam. Di Eropa daratan, para petani Perancis membangkitkan aksi perlawanan menentang berbagai aturan perdagangan yang cenderung menghancurkan petani rakyat dll.(12)
Sebelum mengakhiri refleksi sederhana ini, untuk mengingatkan kembali apa yang seharusnya dilakukan oleh segenap bangsa Indonesia --khususnya aparatus negara kita dihadapan kuasa kapital global--, penulis ingin mengutip pernyataan Bung Karno yang tandas di Amerika: We are neutral, but we are not sitting on the fence! We are not sitting on the fence!, kita netral tapi kita tidak duduk diatas pagar. Yang berarti bahwa politik bebas dan aktif yang dipilih Indonesia tak bisa dimaknai sebagai hanya duduk santai tak berbuat apa-apa, melainkan aktif.
Berikut kutipan lengkap penjelasan politik bebas aktif dan jiwa kemerdekaan, oleh Bung Karno:
“Kita aktif, kita berjuang! Aktif untuk apa? Berjuang untuk apa? Kita ikut serta aktif dalam perjuangannya umat manusia untuk mencapai “dunia baru” tanpa exploitation de l'homme par l'homme, exploitation de nation par nation. Kita tidak netral dan tidak dapat netral misalnya, dalam menghadapi imperialisme, kolonialisme, atau neo-kelonialisme. Kita tidak boleh membiarkan imperialisme, kolonialisme, atau neo-kolonialisme itu hidup, --kita harus aktif menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme. Kita tidak boleh membiarkan suatu bangsa merempas kemerdekaannya suatu bangsa lain, mengkolonisir atau meneo-kolonisir suatu bangsa lain. Kalau kita membiarkannya atau tidak menentangnya, atau lebih jahat lagi berpeluk-pelukan dengan imperialisme atau neo-imperialisme itu, maka apakah kita ini?? Apakah kita ini?? Kalau kita membiarkan imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme hidup terus, membiarkan ia mengungkung bangsa lain atau mengungkung bangsa kita sendiri atau merongrong bangsa kita sendiri, contain bangsa kita sendiri, maka kita ingkar, saudara-saudara, pada jiwa kemerdekaan kita, bahwa mengkhianati jiwa kemerdekaan kita itu, yang tertulis dalam Deklarasi Kemerdekaan dengan kata-kata yang begitu gilang-gemilang. Apa yang tertulis dalam Deklarasi Kemerdekaan? Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas bumi harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.(13)
Alhasil, kemerdekaan minus keadilan sosial dan kebhinekaan, artinya belumlah merdeka. Dan ingat, Indonesia tanpa keadilan sosial dan kebhinekaan tak lagi layak disebut Indonesia. Merdeka! Merdeka untuk selama-lamanya!
*Roy Murtadho, Anggota Redaksi Islam Bergerak dan aktif sebagai Litbang Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam
1) Pidato HUT Proklamasi 17 Agustus 1959, di Istana Negara, Senin, pukul 08.10 WIB. Lebih lanjut lih. Bung Karno, Demokrasi Terpimpin, Milik Rakyat Indonesia (Kumpulan Pidato), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 205.
2) Pidato HUT RI tahun 1953.
3) Penulis sengaja memakai istilah “Fundamentalisme Pasar” yang penulis anggap mewakili ciri-ciri utama Neoliberalisme, yang bisa diartikan sebagai free-marketism yang telah mendikte pemerintahan dunia ketiga, termasuk Indonesia, yang selama ini dipromosikan oleh aktor-aktor globalisasi semacam TNCs, Bank Dunia/IMF melalui kesepakatan yang dibuat di WTO.
4) Lih. David Harvey, Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis, Yogyakarta: Resist Book, 2009.
5) James Poterba, “Stock Markets Wealth and Cosumption”, Journal of Economic Perspective, Vol. 14) #2, Musim Semi 2000, penulis ambil dari Kevin Danaher, (10 Alasan Bubarkan IMF dan Bank Dunia), diterjemahkan oleh AB. Widyanta, Yogyakarta: Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas, 2005, hlm. 9.
6) Ibid., hlm. 11.
7) Lih. International Forum on Globalization, A Better World is Possible; Alternatives to Economic Globalization, Report Summary by Alternatives Committee of The International Forum on Globalization, 2002.
8) Di samping timpangnya pendapatan di Indonesia, jumlah pekerja wanita dan laki-laki di Indonesia pun juga tak kalah timpangnya. Data dari BPS 2014, porsi pekerja wanita kurang dari 40 persen dari total pekerja penuh waktu. Tidak hanya itu, dari sisi gaji, pekerja wanita lebih rendah 1,7 kali dari gaji pekerja pria. Dari sisi pendidikan, rata-rata sekolah perempuan lebih pendek ketimbang laki-laki dan juga lebih rendah ketimbang rata-rata wajib belajar. Secara keseluruhan, rata-rata lama sekolah perempuan hanya 7,9 tahun dan laki-laki hanya 8,6 tahun. Data penulis peroleh dari http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/03/25/376489/rasio-gini-indonesia-masih-sulit-ditekan, diakses pada tanggal 13 Agustus 2015.
9) Lih. Noer Fauzi Rachman, Panggilan Tanah Air, Tinjuan Kritis atas Porak-Porandanya Indonesia, Yogyakarta: Literasi Press, 2015, hlm. 29-30.
10) Opcit., Bung Karno, hlm. 189.
11) Sehingga land reform, yang jelas-jelas agenda politik borjuasi di tahun 1960-1965 dituduh sebagai agenda komunis yang berbahaya. Puncaknya, di tahun 1965-1966 terjadi pembantaian besar-besaran untuk membendung gerakan kiri di Indonesia.
12) Opcit., International Forum on Globalization.
13) Selengkapnya bisa dilihat pada pidato Bung Karno, jangan Sekali-Kali Meninggalkan ejarah (Never Leave History) dalam, Presiden Soekarno, Amanat proklamasi IV 1961-1966, Jakarta: Inti Idayu Press dan Yayasan Pendidikan Soekarno, 1986, hlm. 218.