Dedikasi Pastor di Flores Rawat Penderita Gangguan Jiwa
24 Desember 2021Perhatian Avent Saur kepada penderita gangguan jiwa berawal pada tahun 2014 ketika ia menjenguk seorang warga penderita gangguan jiwa di Desa Kurumboro di Ende Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kala itu ia merasa terenyuh ketika menyaksikan luka borok di tangan dan kaki warga itu karena tangannya telah dirantai dan kakinya dipasung begitu lama.
Warga sekitar memasungnya karena beberapa bulan sebelumnya ia membunuh seorang warga. Ia sempat ditangkap polisi, tetapi dilepaskan karena gangguan jiwa yang diidapnya. Pemasungan ini terpaksa dilakukan agar tidak ada lagi warga yang menjadi korban.
Avent memahami alasan itu, tapi ia berpendapat, warga tidak seharusnya mengabaikan luka penderita gangguan jiwa. Avent berharap, lukanya bisa segera diobati.
"Tidak semestinya dia dipasung hingga kondisi luka borok seperti itu. Kalau tidak segera ditangani, ia bisa meninggal dalam pasungan. Keadaan gangguan jiwanya sudah tidak ditangani, kemudian ditambah lagi keadaan fisiknya yang luka borok itu," Pastor Avent bercerita saat dihubungi DW Indonesia.
Setelah warga dan keluarga dibujuk, pasungan itu akhirnya dilepas. Orang itu kemudian diobati, baik luka fisiknya maupun kondisi psikisnya.
Pemahaman keliru tentang gangguan jiwa
Sejak pengalamannya itulah Avent Saur mengabdikan hidupnya dengan mengurus penderita gangguan jiwa dan mengedukasi masyarakat tentang gangguan kesehatan mental di Flores, di tengah kegiatan sehari-hari sebagai biarawan Katolik di bawah Kongregasi Serikat Sabda Allah.
Fasilitas kesehatan jiwa yang masih sangat minim dan pemahaman masyarakat yang keliru terhadap penderita gangguan jiwa masih menjadi tantangan, menurut pastor berusia 39 tahun ini.
"Orang misalnya masih sering menyebut gangguan jiwa itu karena setan, roh jahat, kesalahan adat, kurang iman, atau hukuman nenek moyang. Maka orang-orang sering pergi ke dukun dan pendoa," kata Avent kepada DW Indonesia.
Pemahaman-pemahaman keliru seperti itu terus diyakini karena banyak penderita gangguan jiwa belum tersentuh pertolongan medis. Fasilitas kesehatan jiwa masih sulit diakses, dari 22 rumah sakit umum di NTT, hanya dua rumah sakit yang menyediakan poliklinik kesehatan jiwa. Fakta ini disesalkan oleh Avent. Ia berharap agar lebih banyak rumah sakit dan puskesmas di NTT yang bisa menyediakan fasilitas kesehatan jiwa.
"Kita berjuang, selain memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pengertian gangguan jiwa dan cara menanganinya, kita juga mengadvokasi kepada negara supaya menyediakan layanan," kata Avent.
Di NTT, hingga pertengahan 2021 jumlah orang dengan gangguan jiwa mencapai 5.555 orang, menurut Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA (Narkoba, Psikotropika, dan Zat Adiktif), Kementerian Kesehatan. Sekitar 4.300 di antaranya masuk kategori berat.
Sementara di Indonesia, perawatan gangguan jiwa juga masih terkonsentrasi di Jawa. Untuk 270 juta penduduk, Indonesia hanya memiliki 3.451 psikolog klinis yang sebagian besar terkumpul di Pulau Jawa. Ada 431 psikolog klinis di Jakarta dan 533 psikolog klinis di Jawa Barat, sedangkan di NTT jumlahnya hanya 11 orang per Desember 2021, menurut data Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia.
Sedangkan jumlah psikiater di Indonesia hanya 773 orang atau 1 dibanding 323 ribu, menurut data Kementerian Kesehatan. Avent mengatakan, NTT hanya memiliki 5 psikiater, yakni 4 di Kupang dan 1 di Maumere.
Berdayakan masyarakat untuk rawat penderita gangguan jiwa
Berangkat dari keprihatinan itu, di tahun 2016 Avent lantas mendirikan Kelompok Kasih Insanis (KIK) untuk warga yang ingin ikut menolong penderita gangguan jiwa di Flores. Mulai dari membantu memenuhi kebutuhan sembako hingga merawat penderita gangguan jiwa dengan memandikannya dan menggunting kuku dan rambut.
Memiliki hampir 600 relawan, kelompok ini melakukan edukasi tentang gangguan jiwa dan pengobatannya, baik dengan mengadakan seminar dan mengunjungi rumah-rumah warga secara langsung. KIK juga mengadvokasi pemerintah dan pihak lain yang punya tanggung jawab fungsional untuk memperhatikan penderita gangguan jiwa.
"Kita minta puskesmas dan rumah sakit agar menyediakan layanan kesehatan jiwa buat mereka karena mereka punya hak dilayani terkait kesehatan mentalnya," kata Avent yang rajin mengingatkan bahwa anggota KIK tidak memberikan obat kepada penderita gangguan jiwa karena itu tugas psikiater.
Tidak tega, tapi banyak yang masih memasung
Sampai saat ini masih banyak penderita gangguan jiwa yang dipasung di NTT. Pastor Advent menjelaskan bahwa keluarga sebetulnya tidak tega memasung tapi terpaksa melakukannya karena khawatir penderita gangguan jiwa akan menyerang anggota keluarga lain, tetangga, atau warga sekitar.
Pemasungan ini sebetulnya bisa dihindari apabila fasilitas kesehatan jiwa di NTT memadai. Jadi, penderita gangguan jiwa dengan perilaku destruktif itu bisa dibawa ke panti rehabilitasi jiwa atau rumah sakit jiwa.
"Kalau tidak ada fasilitas itu, ya dipasung. Kalau tidak dipasung, maka akan ada yang terbunuh. Bukan hanya satu tapi bisa banyak orang," kata Avent.
Akan tetapi, Avent menegaskan bahwa KIK berupaya agar penderita gangguan jiwa yang terpaksa dipasung ini bisa mendapatkan layanan medis dari negara.
Selain itu, KIK juga mengoreksi cara pemasungan agar tidak menimbulkan cedera fisik dan untuk mencegah kematian, kata Avent. KIK juga mengingatkan keluarga untuk segera melepas pasung ketika pasien telah mendapatkan pertolongan dokter dan telah menunjukkan perubahan perilaku.
"Pasungnya jangan untuk jangan panjang, tetapi untuk jangka pendek saja. Setelah 3 atau 4 hari atau 1 minggu, ia mestinya sudah dilepaskan dari pasungan ketika sudah diintervensi dengan tindakan medis dan ada perubahan pada keadaannya," katanya.
Avent mengatakan bahwa ia dan relawan-relawannya di KIK belum pernah mendapatkan penolakan dari warga ketika melakukan edukasi tentang penyakit gangguan jiwa. Jika memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa, mereka justru menghubungi KIK agar Avent atau relawannya bersedia melakukan kunjungan ke rumah. (ae)