Hanya Sedikit Proyek Stimulus Ekonomi Ramah Lingkungan
18 Desember 2020Pemerintahan di 25 negara ekonomi utama, termasuk Indonesia, saat ini sedang meluncurkan paket stimulus ekonomi yang seluruhnya menelan dana senilai USD 12,7 triliun, belum termasuk dana stimulus 3,4 triliun yang sedang dibahas di senat AS. Tapi hanya tujuh negara yang memperhatikan lingkungan dan isu perubahan iklim dalam program-program stimulusnya, kata para peneliti dari Vivid Economics and Finance for Biodiversity, yang setiap tahun merilis Greenness of Stimulus Index (GSI).
Banyak negara justru memompa dananya ke sektor-sektor yang memiliki dampak besar pada emisi karbon dan kerusakan lingkungan, terutama pertanian, industri, energi, dan transportasi. Padahal justru program stimulus besar-besaran menjadi peluang baik untuk membangkitkan ekonomi hijau, sekaligus meningkatkan ketahanan global terhadap risiko iklim, kata para peneliti dalam laporan terbarunya.
Dari dana sekitar 13 triliun dolar itu, sepertiganya dibelanjakan langsung ke sektor-sektor yang memengaruhi emisi karbon dan keanekaragaman hayati, tetapi hanya sebagian kecil yang digunakan untuk proyek-proyek ramah lingkungan, yang diidentifikasi para peneliti sebagai "belanja hijau", dengan nilai hanya USD 567 miliar.
Program Stimulus Abaikan Alam dan Lingkungan
"Analisis kami tentang komitmen stimulus COVID-19 hingga saat ini menunjukkan bahwa investasi semakin memperkuat jalur ekonomi yang tidak berkelanjutan, yang mengakibatkan risiko tinggi aset yang terlantar, perubahan iklim yang dipercepat, dan terus menipisnya modal alam,” kata peneliti Vivid Economics, Jeffrey Beyer.
Dalam paket stimulus yang dianalisis, termasuk di Uni Eropa, pendanaan untuk tindakan yang dapat meningkatkan keanekaragaman hayati dan melestarikan ekosistem sejauh ini hanya mencapai sekitar USD 108 miliar, dibandingkan dengan USD 219 miliar yang terkait dengan polusi atau perusakan habitat.
Hanya beberapa pemerintahan dianggap berhasi meluncurkan paket dan kebijakan stimulus ramah iklim dan lingkungan, antara lain Kanada, yang indeksnya bergerak dari stimulus negatif lingkungan menjadi positif. Program stimulus Korea Selatan dan Inggris juga dinilai mendukung produksi dan penggunaan energi bersih. Vivid Econimics juga menilai paket kebijakan di Jerman, Swiss, Spanyol, dan Prancis positif untuk lingkungan.
Proyek stimulus di negara berkembang kurang pengawasan
Negara-negara berkembang dinilai sangat tergantung pada sektor intensif lingkungan, seperti pertambangan dan pertanian, dan sejauh ini gagal menjaga komitmen lingkungan karena kurangnya pengawasan peraturan. Negara-negara ini termasuk Cina, India, Meksiko, Afrika Selatan, Brasil dan Indonesia, kata Jeffrey Beyer.
Laporan Vivid Economics menyebutkan, jika pemerintah mengalokasikan 5% saja dari program stimulusnya saat ini ke dalam proyek-proyek "solusi berbasis alam”, seperti restorasi lahan gambut dan pertanian berkelanjutan, mereka dapat menciptakan 7 juta lebih banyak lapangan pekerjaan.
Jeffrey Beyer mengatakan, paket stimulus yang memelihara alam juga akan menghasilkan lebih banyak pertumbuhan ekonomi, dan bisa meningkatkan ketahanan terhadap cuaca ekstrim melalui hal-hal seperti pengendalian banjir yang lebih baik.
hp/ha (rtr)