Inayah Wahid Memaknai Merdeka dalam Pandemi
18 Agustus 2020Perayaan HUT ke-75 RI yang berlangsung secara sederhana di masa pandemi seharusnya menjadi ajang evaluasi dan refleksi, demikian menurut Inayah Wulandari Wahid, putri keempat Presiden RI KH Abdurrahman Wahid. Ia menyoroti masalah kesenjangan ekonomi, intoleransi, hingga sistem kesehatan yang menurutnya belum cukup baik.
DW Indonesia: Bagaimana memaknai kemerdekaan di tengah pandemi?
Inayah Wahid: memang ini 'kan sesuatu yang saya enggak akan bilang spesial, tapi sesuatu yang sangat berbeda. Karena enggak tahu mungkin 100 tahun sekali atau apa kita juga enggak tahu karena di tengah pandemi. Tapi saya rasa ini sebenarnya menjadi ajang yang baik untuk mengecek soal, kita ini sebenarnya sudah ada di tahap mana? Tadi saya ingat orasi kakak saya, Mbak Alissa (Wahid), tadi pagi yang menyebutkan, “sebenarnya kita arahnya sudah kemana? Betulkah kita sebenarnya sudah menuju arah yang kita inginkan atau sebenarnya jangan-jangan kita sudah enggak jelas arahnya sudah tersasar jauh."
Dalam sektor apa konteksnya? Ekonomi, sosial, politik, atau yang lainnya?
Saya rasa apa yang terjadi di pandemi ini, bukan hanya membuat kita semua jadi harus menghadapi problem baru. Tapi juga pada saat yang sama dan enggak hanya dalam skala personal tapi dalam skala yang besar, untuk menghadapi problem-problem yang selama ini belum kita selesaikan. Mulai dari ekonomi, kesenjagan ekonomi misalnya. Lalu, sistem kesehatan Indonesia yang kayaknya juga enggak cukup baik. Relationship pemerintah, negara dengan rakyatnya misalnya. Itu semua saya rasa itu jadi kelihatan saat pandemi ini.
Artinya ketika ada masalah seperti ini (pandemi), harusnya jadi refleksi sudah seberapa kuat dan seberapa satu kita sebagai bangsa Indonesia?
Betul, itu saya rasa harus jadi evaluasi dan refleksi kita, apalagi kemerdekaan tahun ini. Jujur saja saya termasuk yang melihat karena mungkin pandeminya terjadi pasca pemilu kemarin, menurut saya pemilu kemarin menyisakan banyak sekali perpecahan kemudian kelompok-kelompok yang bertikai. Ternyata pada saat pandemi tidak selesai. Pandemi yang bahkan bisa mengubah dunia bahkan bisa mengubah kondisi dunia hari ini, enggak bisa bikin kita kerja bareng, kerja sama dan fokus untuk menyelesaikan, I don’t know what will.
Seperti pertikaian masalah simbol di logo HUT RI. Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya?
Saya rasa ketika kita bilang kita inginnya intoleransi enggak ada lagi, itu panjang banget. Bayangan kita paling tidak intoleransi bukan menjadi sesuatu yang mainstream. Orang intoleran itu pasti akan ada. Pada kasus, misalnya salib di logo HUT RI ada banyak sekali orang-orang yang kemudian bertanya, “Mana sih salibnya?”. Saya sendiri berhari-hari melihat itu sambil nanya, “Ini sebelah mana sih salibnya?”. Apakah memang saya yang enggak mampu lihat atau sebenarnya memang jangan-jangan enggak ada, tapi diada-adakan? Kami 'kan sejauh ini dengan Gerakan Gusdurian dengan Wahid Foundation dengan berbagai macam gerakan sebenarnya membawa ke arah situ. Bagaimana toleransi tetap menjadi way of being-nya orang Indonesia dan intoleransi bukan menjadi sesuatu yang kemudian jadi marak.
Terakhir, apa harapan Anda untuk Indonesia di momen HUT RI?
Harapan saya sebenarnya adalah pascapandemi ini kita bukan hanya memiliki new normal semacam: “Pakai masker ke mana-mana atau bawa handsanitizer ke mana-mana.” Tapi jauh lebih besar dari itu, new normal yang kemudian diharapkan adalah kemudian bagaimana sikap atau tindakan yang kemarin-kemarin sebelum pandemi itu enggak dilakukan lagi yang kemudian membawa kita sebenarnya ke hari ini. Kondisi di mana sebenarnya Indonesia belum cukup baik dalam menangani pandemi ini dan kemudian ternyata banyak sekali persoalan-persoalan yang muncul. Misalnya, masalah ekologi atau kesenjangan ekonomi atau sistem kesehatan yang ternyata belum cukup lagi dan masih banyak lagi. Itu semua enggak akan terjawab misalnya dengan undang-undang yang kemudian jadi makin menyulitkan posisi masyarakat, kayak Omnibus Law atau UU Minerba.
Wawancara untuk DW Indonesia dilakukan oleh Prita Kusuma dan telah diedit sesuai konteks.